Senin, 28 Juli 2008

Merancang Pendidikan Masa Depan

Merancang Pendidikan Masa Depan

I. PENDAHULUAN
I.1. Latar belakang Masalah

Problematika pendidikan Indonesia semakin hari semakin aktual, seolah tiada hari tanpa masalah. Dimulai dari kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya sebuah pendidikan, minimnya fasilitas institusi pendidikan, kurang profesionalnya tenaga kependidikan (Guru,Dosen, staff ahli, serta seluruh komponen penunjang terselenggaranya pendidikan), sampai kurang disiplinnya para pelaku pendidikan ( adanya oknum Dik.Nas yang korup, pengajar hanya secara formalitas masuk di kelas, sampai para siswa/peserta didik yang melakukan tindakan amoral). Hal itu belum sepenuhnya tuntas jika di deskripsikan bersama masalah lain yang konon lebih essensial; minimnya anggaran biaya pemerintah dari APBN/APBD, kesejahteraan pendidik yang kurang terperhatikan, sampai system program pendidikan yang tidak pernah terselesaikan secara optimal.

Agaknya perlu dicanangkan sebuah pemikiran/gagasan baru seputar dunia pendidikan Indonesia, agar komponen bangsa ini dapat meningkatkan kualitas pendidikan ,serta meminimalisir problem seputar dunia pendidikan bangsa kita. Dalam makalah ini dikemukakan sebuah gagasan yang mungkin tepat untuk merefleksikan sebuah dunia pendidikan Indonesia masa depan, dimana seluruh komponen dapat berperan dalam mengupayakan/ mewujudkan masa depan dunia pendidikan Indonesia. Semoga makalah ini dapat bermanfaat sebagai sarana transformasi pengetahuan bangsa menuju kemashlahatan bersama.

I.2. Rumusan Permasalahan
Adapun beberapa masalah yang dapat kami rumuskan antara lain;
1. Apa yang dimaksud Pendidikan, serta apa hakikat sesungguhnya dari pendidikan itu ?
2. Apa saja Problematika Pendidikan Indonesia ?
3. Bagaimana solusi problem tersebut serta gagasan untuk mewujudkan Masa depan Pendidikan Indonesia?
II .Pembahasan
2.1. Pendidikan definisi,serta esensi nya
Pendidikan merupakan suatu proses yang sangat kompleks dan berjangka panjang, di mana berbagai aspek yang tercakup dalam proses saling erat berkaitan satu sama lain dan bermuara pada terwujudnya manusia yang memiliki nilai hidup, pengetahuan hidup dan keterampilan hidup. Prosesnya bersifat kompleks dikarenakan interaksi di antara berbagai aspek tersebut, seperti guru, bahan ajar, fasilitas, kondisi siswa, kondisi lingkungan, metode mengajar yang digunakan, tidak selamanya memiliki sifat dan bentuk yang konsisten yang dapat dikendalikan. Hal ini mengakibatkan penjelasan terhadap fenomena pendidikan bisa berbeda-beda baik karena waktu, tempat maupun subjek yang terlibat dalam proses.

Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni, pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Upaya untuk mengembangkan ketiga aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar sekolah dan keluarga. Kegiatan di sekolah direncanakan dan dilaksanakan secara ketat dengan prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan. Pelaksanaan di luar sekolah, meski memiliki rencana dan program yang jelas tetapi pelaksanaannya relatif longgar dengan berbagai pedoman yang relatif fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokal. Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga dilaksanakan secara informal tanpa tujuan yang dirumuskan secara baku dan Tertulis.
Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat.Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moralyangbaik.
Tujuan pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa dan bukannya perpecahan.
Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut di atas, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan atau "enculturation", suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu. Konsekuensi dari pemyataan ini, maka praktek pendidikan harus sesuai dengan budaya masyarakat akan menimbulkan penyimpangan yang dapat muncul dalam berbagai bentuk goncangan-goncangan kehidupan individu dan masyarakat.

Tuntutan keharmonisan antara pendidikan dan kebudayaan bisa pula dipahami, sebab praktek pendidikan harus mendasarkan pada teori-teori pendidikan dan giliran berikutnya teori-teori pendidikan harus bersumber dari suatu pandangan hidup masyarakat yang bersangkutan.

A. Praktek pendidikan modern
Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan: praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonial Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono, 1985). Berbagai praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa praktek pendidikan yang relevan dengan pembahasan ini adalah praktek-praktek pendidikan modern zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan sampai pada tahun 1965, dan praktek pendidikan dalam masa pembangunan sampai sekarang ini.

Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai "pangreh praja". Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas.
Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk orang pribumi. Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.

Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia pendidikan Indonesia memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan disatukan. Tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing degan pengantar bahasa Belanda. Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan se telah bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis bahwa praktek pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada masa ini, lingkungan politik terasa mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan nasionalisme terasa berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri. Hal ini sangat terasa terutama pada periode Orde Lama (tahun 1959-1965).

Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Sebaliknya, pendidikan setelah tahun 1966 pengaruh sistem pendidikan Amerika semakin lama terasa semakin menonjol. Sistem pendidikan Amerika menekankan bahwa praktek pendidikan merupakan instrumen dalam proses pembangunan. Oleh karenanya, tidak rnengherankan kalau seiring dengan semangat dan pelaksanaan pembangunan yang dititik-beratkan pada pembangunan ekonomi, praktek pendidikan dijadikan alat untuk dapat mendukung pembangunan ekonomi dengan mempersiapkan tenaga kerja yang diperlukan dalam pembangunan. Dengan kata lain praktek pendidikan yang bersumber pada kebijaksanaan pendidikan banyak ditentukan guna kepentingan pembangunan ekonomi.

Perkembangan pendidikan nasional yang berkiblat pada pendidikan Amerika berkembang pesat dan menunjukkan hasil yang luar biasa. Namun perlu dicatat bahwa kecepatan perkembangan pendidikan nasional ini cenderung mendorong pendidikan ke arah sistem pendidikan yang bersifat sentralistis. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin berkembangnya birokrasi untuk menopang proses pengajaran tradisional yang semuanya mengarah pada rigiditas. Birokrasi pusat cenderung menekankan proses pendidikan secara klasikal dan bersifat mekanistis. Dengan demikian proses pendidikan cenderung diperlakukan sebagaimana sebuah pabrik. Akibatnya pihak-pihak yang terkait dalam pendidikan, khususnya guru dan murid sebagai individu yang memiliki "kepribadian" tidak banyak mendapatkan perhatian kurikulum, guru dan aturan serta prosedur pelaksanaan pengajaran di sekolah dan juga di kelas ditentukan dari pusat dengan segala wewenangnya. Misalnya, keharusan mengajar dengan menggunakan pendekatan CBSA, kokurikuler dalam bentuk kliping koran.

Lebih lanjut, sentralisasi dan berkembangnya birokrasi pendidikan yang semakin luas dan kaku akan menjadikan keseragaman sebagai suatu tujuan. Hasilnya, berkembanglah manusia-manusia dengan mentalitas "juklak" dan "juknis" yang siap diberlakukan secara seragam. Akibat lebih jauh di masyarakat berkembang prinsip persetujuan sebagai kunci sukses; promosi dan komunikasi adalah komando; interaksi dicampurkan dengan pertemuan-pertemuan resmi; dan stabilitas yang dikaitkan dengan tindakan yang tidak mengandung emosi.

Karena kemerosotan kualitas pendidikan dikarenakan ketidak-mampuan organisasi sekolah menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan lingkungan sebagai akibat dari birokratisasi dunia, kualitas pendidikan yang bersifatsentralistis, maka untuk meningkatkan kualitas pendidikan harus didasarkan pada kebijaksanaan debirokratisasi dan desentralisasi.

Desentralisasi pendidikan merupakan suatu tindakan mendelegasikan wewenang kepada satuan kerja yang langsung berhubungan dengan peserta didik. Permasalahannya yang lebih mendalam yang perlu diperfanyakan adalah "apakah kebijaksanaan desentralisasi yang dilaksanakan untuk seluruh fungsi dan kekuasaan sekolah-sekolah ataukah hanya untuk pembagian tugas-tugas administrasi? Apakah kebijaksanaan desentralisasi hanya dilihat sebagai cara untuk mencapai efisiensi dengan mengurangi upaya untuk transformasi baik sistem maupun proses pendidikan?"

Kalau desentralisasi hanya sekedar mengurangi beban tanggung jawab di puncak kekuasaan dengan memberikan sebagian tugas-tugas administrasi kepada aparat yang lebih rendah maka desentralisasi tidak akan banyak artinya sebagai sarana peningkatan kualitas pendidikan. Dewasa ini ketidak-mampuan sekolah meningkatkan kualitas pendidikan mencerminkan ketidak-mampuan struktur dan sistem persekolahan. Kalau tidak ada perubahan yang mendasar pada sistem pendidikan, maka segala upaya peningkatan kualitas akan sia-sia. Oleh karena itu, kebijaksanaan yang diperlukan di dunia pendidikan kita sekarang ini adalah desentralisasi yang mendasar.

Ada beberapa tujuan yang perlu dicapai dengan kebijaksanaan desentralisasi. Pertama, sistem persekolahan harus lebih tanggap terhadap kebutuhan individu peserta didik, guru, dan sekolah. Kedua, iklim pendidikan harus menguntungkan untuk pelaksanaan proses pendidikan.
Di samping mempertanyakan kualitas output pendidikan yang berkiblat ke Arnerika ini, mulai dirasakan bahwa praktek pendidikan cenderung mendorong munculnya generasi terdidik yang bersifat materialistik, individualistik dan konsumtif. Hal ini sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari pengetrapan praktek pendidikan Amerika. Apalagi, pusat-pusat pendidikan yang lain, misalnya media komunikasi massa mendukung proses "Amerikanisasi" ini.

Adapula satu bentuk produk proses pendidikan yang sesungguhnya menyimpang dari apa yang terjadi di Barat yakni munculnya mentalitas "jalan pintas", dengan semangat dan kemauan untuk bisa mendapatkan hasil secepat mungkin, baik di kalangan generasi muda maupun generasi tuanya. Mereka cenderung tidak menghiraukan bahwa segala sesuatu harus melewati proses yang memerlukan waktu. Bahkan tidak jarang waktu yang diperlukan melewati rentang waktu kehidupannya, tetapi demi masa depan generasi yang akan datang generasi sekarang harus merelakannya. Sebagai contoh, di Barat tidak jarang pembuatan "minuman anggur", agar memiliki rasa luar biasa memerlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Tidak jarang pada label sebotol anggur dituliskan: "dibuka 100 atau 200 tahun lagi". Mentalitas "jalan pintas" merupakan hasil negatif dari penekanan yang berlebihan pendidikan sebagai instrumen pembangunan ekonomi. Aspek negatif lain yang erat kaitannya dengan mentalitas jalan pintas adalah dominannya nilai ekstrik (Extrinsic Value) di kalangan masyarakat kita, khususnya generasi muda.

Tekanan kemiskinan menimbulkan obsesi bahwa kekayaan merupakan obat yang harus segera diperoleh dengan segala cara dan dengan biaya apapun juga. Oleh karena tujuan segala kegiatan adalah "kekayaan", dan yang lainnya merupakan instrumental variabel untuk mencapai kekayaan tersebut. Oleh karena itu pendidikan, politik bahkan agama dijadikan sarana dan alat untuk mendapatkan kekayaan. Pendidikan, secara khusus, akan diberlakukan sebagai lembaga yang mencetak "tenaga kerja", bukan lembaga yang menghasilkan "manusia yang utuh" (the whole person). Konsep tersebut akan menimbulkan tekanan yang berlebihan pada hasil tanpa menikmati prosesnya. Sekolah dijalani oleh seseorang agar mendapatkan ijazah untuk bekerja. Proses sekolahnya sendiri tidak pernah dinikmati, karena tidak penting.

Dua mental tersebut bisa menjadi faktor yang akan merusak kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mengembalikan kesadaran di kalangan masyarakat khususnya generasi muda; pentingnya pencapaian tujuan jangka panjang, memahami makna proses yang harus, dilalui dan menyadari akan pentingnya nilai-nilai yang harus muncul dari diri sendiri.

B. Pendidikan dan kebudayaan
Berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya membesarkan jumlah pengangguran, berkembangnya mentalitas jalan pintas, sikap materialistik dan individualistik, dominannya nilai-nilai ekstrinsik terutama di kalangan generasi muda, dari satu sisi bisa dikaitkan dengan kegagalan praktek pendidikan yang berkiblat ke Amerika. Dengan kata lain, praktek pendidikan yang kita laksanakan tidak atau kurang cocok dengan budaya Indonesia. Untuk itu, perlu dicari sosok bentuk praktek pendidikan yang berwajah Indonesia.

Pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu budaya tertentu. Banyak nilai-nilai budaya dan orientasinya yang bisa menghambat dan bisa mendorong pendidikan. Bahkan banyak pula nilai-nilai budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar dalam proses pendidikan. Sebagai contoh di Jepang "moral Ninomiya Kinjiro" merupakan nilai budaya yang dimanfaatkan praktek pendidikan untuk mengembangkan etos kerja. Kinjiro adalah anak desa yang miskin yang belajar dan bekerja keras sehingga bisa menjadi samurai, suatu jabatan yang sangat terhormat. Karena saking miskinnya, orang tuanya tidak mampu membeti alat penerangan. Oleh karena itu dalam belajar ia menggunakan penerangan dari kunang-kunang yang dimasukan dalam botol. Kerja keras diterima bukan sebagai beban, melainkan dinikmati sebagai pengabdian. Selain semangat kerja keras, budaya Jepang juga menekankan rasa keindahan yang tercerminkan pada ketekunan, hemat, jujur dan bersih sebagaimana semangat Kinjiro diwujudkan dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan dengan menggendong kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di setiap sekolah di Jepang.

Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan adakah nilai-nilai dan orientasi budaya kita yang bisa dimanfaatkan dalam praktek pendidikan? Manakah nilai dan orientasi budaya yang perlu dikembangkan dan manakah yang harus ditinggalkan ?
Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut di atas perlu dilaksanakan serangkaian penelitian yang bersifat multidisipliner.

C. Penelitian pendidikan yang diperlukan

Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa ilmu pendidikan di Indonesia mandeg dan pendidikan kita yang lebih berwajah ke-Amerika-an hanya merupakan salah satu akibat kemandegan ilmu pendidikan. Kalau ditelusuri lebih jauh, kemandegan ilmu pendidikan disebabkan terutama karena kualitas penelitian pendidikan yang rendah. Dengan demikian upaya mencari pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an harus disertai dengan peningkatan kualitas pendidikan.

Agenda penelitian untuk menemukan pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an bisa dimulai dari penelitian untuk menemukan nilai-nilai dan orientasi budaya daerah (setempat) yang memiliki nilai positif bagi praktek pendidikan. Mtsalnya, nilai "Ratu adil di dukung, ratu zalim disanggah", adalah nilai yang mendukung keadilan sosial.

Kedua, penelitian yang membandingkan nilai-nilai yang berkaitan dengan proses pendidikan di rumah (keluarga) dan pendidikan di sekolah. Misalnya, nilai penekanan orang tua untuk memerintah langsung anak atau mendikte anak di satu pihak dan tekanan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Sudah barang tentu kedua nilai tersebut bertentangan. Bagaimanakah akibatnya terhadap perkembangan anak didik?

Ketiga, penelitian yang menjawab makna konsep yang tercantum pada falsafah dan dasar negara. Misalnya, dalam alenia pembukaan UUD 1945 tercantum konsep "bangsa yang cerdas". Apa maknanya bangsa yang cerdas? Apakah makna kecerdasan sama antara masyarakat agraris dan masyarakat industri atau bahkan pada masyarakat informatif. Artinya, kecerdasan apakah yang harus dimiliki untuk menuju masyarakaat industri atau masyarakat yang dilanda globalisasi?

Keempat, penelitian yang mencari titik temu antara pendidikan sistem persekolahan dan pendidikan luar sekolah. Sebab, pada masyarakat industri hubungan antara kedua sistem pendidikan tersebut memiliki peran yang penting.

Kelima, penelitian yang memusatkan pada kebijaksanaan pendidikan. Misalnya, sejauh mana terdapat keterkaitan antara kebijaksanaan rayonisasi? Siapakah yang menikmati anggaran pemerintah di bidang pendidikan? Bagaimanakah penduduk miskin dapat menikmati pendidikan?

Keenam, penelitian yang mengkaji kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi di masa mendatang. Bagaimanakah dampak atas adanya kecenderungan tersebut bagi dunia pendidikan khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya? Bagaimanakah caranya agar kita bisa menguasai dan merubah kecenderungan tersebut?

Ketujuh, penelitian yang mengkaji peran dan interaksi berbagai pusat pendidikan. Misalnya, bagaimana hubungan yang harus dikembangkan antara sekolah dan TPI, sekolah dengan surat kabar dan radio?

Akhirnya, perlu dipikirkan adanya penerbitan dari Kelompok Kajian Pendidikan ke-indonesia-an sebagai media penyebaran pertukaran informasi dengan masyarakat luas

2.2 Problematika Pendidikan Indonesia
Pembicaraan mengenai pendidikan tidak akan pernah terlepas dari keyakinan, pandangan dan cita-cita tentang hidup dan kehidupan umat manusia dari generasi ke generasi. Pendidikan tidak dapat dipahami secara terbatas hanya “proses pengajaran” mentransfer pengetahuan, melainkan menanam nilai-nilai sikap dan tingkah laku (akhlaq) serta menumbuh-kembangkan kecakapan hidup (life skill) manusia.
Pendidikan dapat dikatakan sebagai investasi peradaban masa depan. Pendidikan dipandang sebagai agen pencerahan yang mampu mengubah kehidupan manusia di muka bumi ini menjadi lebih baik. Namun, harapan itu sangat tergantung cetak biru mutu pendidikan saat ini yang sedang berjalan.
Seiring dengan perjalanan waktu, kini pendidikan nasional masih melintasi ambang rawan. Di katakan rawan, karena pendidikan ini sedang menuai kritikan yang amat dahsyat, bahkan tak sedikit yang mengecam kebobrokannya. Jadi posisi pendidikan kadang dirindukan, tapi juga kadang diabaikan.
Kenyataan di atas dapat dilihat dari segi kuantitas maupun kualitas, sebagian besar pendidikan (sekolah) di negeri ini masih memasuki kategori “peka” dan “rawan”. Hampir di setiap daerah, ada kondisi sekolah yang mulai ditinggalkan peminatnya, kredibilitas mutunya cenderung menurung, suasana konfliknya semakin tajam, dan sebagainya.
Hampir setiap tahun, pendidikan di negeri ini pasti terjadi geger. Contoh yang sering terjadi dihadapan kita yaitu tentang kadar penetapan standar nilai UAN dan implikasinya terhadap kelulusan siswa. Konsep ini dipandang sebagai proses penyeragaman, yang bertentangan dengan keberagaman kualitas pendidikan suatu wilayah atau daerah. Belum lagi mengenai masalah biaya pendidikan mahal yang sulit terjangkau bagi orang yang berpenghasilan menengah ke bawah. Kedua, standar operasional prosedur pengawas/penjagaan UAN. Sampai saat ini, pembekalan pengawas ujian hanya sampai pada tahap hanya .
Apa yang terjadi di atas, memang butuh pemikiran mendalam untuk merumuskan kembali konsep pendidikan masa depan yang benar-benar sesuai watak dan karakter bangsa. Memahami watak dan karakter sosio-masyarakat yang demikian luas perlu kecerdasan dan kearifan tingkat tinggi. Pemegang kuasa (top leader) pendidikan harus betul-betul orang yang berasal dari latar pendidikan yang mumpuni, dan bukan dipegang oleh orang dari kepentingan politis partai.
Menurut J. Drost, seperti yang tertuang dalam buku “dari Kurikulum Bertujuan Kompetensi sampai Manajemen Berbasis Sekolah” (2005), menyatakan bahwa pendidikan itu identik dengan mencetak orang. Karena kaitannya dengan mencetak orang, maka sekali lagi pendidikan tidak bisa lakukan dengan cara uji coba (trial and error). Sekali gagal, satu generasi penerus bangsa ini akan menanggung akibatnya.
Pendidikan sebagai suatu organisme yang kompleks membutuhkan penanganan yang serius dan berkesinambungan. Wajah pendidikan di negeri ini masih menyimpan keajaiban yang harus ditemukan sesungguhnya. Usaha dan kemauan yang kuat dari semua elemen, terutama pemerintah harus mampu menemukan format dan konsep yang jelas untuk membangun negeri ini melalu sisi pendidikan.
Sulit ditemukan konsep yang compatible (cocok, sesuai) dengan arus perubahan seperti sekarang ini. Pendidikan yang sedang berkembang di tengah kerisauan masyarakat ini memang butuh konsep yang matang dan tepat dengan mengusung ide-ide cemerlang yang mengedepankan kualitas pembelajaran, mutu kurikulum, keakuratan evaluasi, hingga perumusan visi dan misi lembaga pendidikan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) misalnya, sebagai harapan sekaligus agenda utama yang harus disadari bagi pengelola pendidikan agar jadi langkah strategis untuk membenahi mutu pendidikan. Begitu pula dengan pengelolaan sekolah, butuh sebuah manajemen dan seorang manajer yang arif dalam memegang pimpinan pendidikan.
Penulis menyadari bahwa pendidikan sebagai miniatur masyarakat tentu tidak lepas dari kenyataan pengalaman yang up to date. Karenanya pendidikan perlu dikonsep sesuai dengan kenyataan yang sesuai dengan kehidupan masyarakat. Citra pendidikan harus selalu menampilkan jiwa dan raga masyarakat dalam konteks nasional, dan memiliki daya saing untuk bersaing dengan pendidikan luar.
Gagasan dan konsep seperti inilah yang perlu kita tegakkan untuk membagun sudut pendidikan yang mulai pudar. Dengan tidak meninggalkan nilai-nilai tradisi lokal, pendidikan harus mencerminkan watak modernitas dan sesuai kondisi sosio-masyarakat modern. Mempertimbangkan pendidikan anak-anak sama dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa, siap merefleksikan semua yang ditampakkan padanya.
Empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yang dicanangkan oleh UNESCO yang perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal, yaitu: (1) learning to Know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu, (3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).
Dalam rangka merealisasikan `learning to know`, Guru seyogyanya berfungsi sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan siswa dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu.
Biasakan menyisihkan sebagian penghasilan untuk biaya pendidikan
Kalau khawatir tidak bisa berdisiplin dalam uang, sebaiknya mengikuti program investasi pendidikan melalui tabungan atau asuransi.
Investasi di asuransi atau tabungan pendidikan ini sebaiknya dilakukan semenjak dini atau sebelum anak duduk di bangku sekolah.
Pilihan sekolah disesuaikan dengan kemampuan pendanaan.
Salah satu perusahaan otomotif PT Bajaj milik India, misalnya, telah investasi ke beberapa negara, termasuk ke Indonesia. Langkah kesadaran pendidikan di India ini juga diikuti oleh China.
Setelah Negeri Tirai Bambu mengubah politik komunisnya menjadi politik terbuka, banyak warganya yang dikirim untuk bersekolah di luar negeri. Hasilnya, negeri ini pun mulai menyaingi Jepang dan Korea Selatan dalam bidang produk industri.
Bagaimana dengan Indonesia? Ketika bangsa ini telah merdeka dari penjajahan Belanda dan Jepang, pemberantasan buta huruf menjadi prioritas dalam meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, Dokter Wahidin, penggagas perkumpulan Budi Utomo, telah bercita-cita untuk mengentaskan bangsa ini dari keterbelakangan dan kemelaratan melalui pendidikan.
Pendidikan tak dimungkiri merupakan bentuk investasi SDM. Investasi di pendidikan memang baru akan terasa hasilnya dalam jangka panjang. Tapi hanya dengan pendidikan, harkat dan martabat bangsa ini diyakini bakal membaik.Sayangnya, biaya pendidikan sekolah di Indonesia dalam kurun lima tahun terakhir dirasakan sangat mahal oleh sebagian besar rakyat yang daya belinya melemah, akibat memburuknya perekonomian.
Besarnya rupiah yang harus dibayar oleh setiap orangtua yang ingin menyekolahkan anak itu membuat mereka menganggap mengeluarkan biaya pendidikan sebagai beban, bukan investasi. Apalagi, sebagian dari mereka mulai meragukan pentingnya bersekolah karena setelah lulus pun sulit mencari pekerjaan.
Pendidikan kini mulai terpinggirkan. Bahkan, anggaran pendapatan belanja negara (APBN) tahun ini hanya mengalokasikan dana untuk pendidikan sebesar 11,8% atau Rp90,10 triliun dari total APBN 2007 sebesar Rp763,6 triliun.
Mahkamah Konstitusi (MK) seperti telah ditulis oleh harian ini juga mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam memenuhi syarat minimal alokasi anggaran pendidikan 20% sebagaimana yang ditetapkan dalam UUD 1945.
Dengan berkurangnya anggaran pendidikan itu, dipastikan biaya pendidikan makin tak terjangkau oleh rakyat jelata. Seperti telah dikutip oleh media massa, Aan Rochana, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, pun mengakui biaya masuk sekolah begitu mahal.
Di sebuah sekolah ada yang memungut Rp15 juta untuk masuk SMP dan Rp30 juta untuk masuk SMA. Senada dan seirama, biaya pendidikan di perguruan tinggi pun makin membubung tinggi.Kalau pemerintah dan pengusaha kaya tak segera menyadari pentingnya investasi pendidikan, dipastikan nasib bangsa ini akan makin terpinggirkan.Terlepas dari kekurangan dunia pendidikan dalam mencetak manusia yang unggul, investasi di pendidikan tetaplah penting. Masyarakat terdidik yang disebut kelas menengah telah diakui oleh sejarah sebagai orang yang siap mengusung perubahan.
Tentu saja, hanya orang terdidik dan berkarakter yang mampu mengemban misi sebagai agen perubahan (agent of change) dan agen pembangunan (agent of development).
2.3. Solusi Permasalahan Pendidikan Indonesia
Mengenai kecenderungan merosotnya pencapaian hasil pendidikan selama ini, langkah antisipatif yang perlu ditempuh adalah mengupayakan peningkatan partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan, peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, serta perbaikan manajemen di setiap jenjang, jalur, dan jenis pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah, khususnya di kabupaten/kota, seyogyanya dikaji lebih dulu kondisi obyektif dari unsur-unsur yang terkait pada mutu pendidikan, yaitu:
(1) Bagaimana kondisi gurunya? (persebaran, kualifikasi, kompetensi penguasaan materi, kompetensi pembelajaran, kompetensi sosial-personal, tingkat kesejahteraan);
(2) Bagaimana kurikulum disikapi dan diperlakukan oleh guru dan pejabat pendidikan daerah?;
(3) Bagaimana bahan belajar yang dipakai oleh siswa dan guru? (proporsi buku dengan siswa, kualitas buku pelajaran);
(4) Apa saja yang dirujuk sebagai sumber belajar oleh guru dan siswa?;
(5) Bagaimana kondisi prasarana belajar yang ada?;
(6) Adakah sarana pendukung belajar lainnya? (jaringan sekolah dan masyarakat, jaringan antarsekolah, jaringan sekolah dengan pusat-pusat informasi);
(7) Bagaimana kondisi iklim belajar yang ada saat ini?.
Mutu pendidikan dapat ditingkatkan dengan melakukan serangkaian pembenahan terhadap segala persoalan yang dihadapi. Pembenahan itu dapat berupa pembenahan terhadap kurikulum pendidikan yang dapat memberikan kemampuan dan keterampilan dasar minimal, menerapkan konsep belajar tuntas dan membangkitkan sikap kreatif, demokratis dan mandiri. Perlu diidentifikasi unsur-unsur yang ada di daerah yang dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi proses peningkatan mutu pendidikan, selain pemerintah daerah, misalnya kelompok pakar, paguyuban mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat daerah, perguruan tinggi, organisasi massa, organisasi politik, pusat penerbitan, studio radio/TV daerah, media masa/cetak daerah, situs internet, dan sanggar belajar.




III. Daftar Pustaka

Ahmad Ajip.2003. Nilai Pedagogis Paulo Freire Dan Masa Depan Pendidikan (http://re-searchengines.com/ahmadnajip.html)
Beny susetyo.2006.Investasi Pendidikan investasi masa depan (http://suryaningsih.wordpress.com/2007/03/14/investasi-pendidikan-investasi-masa-depan/)

Isjoni.2004.Guru Masa Depan. (http://www.ganeca-exact.com/index.php?option=content&task=view&id=32&Itemid=59)

M.Sobry sutikno,2006.Pendidikan Sekarang dan Masa depan, Mataram: NTP Press

M.Sobry sutikno,2004. Menuju Pendidikan Bermutu, Mataram: NTP Press

Nurkholis.2005. Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang.www.depdiknas.go.id

Teddy Suryana, 2005.Merancang pendidikan Transformatif. (http://groups.yahoo.com/group/pakguruonline/message/288)

Tidak ada komentar: