PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS
E-LEARNING
Oleh : Haris Fazlurrachman, S.Pdi
Sesuai arus perkembangan teknologi serta informasi berdasarkan kontelasi zaman,sistem pembelajaran pun mau tak mau wajib berubah. Salah satu manifestasi dari perubahan tersebut ialah munculnya Kurikulum baru yang sering menjadi biang keladi problematika pendidikan di negeri kita tercinta.
Para pakar boleh bernafas lega setelah jerih payah mereka berkarya telah membuahkan hasil yang memberi angin segar bagi dunia pendidikan Indonesia. Namun sebagian guru sangat kecewa karena ketidak sanggupan mengaplikasikan konten Kurikulum tersebut dalam tataran operasional sekolah.
Baru saja kita dengar wacana akan berubahnya KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran) di berbagai media, ini sudah membuat gelisah beberapa Pengajar/Guru di instansi tertentu yang mungkin belum tersosialisasi secara efektif. Salah satunya bidang studi Agama Islam, kita boleh bangga bahwa mayoritas negara kita menganut ajaran tersebut, namun sudahkah kita sadari berapa porsentase pendidikan Agama Islam yang dapat teraplikasi dalam tataran pendidikan formal bangsa kita.
Kemajuan teknologi yang mendorong perubahan sistem pendidikan pun seharusnya memproporsikan standarisasi pendidikan agama menjadi substansi pendidikan yang utama. Ada beberapa metode yang mutlak di sajikan dalam format pendidikan agama tersebut. Salah satunya ialah pendidikan agama islam berbasis e-learning, dimana jutaan peserta didik selain dituntut menguasai materi teologi juga diwajibkan menguasai teknologi. Ini jelas akan berimplikasi pada kualitas output peserta didik tersebut.
Mengapa hal ini perlu mendapat perhatian?
Sebagai standar acuan kemajuan pendidikan bangsa memang diperlukan kompetensi yang unggul dibidangnya masing-masing. Adapun penguasaan teknologi sebagai penunjang keberhasilan aktifitas yang relevan dengan zaman mutlak dikuasai semua orang terlebih bagi mereka yang bergelut di bidang pendidikan formal tak terkecuali guru agama.
Bagaimana mensiasatinya ?
Hal tersebut sebenarnya sangat mudah selama ada kesadaran individu untuk memulainya. Bukankah Mike Murdoch pernah berkata “Gagal mempersiapkan sama dengan mempersiapkan kegagalan”. Agar usaha kita optimal diperlukan persiapan matang untuk menghadapinya. Salahsatunya ialah mengembangkan potensi guru agama dengan memberikan latihan penguasaan perangkat teknologi mutakhir,salah satunya internet.
Setelah kompetensi dasar penguasaan teknologi teraplikasi dengan baik pada guru tersebut, tahap selanjutnya ialah mengembangkan kreatifitas guru untuk mengolah materi pengajaran berbasis e-learning. Hal tersebut tidak mustahil untuk direalisasikan,mengingat banyak sekali siswa yang mampu mengakses internet bahkan tak kurang yang menjadi member friendster atau memiliki webblog pribadi. Untuk itu penyuntikan motivasi sangat perlu ditanamkan agar usaha ini terlaksana secara optimal. Semoga dengan terealisasinya hal tersebut dalam dunia pendidikan kita, kemajuan dunia pendidikan Indonesia akan terasa. Sehingga krediblitas pendidikan Indonesia dapat pulih dari keterpurukan,dan juga dapat menjadi momentum awal yang dapat menjadi inspirasi bagi seluruh pihak khususnya bagi mereka yang terjun di dunia pendidikan agama islam.
Senin, 28 Juli 2008
MONOGRAF
MONOGRAF
I. PENDAHULUAN
Sebagai negara yang menempatkan pendidikan pada posisi penting maka hal tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak mendapatkan pendidikan. Dengan demikian ini ditujukan bagi warga negara laki-laki maupun perempuan. Hal ini menunjukkan negara memiliki sikap kesetaraan terhadap warga negaranya.
Penyikapan oleh negara tersebut belum cukup dirasakan utuh pada tataran praksis. Dunia pendidikan cenderung masih merupakan dunia laki-laki dan menyisakan sedikit tempat untuk perempuan. Masih nampak adanya pemiskinan kesempatan dalam menempuh pendidikan. Di dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, gejala itu dapat dilihat dari pemberian prioritas utama kepada anak laki-laki untuk memperoleh pendidikan tinggi, pada keluarga yang memiliki anak perempuan dan laki-laki. Nampak terjadi diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, yaitu adanya perlakuan yang tidak berimbang antara kedua kelompok gender. Perlakuan yang ditunjukkan sebagaimana di atas disebut bias gender. Adapun dalam pelaksanaan pendidikan formal, pada aras kelas, bias gender terjadi pada materi ajar maupun dalam proses belajar mengajar. Bias tersebut juga terdapat pada materi ajar, dapat dilihat dalam buku-buku pelajaran, munculnya pada ilustrasi, baik dalam ilustrasi maupun narasi. Umumnya penulis menggambarkan perbedaan dari keduamya dalam peran, fungsi, kedudukan, dan tanggung jawab. Selain itu adanya kecenderungan guru untuk menempatkan posisi siswa laki-laki lebih tinggi dari siswa perempuan. Padahal, pendidikan seharusnya memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk memperoleh posisi yang sejajar, dengan mengacu pada usaha, kerja keras dan bukan atas dasar hak istimewa. Oleh karena itu, materi ajar yang dikemas dalam buku-buku pelajaran, dan begitu juga pelaksanaan belajar mengajar dikelas harus berwawasan gender.
Untuk dapat menghasilkan buku ajar yang berwawasan gender, dan merancangserta melaksanakan belajar mengajar di kelas, para guru memerlukan suatu rambu-rambu yang dapat berfungsi sebagai pedoman baginya untuk menulis bahan ajar dan merancang kegiatan belajar mengajar yang berwawasan gender. Untuk itulah diperlukan upaya melakukan pengembangan suatu bentuk Rambu-rambu Penulisan Bahan Ajar Berwawasan Gender. Kegiatan inilah yang dilakukan dalam penelitian ini.
Kegiatan ini dilaksanakan dengan melalui berbagai tahap sebagai berikut: Studi Pendahuluan, Penyusunan Draft Awal, Uji Ahli, Penyusunan Draft Kedua, Uji Coba Lapangan, dan Penyusunan Draft Akhir.
II. TEORI
A. Konsep Gender
Istilah Gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan, dipelajari dan disosialisasikan. Pembedaan ini sangat penting karena selama ini kita seringkali mencampuradukkan ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah, dengan ciri manusia yang bersifat nonkodrati yang sebenarnya dapat berubah atau diubah. Dengan kata lain masyarakat tidak membedakan yang mana sebetulnya jenis kelamin (kodrat) dan yang mana gender.
Penanaman konsep gender dilakukan sebagai pengetahuan juga berupa penanaman sikap. Sehingga gendering merupakan konstruksi sosial-psikologis berarti secara historis dan budaya. Oleh karena itu mengimplementasikan gender pada bahan ajar bagi siswa perlu disajikan penanaman pengetahuan dan sikap mengenai hal-hal yang paling dekat dengan lingkungannya.
Penanaman pengetahuan yang baru dan pembentukan sikap gender memerlukan langkah-langkah yang berbeda dengan pengetahuan lainnya mengingat gender merupakan suatu pemaknaan budaya yang telah melekat di masyarakat.
Fenomena adanya bias gender dapat tampil dalam bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender, seperti : a. marjinalisasi (pemiskinan), b. subordinasi (penomorduaan), c. pandangan streotipe, d. kekerasaan, e. beban kerja (Simatauw M. dkk, 2001).
B. Teori Belajar
Untuk mendorong terjadinya strategi belajar yang dianjurkan aliran konstruktif, dapat dilakukan pembelajaran melalui beberapa metode seperti :
1. Pembelajaran Induktif.
Hilda Taba mengembangkan model mengajar, dimana ia mengemukakan strategi mengajar yang meningkatkan kemampuan para siswa untuk menangani informasi. Model mengajar ini dikembangkan dengan asumsi bahwa dalam mengajar, situasi kelas merupakan kerjasama dari sejumlah kegiatan siswa.
Model pembelajaran seperti ini dinilai dapat digunakan sebagai pengenalan pengalaman baru. Konsep gender bagi siswa pada saat masih merupakan konsep baru yang belum banyak dikenal oleh siswa.
2. Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran ini merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan tenaga kerja.
Pembelajaran ini mempunyai enam unsur kunci seperti : pembelajaran bermakna, penerapan pengetahuan, berpikir tingkat yang lebih tinggi, kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar, responsive terhadap budaya dan penilaian autentik (University of Washington, 2001).
Model pembelajaran ini dinilai sangat tepat untuk digunakan sebagai pengenalan konsep ketidaksetaraan, marginalisasi, diskriminasi, dan streotipe dapat dikembangkan saat pembelajaran.
3. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran ini cenderung mengacu pada belajar kelompok siswa, dengan menggunakan empat pendekatan : a). STAD, pembelajaran dilakukan dengan melibatkan siswa secara heterogen, mereka perlu bekerjasama menyelesaikan tugas-tugasnya, diskusi, setiap minggu ada penilaian, diumumkan tim-tim dengan skor tinggi, siswa yang mencapai skor perkembangan tinggi artinya perlakuan yang diberikan adil baik kepada siswa laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi. b). Jigsaw, cara ini tanpa melihat jenis kelamin memiliki kesempatan belajar bagian tertentu dari materi ajar dan sama-sama memiliki tanggungjawab kepada temannya untuk mentransformasi isi dari pelajaran yang telah dipelajarinya. c). Investigasi Kelompok, model pembelajaran ini memerlukan cara yang mengajarkan siswa keterampilan komunikasi dan proses kelompok yang baik, serta norma dan struktur kelas yang lebih rumit. Siswa dikelompokkan dengan kawannya yang cenderung memiliki minat yang sama, kemudian memilih topik yang ingin diselidiki, selanjutnya menyiapkan dan mempresentasikannya. d). Pendekatan struktural, cara ini memiliki kemiripan dengan cara lain hanya saja ia dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Ada struktur yang dikembangkan untuk perolehan isi akademik, ada yang dirancang untuk mengajarkan keterampilan sosial atau keterampilan kelompok.
4. Proses Belajar Mengajar
PBM tidak terlepas dari tiga komponen utama yaitu; guru, siswa dan bahan ajar. Ahli lain menyatakan proses belajar merupakan interaksi antara berbagai unsur, dengan unsur utama adalah siswa, kebutuhan sebagai sumber, serta situasi belajar yang memberikan kemungkinan kegiatan belajar. Meskipun demikian guru merupakan faktor yang cukup menentukan, seperti melakukan pengembangan bahan ajar serta perangkat lainnya.
C. Perkembangan Siswa
Perkembangan siswa ditinjau dari rentang usia SD/MI, sampai dengan SLTA/MA.. Umumnya para ahli perkembangan melihat dari segi aspek perkembangan setiap masa itu mencakup perkembangan; fisik, kognitif (terutama ini), emosi, sosial, moral dan kepribadian. Khusus pada penelitian ini yang dibahas adalah perkembangan kognitif, sehingga dapat diperkirakan kesanggupan mereka menangkap berbagai konsep dalam hal ini konsep yang berwawasan gender.
D. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kurikulum ini merupakan merupakan kajian ulang terhadap kurikulum 1994. KBK berorientasi pada a) hasil dan implikasi yang diharapkan pada diri siswa melalui serangkaian pengalaman belajar dan b) keberagaman yang dapat diwujudkan sesuai dengan kebutuhannya. Kurikulum ini memiliki 9 prinsip dan salah satu prinsipnya adalah “kesamaan dalam memperoleh kesempatan” . Mengingat kurikulum merupakan pijakan global maka masih dibutuhkan rambu-rambu untuk menerjemahkannya menjadi bahan ajar, dalam hal ini pedoman yang dirancang untuk memudahkan guru dalam menulis bahan ajar dan kegiatan belajar mengajar yang berwawasan gender.
E. Materi Bahan Ajar
Salah satu wujud dari bahan ajar/materi bahan ajar adalah buku pelajaran, dan menurut Cunnings buku merupakan komponen yang sangat penting disamping guru dan siswa. Perangkat buku pelajaran itu terdiri dari 3 komponen, yaitu buku siswa, buku guru dan buku kerja siswa. Buku pelajaran memiliki fungsi yang meliputi ; sumber yang disajikan, untuk kegiatan siswa, sebagai acuan siswa ketika belajar, dorongan untuk berkegiatan di kelas, perwujudan silabus, sebagai sumber dalam tugas mandiri, bantuan bagi guru yang kurang berpengalaman. Topik dan bahan dalam buku pelajaran harus memiliki wacana yang dipilih berdasarkan konteks sosial, budaya dan kehidupan siswa sehingga menarik minat siswa. Bahan yang kontekstual dan mengandung topik yang menarik mampu memberi informasi, tantangan, dorongan memperkaya pengalaman, meningkatkan kepekaan bathin dan sosial, mengembangkan kepercayaan diri, mengembangkan kemampuan untuk memperhitungkan, serta meningkatkan keberanian siswa dalam mengambil keputusan.
F. Evaluasi Pembelajaran.
Dalam rangka menjaring hasil kerja siswa, maka pelaksanan penilaian dapat berbentuk, tes tertulias, penampilan (performance), penugasan atau proyek, dan portofolio. Tugas yang diberikan dapat berbentuk tugas individual maupun tugas kelompok. Dalam membuat penilaian yang akurat dan adil guru harus bersikap optimal yaitu : 1) memanfaatkan berbagai bukti hasil kerja siswa dari sejumlah penilaian yang dilakukan dengan berbagai strategi dan cara, 2) membuat keputusan yang adil terhadap penguasaan kemampuan siswa dengan mempertimbangkan hasil kerja yang dikumpulkan. Guru menetapkan tingkat pencapaian siswa berdasarkan hasil belajarnya pada kurun waktu tertentu dan dalam berbagai rentang situasi.
III. METODOLOGI
Proses pengembangan rambu-rambu penulisan berwawasan ajar dilakukan dalam rangkaian kegiatan yang tersistematis dengan melalui langkah-langkah dibawah ini :
1. Studi pendahuluan ; merupakan bentuk studi terhadap dokumen dan pustaka atas buku-buku pelajaran dan artikel-artikel lain yang ada dalam Jurnal Perempuan, dengan menggunakan analisis gender. Kesemuanya ditelaah pada uraian materi, bahasa yang digunakan, contoh uraian, serta ilustrasi. Meliputi 6 kelompok mata pelajaran. Mendidkusikan hasil analisis materi bahan ajar dan penelitian, kemudian menyusun laporan hasil studi pendahuluan.
2. Penyusunan Draft I . Berdasarkan studi pendahuluan, tim penyusunan menyusun draft 1 rambu-rambu bahan ajar berwawasan gender, yang terdiri dari 3 bab, yaitu pendahuluan, kajian teoritik serta penulisan bahan ajar dan kegiatan belajar mengajar.
3. Uji Ahli
Draft yang telah tersusun untuk selanjutnya direview oleh ahli. Review yang dilakukan para ahli bertujuan untuk mengetahui
Ketepatan penulisan. Para ahli melakukan analisis dan koreksi atas draft yang telah disusun, meliputi keterbacaan, muatan gender dan kesesuaian kurikulum. Penganalisaan para ahli yang memiliki kredibilitas di bidangnya masing-masing. Adapun yang dilakukan adalah analisis pada konten, fokus analisis disesuaikan dengan tujuannya.
Alat ukur yang digunakan untuk review adalah dalam bentuk angket terbuka dengan memberi peluang dua pilihan jawaban, yaitu: memadai dan tidak memadai dan diikuti dengan keterangan atau sasaran sebagai penjelasan atas pilihan jawaban yang dibuat oleh ketiga ahli. Review dilakukan pada keseluruhan isi rambu-rambu penulisan yang dihasilkan, meliputi dasar berpikir, landasan konsep teoritis dan
draft 1.
4. Penyusunan Draft II
Berdasarkan koreksi dari tiga ahli, tim penyusun melakukan perbaikan atas draft I, sehingga terjadi beberapa perubahan, dalam hal ini menyangkut isi dari pedoman rambu-rambu berwawasan gender. Hasil revisi ini disebut dengan draft II rambu-rambu penulisan bahan ajar berwawasan gender.
5. Ujicoba Lapangan
Ujicoba selanjutnya adalah ujicoba lapangan yang bertujuan untuk mengetahui tingkat keterterimaan dan kesesuaian rambu-rambu yang telah disusun apabila diterapkan di lapangan. Kegiatan ini dilakukan pada lima propinsi, yaitu Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali dan Sulawesi Selatan. Adapun responden adalah para guru, mulai dari tingkat SD dan/atau MI, SMP/MTs, dan SMU/MA, meliputi mata pelajaran kelompok IPA, IPS, Agama, Kertakes dan Penjaskes. Jumlah responden dengan target 60 orang ternyata beberapa berhalangan pada hari pelaksanaan, sehingga jumlah yang ada 56 orang.
Alat ukur yang digunakan adalah instrumen untuk mengukur tingkat keterterimaan yang dimaksud yakni kejelasan isi rambu-rambu penulisan bahan ajar yang mengacu pada KBK, Wawasan Gender, dan keterbacaan/kejelasan bahasa.
Waktu pelaksanaan ujicoba adalah minggu ke 3 dan 4 bulan September 2003.
IV. H A S I L
Ujicoba di lapangan melibatkan 56 responden yakni guru dari tingkat SD/MI sampai dengan SMA/MA. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa pedoman penulisan bahan ajar yang berwawasan gender 91,11% dapat diterima, dengan nilai rerata dari jawaban responden adalah 37, 56%. Adapun substansi yang dinilai dan kriteria penilaiannya, adalah 96% untuk pendahuluan mudah dipahami, 98% menyatakan sistematika penulisan runtut; kerangka penulisan cocok, dapat diterapkan dan mudah dipahami, masing-masing simpulan itu dinyatakan oleh 93%, 89%, dan 88% responden; topik hasil belajar penting, dan mudah dipahami, masing-masing dinyatakan dengan 89% dan 95% responden; indikator hasil belajar penting, dapat diterapkan, dan mudah dipahami, masing-masing simpulan itu dinyatakan oleh 95%, 95%, dan 89%; topik tentang materi, penting dan mudah dipahami, masing-masing dinyatakan 89% dan 93%; topik tentang latihan, penting, mudah dipahami, dan dapat diterapkan, masing-masing 96%, 89%, 88%; topik tentang evaluasi penting, mudah dipahami, dapat diterapkan, masing-masing dinyatakan 95%, 93% dan 95%; topik kegiatan belajar-mengajar (KBM) penting, mudah dipahami, dan dapat diterapkan dinyatakan 89%, 91%, dan 95%; topik prinsip-prinsip KBM, penting, mudah dan dapat diterapkan, masing-masing dinyatakan oleh 93%, 93%, dan 98%; topik langkah pembelajaran, penting, mudah dipahami, dan dapat diterapkan,91%, 98% dan 96%; Topik kegiatan guru, penting, mudah dipahami dan diterapkan di
nyatakan 86%, 95%, dan 96%; topik kegiatan siswa, penting, mudah dipahami, dan dapat diterapkan, dinyatakan 84%, 95%, 95%; gambar dengan penjelasan penyertanya, memadai dinyatakan 91%; ilustrasi naratif, mudah dipahami, dinyatakan 91%; tata letak memadai, dinyatakan 84 %; alur pikir, memadai dinyatakan 88%; sistematika penulisan memadai dinyatakan 88%, ilustrasi memadai dinyatakan 73%;ukuran buku memadai dinyatakan 75%; dan jenis serta ukuran huruf yang digunakan dalam draft rambu-rambu penulisan bahan ajar berwawasan gender memadai keseluruhan responden menjawab 84% menyatakan ya.
Berdasarkan jenis kelamin responden perempuan 90,99% dan laki-laki 91,22% menyatakan draft rambu-rambu penulisan bahan ajar berwawasan gender baik. Artinya yang dimaksud yakni jelas isinya mengacu kurikulum berbasis kompetensi, dan mengandung wawasan gender; juga dari segi kebahasan
yakni penggunaan bahasanya jelas.
Data berdasarkan wilayah menunjukkan : Jawa Timur 94.46%, Jawa Barat 91.80%, Sulawesi Selatan 90.48%, Sumatra Barat 91.13%, Bali 87.48% responden yang menyatakan baik dan jelas isinya serta kebahasaan yakni penggunaan bahasanya jelas mencakup pilihan kata yang digunakan, sistematika penulisan dengan keruntutan penyampaiannya sehingga mudah dipahami.
Berdasarkan analisis tersebut, disimpulkan draft Rambu-Rambu Penulisan Bahan Ajar Berwawasan Gender yang diujicobakan dapat diterapkan untuk digunakan sebagaimana tujuan yang mendasari perancangannya. Namun demikian, perlu diperbaiki dahulu merujuk kepada kritik dan saran-saran dibuat daftar istilah dan definisi/pengertiannya.
V. IMPLIKASI
1. Berdasarkan saran-saran dan kritik di atas untuk selanjutnya dilakukan
Perbaikan dengan membuat daftar istilah dan definisi/ pengertiannya, yang dimaksud adalah istilah-istilah teknis yang berhubungan dengan KBK serta Wawasan Gender.
2. Dibuat daftar isi untuk menjadi bagian dari Rambu-Rambu Penulisan Bahan Ajar Berwawasan Gender produk akhir pengembangan.
3. Perlunya perbaikan tampilan pada proses pencetakan.
4. Sosialisasi Rambu-rambu ini kepada guru dan penulis bahan ajar. Sekaligus sosialisasi wawasan kesadaran gender dan wawasan KBK kepada guru maupun penulis.
5. Perlunya pelatihan kemampuan penerapan KBM yang mengacu kepada KBK dan Wawasan Gender.
6. Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan yang ditujukan untuk menghasilkan prototipe bahan ajar berwawasan gender untuk tingkat Pendidikan SD/MI,SLTP/MTs, dan SMAUMA.
DAFTAR PUSTAKA
Adam Geralf R. & Gullotta Thomas (1983), Adolencent life experience. California California : Brooks/Cole Publishing Company.
Ardhana, Wayan (1997) “Pandangan Behavioristik vs Konstruktivistik : Pemecahan Masalah Belajar di Abad XXI., Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran, di Malang, 26 Juni 1997.
Brooks, J.G. dan Brooks, M.G. (1993). In search of understanding : the case for constructivist classrooms. Alexandria, Va. ; ASCD
Carin and Sun (1985). Teanching Science Through Discovery. Charles Merill Publishing Co Colombus Toronto.
Dahar R.W. (1989) Teori-teori Belajar. Bandung : Penerbit Erlangga
Good, T.L. dan Brophy, J., (1995). Contemporary Educational Psychology. 5th ed. N.Y.: Longman Publishers USA.
Hurlock E. (1991), Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Terjemahan dari “ Developmental Psychology: A Life-Span Aproach.” 1980. Jakarta : Erlangga.
Hullfish el al. (1981), Reflective Thinking The Method of Education, Ohio
Puskur (2002) Pengembangan Silabus KBK, Jakarta : Litbang Depdiknas.
Puskur (2002) Pelaksanaan KBK, Jakarta: Litbang Depdiknas.
Puskur Balitbang (2002) Kurikulum Hasil Belajar Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah, Jakarta: Litbang Depdiknas.
Puskur Balitbang (2002) Kurikulum Hasil Belajar Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah, Jakarta : Litbang Depdiknas.
Puskur Balitbang (2002) Kurikulum Hasil Belajar Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah , Jakarta : Litbang Depdiknas.
I. PENDAHULUAN
Sebagai negara yang menempatkan pendidikan pada posisi penting maka hal tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak mendapatkan pendidikan. Dengan demikian ini ditujukan bagi warga negara laki-laki maupun perempuan. Hal ini menunjukkan negara memiliki sikap kesetaraan terhadap warga negaranya.
Penyikapan oleh negara tersebut belum cukup dirasakan utuh pada tataran praksis. Dunia pendidikan cenderung masih merupakan dunia laki-laki dan menyisakan sedikit tempat untuk perempuan. Masih nampak adanya pemiskinan kesempatan dalam menempuh pendidikan. Di dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, gejala itu dapat dilihat dari pemberian prioritas utama kepada anak laki-laki untuk memperoleh pendidikan tinggi, pada keluarga yang memiliki anak perempuan dan laki-laki. Nampak terjadi diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, yaitu adanya perlakuan yang tidak berimbang antara kedua kelompok gender. Perlakuan yang ditunjukkan sebagaimana di atas disebut bias gender. Adapun dalam pelaksanaan pendidikan formal, pada aras kelas, bias gender terjadi pada materi ajar maupun dalam proses belajar mengajar. Bias tersebut juga terdapat pada materi ajar, dapat dilihat dalam buku-buku pelajaran, munculnya pada ilustrasi, baik dalam ilustrasi maupun narasi. Umumnya penulis menggambarkan perbedaan dari keduamya dalam peran, fungsi, kedudukan, dan tanggung jawab. Selain itu adanya kecenderungan guru untuk menempatkan posisi siswa laki-laki lebih tinggi dari siswa perempuan. Padahal, pendidikan seharusnya memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk memperoleh posisi yang sejajar, dengan mengacu pada usaha, kerja keras dan bukan atas dasar hak istimewa. Oleh karena itu, materi ajar yang dikemas dalam buku-buku pelajaran, dan begitu juga pelaksanaan belajar mengajar dikelas harus berwawasan gender.
Untuk dapat menghasilkan buku ajar yang berwawasan gender, dan merancangserta melaksanakan belajar mengajar di kelas, para guru memerlukan suatu rambu-rambu yang dapat berfungsi sebagai pedoman baginya untuk menulis bahan ajar dan merancang kegiatan belajar mengajar yang berwawasan gender. Untuk itulah diperlukan upaya melakukan pengembangan suatu bentuk Rambu-rambu Penulisan Bahan Ajar Berwawasan Gender. Kegiatan inilah yang dilakukan dalam penelitian ini.
Kegiatan ini dilaksanakan dengan melalui berbagai tahap sebagai berikut: Studi Pendahuluan, Penyusunan Draft Awal, Uji Ahli, Penyusunan Draft Kedua, Uji Coba Lapangan, dan Penyusunan Draft Akhir.
II. TEORI
A. Konsep Gender
Istilah Gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan, dipelajari dan disosialisasikan. Pembedaan ini sangat penting karena selama ini kita seringkali mencampuradukkan ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah, dengan ciri manusia yang bersifat nonkodrati yang sebenarnya dapat berubah atau diubah. Dengan kata lain masyarakat tidak membedakan yang mana sebetulnya jenis kelamin (kodrat) dan yang mana gender.
Penanaman konsep gender dilakukan sebagai pengetahuan juga berupa penanaman sikap. Sehingga gendering merupakan konstruksi sosial-psikologis berarti secara historis dan budaya. Oleh karena itu mengimplementasikan gender pada bahan ajar bagi siswa perlu disajikan penanaman pengetahuan dan sikap mengenai hal-hal yang paling dekat dengan lingkungannya.
Penanaman pengetahuan yang baru dan pembentukan sikap gender memerlukan langkah-langkah yang berbeda dengan pengetahuan lainnya mengingat gender merupakan suatu pemaknaan budaya yang telah melekat di masyarakat.
Fenomena adanya bias gender dapat tampil dalam bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender, seperti : a. marjinalisasi (pemiskinan), b. subordinasi (penomorduaan), c. pandangan streotipe, d. kekerasaan, e. beban kerja (Simatauw M. dkk, 2001).
B. Teori Belajar
Untuk mendorong terjadinya strategi belajar yang dianjurkan aliran konstruktif, dapat dilakukan pembelajaran melalui beberapa metode seperti :
1. Pembelajaran Induktif.
Hilda Taba mengembangkan model mengajar, dimana ia mengemukakan strategi mengajar yang meningkatkan kemampuan para siswa untuk menangani informasi. Model mengajar ini dikembangkan dengan asumsi bahwa dalam mengajar, situasi kelas merupakan kerjasama dari sejumlah kegiatan siswa.
Model pembelajaran seperti ini dinilai dapat digunakan sebagai pengenalan pengalaman baru. Konsep gender bagi siswa pada saat masih merupakan konsep baru yang belum banyak dikenal oleh siswa.
2. Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran ini merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan tenaga kerja.
Pembelajaran ini mempunyai enam unsur kunci seperti : pembelajaran bermakna, penerapan pengetahuan, berpikir tingkat yang lebih tinggi, kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar, responsive terhadap budaya dan penilaian autentik (University of Washington, 2001).
Model pembelajaran ini dinilai sangat tepat untuk digunakan sebagai pengenalan konsep ketidaksetaraan, marginalisasi, diskriminasi, dan streotipe dapat dikembangkan saat pembelajaran.
3. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran ini cenderung mengacu pada belajar kelompok siswa, dengan menggunakan empat pendekatan : a). STAD, pembelajaran dilakukan dengan melibatkan siswa secara heterogen, mereka perlu bekerjasama menyelesaikan tugas-tugasnya, diskusi, setiap minggu ada penilaian, diumumkan tim-tim dengan skor tinggi, siswa yang mencapai skor perkembangan tinggi artinya perlakuan yang diberikan adil baik kepada siswa laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi. b). Jigsaw, cara ini tanpa melihat jenis kelamin memiliki kesempatan belajar bagian tertentu dari materi ajar dan sama-sama memiliki tanggungjawab kepada temannya untuk mentransformasi isi dari pelajaran yang telah dipelajarinya. c). Investigasi Kelompok, model pembelajaran ini memerlukan cara yang mengajarkan siswa keterampilan komunikasi dan proses kelompok yang baik, serta norma dan struktur kelas yang lebih rumit. Siswa dikelompokkan dengan kawannya yang cenderung memiliki minat yang sama, kemudian memilih topik yang ingin diselidiki, selanjutnya menyiapkan dan mempresentasikannya. d). Pendekatan struktural, cara ini memiliki kemiripan dengan cara lain hanya saja ia dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Ada struktur yang dikembangkan untuk perolehan isi akademik, ada yang dirancang untuk mengajarkan keterampilan sosial atau keterampilan kelompok.
4. Proses Belajar Mengajar
PBM tidak terlepas dari tiga komponen utama yaitu; guru, siswa dan bahan ajar. Ahli lain menyatakan proses belajar merupakan interaksi antara berbagai unsur, dengan unsur utama adalah siswa, kebutuhan sebagai sumber, serta situasi belajar yang memberikan kemungkinan kegiatan belajar. Meskipun demikian guru merupakan faktor yang cukup menentukan, seperti melakukan pengembangan bahan ajar serta perangkat lainnya.
C. Perkembangan Siswa
Perkembangan siswa ditinjau dari rentang usia SD/MI, sampai dengan SLTA/MA.. Umumnya para ahli perkembangan melihat dari segi aspek perkembangan setiap masa itu mencakup perkembangan; fisik, kognitif (terutama ini), emosi, sosial, moral dan kepribadian. Khusus pada penelitian ini yang dibahas adalah perkembangan kognitif, sehingga dapat diperkirakan kesanggupan mereka menangkap berbagai konsep dalam hal ini konsep yang berwawasan gender.
D. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kurikulum ini merupakan merupakan kajian ulang terhadap kurikulum 1994. KBK berorientasi pada a) hasil dan implikasi yang diharapkan pada diri siswa melalui serangkaian pengalaman belajar dan b) keberagaman yang dapat diwujudkan sesuai dengan kebutuhannya. Kurikulum ini memiliki 9 prinsip dan salah satu prinsipnya adalah “kesamaan dalam memperoleh kesempatan” . Mengingat kurikulum merupakan pijakan global maka masih dibutuhkan rambu-rambu untuk menerjemahkannya menjadi bahan ajar, dalam hal ini pedoman yang dirancang untuk memudahkan guru dalam menulis bahan ajar dan kegiatan belajar mengajar yang berwawasan gender.
E. Materi Bahan Ajar
Salah satu wujud dari bahan ajar/materi bahan ajar adalah buku pelajaran, dan menurut Cunnings buku merupakan komponen yang sangat penting disamping guru dan siswa. Perangkat buku pelajaran itu terdiri dari 3 komponen, yaitu buku siswa, buku guru dan buku kerja siswa. Buku pelajaran memiliki fungsi yang meliputi ; sumber yang disajikan, untuk kegiatan siswa, sebagai acuan siswa ketika belajar, dorongan untuk berkegiatan di kelas, perwujudan silabus, sebagai sumber dalam tugas mandiri, bantuan bagi guru yang kurang berpengalaman. Topik dan bahan dalam buku pelajaran harus memiliki wacana yang dipilih berdasarkan konteks sosial, budaya dan kehidupan siswa sehingga menarik minat siswa. Bahan yang kontekstual dan mengandung topik yang menarik mampu memberi informasi, tantangan, dorongan memperkaya pengalaman, meningkatkan kepekaan bathin dan sosial, mengembangkan kepercayaan diri, mengembangkan kemampuan untuk memperhitungkan, serta meningkatkan keberanian siswa dalam mengambil keputusan.
F. Evaluasi Pembelajaran.
Dalam rangka menjaring hasil kerja siswa, maka pelaksanan penilaian dapat berbentuk, tes tertulias, penampilan (performance), penugasan atau proyek, dan portofolio. Tugas yang diberikan dapat berbentuk tugas individual maupun tugas kelompok. Dalam membuat penilaian yang akurat dan adil guru harus bersikap optimal yaitu : 1) memanfaatkan berbagai bukti hasil kerja siswa dari sejumlah penilaian yang dilakukan dengan berbagai strategi dan cara, 2) membuat keputusan yang adil terhadap penguasaan kemampuan siswa dengan mempertimbangkan hasil kerja yang dikumpulkan. Guru menetapkan tingkat pencapaian siswa berdasarkan hasil belajarnya pada kurun waktu tertentu dan dalam berbagai rentang situasi.
III. METODOLOGI
Proses pengembangan rambu-rambu penulisan berwawasan ajar dilakukan dalam rangkaian kegiatan yang tersistematis dengan melalui langkah-langkah dibawah ini :
1. Studi pendahuluan ; merupakan bentuk studi terhadap dokumen dan pustaka atas buku-buku pelajaran dan artikel-artikel lain yang ada dalam Jurnal Perempuan, dengan menggunakan analisis gender. Kesemuanya ditelaah pada uraian materi, bahasa yang digunakan, contoh uraian, serta ilustrasi. Meliputi 6 kelompok mata pelajaran. Mendidkusikan hasil analisis materi bahan ajar dan penelitian, kemudian menyusun laporan hasil studi pendahuluan.
2. Penyusunan Draft I . Berdasarkan studi pendahuluan, tim penyusunan menyusun draft 1 rambu-rambu bahan ajar berwawasan gender, yang terdiri dari 3 bab, yaitu pendahuluan, kajian teoritik serta penulisan bahan ajar dan kegiatan belajar mengajar.
3. Uji Ahli
Draft yang telah tersusun untuk selanjutnya direview oleh ahli. Review yang dilakukan para ahli bertujuan untuk mengetahui
Ketepatan penulisan. Para ahli melakukan analisis dan koreksi atas draft yang telah disusun, meliputi keterbacaan, muatan gender dan kesesuaian kurikulum. Penganalisaan para ahli yang memiliki kredibilitas di bidangnya masing-masing. Adapun yang dilakukan adalah analisis pada konten, fokus analisis disesuaikan dengan tujuannya.
Alat ukur yang digunakan untuk review adalah dalam bentuk angket terbuka dengan memberi peluang dua pilihan jawaban, yaitu: memadai dan tidak memadai dan diikuti dengan keterangan atau sasaran sebagai penjelasan atas pilihan jawaban yang dibuat oleh ketiga ahli. Review dilakukan pada keseluruhan isi rambu-rambu penulisan yang dihasilkan, meliputi dasar berpikir, landasan konsep teoritis dan
draft 1.
4. Penyusunan Draft II
Berdasarkan koreksi dari tiga ahli, tim penyusun melakukan perbaikan atas draft I, sehingga terjadi beberapa perubahan, dalam hal ini menyangkut isi dari pedoman rambu-rambu berwawasan gender. Hasil revisi ini disebut dengan draft II rambu-rambu penulisan bahan ajar berwawasan gender.
5. Ujicoba Lapangan
Ujicoba selanjutnya adalah ujicoba lapangan yang bertujuan untuk mengetahui tingkat keterterimaan dan kesesuaian rambu-rambu yang telah disusun apabila diterapkan di lapangan. Kegiatan ini dilakukan pada lima propinsi, yaitu Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali dan Sulawesi Selatan. Adapun responden adalah para guru, mulai dari tingkat SD dan/atau MI, SMP/MTs, dan SMU/MA, meliputi mata pelajaran kelompok IPA, IPS, Agama, Kertakes dan Penjaskes. Jumlah responden dengan target 60 orang ternyata beberapa berhalangan pada hari pelaksanaan, sehingga jumlah yang ada 56 orang.
Alat ukur yang digunakan adalah instrumen untuk mengukur tingkat keterterimaan yang dimaksud yakni kejelasan isi rambu-rambu penulisan bahan ajar yang mengacu pada KBK, Wawasan Gender, dan keterbacaan/kejelasan bahasa.
Waktu pelaksanaan ujicoba adalah minggu ke 3 dan 4 bulan September 2003.
IV. H A S I L
Ujicoba di lapangan melibatkan 56 responden yakni guru dari tingkat SD/MI sampai dengan SMA/MA. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa pedoman penulisan bahan ajar yang berwawasan gender 91,11% dapat diterima, dengan nilai rerata dari jawaban responden adalah 37, 56%. Adapun substansi yang dinilai dan kriteria penilaiannya, adalah 96% untuk pendahuluan mudah dipahami, 98% menyatakan sistematika penulisan runtut; kerangka penulisan cocok, dapat diterapkan dan mudah dipahami, masing-masing simpulan itu dinyatakan oleh 93%, 89%, dan 88% responden; topik hasil belajar penting, dan mudah dipahami, masing-masing dinyatakan dengan 89% dan 95% responden; indikator hasil belajar penting, dapat diterapkan, dan mudah dipahami, masing-masing simpulan itu dinyatakan oleh 95%, 95%, dan 89%; topik tentang materi, penting dan mudah dipahami, masing-masing dinyatakan 89% dan 93%; topik tentang latihan, penting, mudah dipahami, dan dapat diterapkan, masing-masing 96%, 89%, 88%; topik tentang evaluasi penting, mudah dipahami, dapat diterapkan, masing-masing dinyatakan 95%, 93% dan 95%; topik kegiatan belajar-mengajar (KBM) penting, mudah dipahami, dan dapat diterapkan dinyatakan 89%, 91%, dan 95%; topik prinsip-prinsip KBM, penting, mudah dan dapat diterapkan, masing-masing dinyatakan oleh 93%, 93%, dan 98%; topik langkah pembelajaran, penting, mudah dipahami, dan dapat diterapkan,91%, 98% dan 96%; Topik kegiatan guru, penting, mudah dipahami dan diterapkan di
nyatakan 86%, 95%, dan 96%; topik kegiatan siswa, penting, mudah dipahami, dan dapat diterapkan, dinyatakan 84%, 95%, 95%; gambar dengan penjelasan penyertanya, memadai dinyatakan 91%; ilustrasi naratif, mudah dipahami, dinyatakan 91%; tata letak memadai, dinyatakan 84 %; alur pikir, memadai dinyatakan 88%; sistematika penulisan memadai dinyatakan 88%, ilustrasi memadai dinyatakan 73%;ukuran buku memadai dinyatakan 75%; dan jenis serta ukuran huruf yang digunakan dalam draft rambu-rambu penulisan bahan ajar berwawasan gender memadai keseluruhan responden menjawab 84% menyatakan ya.
Berdasarkan jenis kelamin responden perempuan 90,99% dan laki-laki 91,22% menyatakan draft rambu-rambu penulisan bahan ajar berwawasan gender baik. Artinya yang dimaksud yakni jelas isinya mengacu kurikulum berbasis kompetensi, dan mengandung wawasan gender; juga dari segi kebahasan
yakni penggunaan bahasanya jelas.
Data berdasarkan wilayah menunjukkan : Jawa Timur 94.46%, Jawa Barat 91.80%, Sulawesi Selatan 90.48%, Sumatra Barat 91.13%, Bali 87.48% responden yang menyatakan baik dan jelas isinya serta kebahasaan yakni penggunaan bahasanya jelas mencakup pilihan kata yang digunakan, sistematika penulisan dengan keruntutan penyampaiannya sehingga mudah dipahami.
Berdasarkan analisis tersebut, disimpulkan draft Rambu-Rambu Penulisan Bahan Ajar Berwawasan Gender yang diujicobakan dapat diterapkan untuk digunakan sebagaimana tujuan yang mendasari perancangannya. Namun demikian, perlu diperbaiki dahulu merujuk kepada kritik dan saran-saran dibuat daftar istilah dan definisi/pengertiannya.
V. IMPLIKASI
1. Berdasarkan saran-saran dan kritik di atas untuk selanjutnya dilakukan
Perbaikan dengan membuat daftar istilah dan definisi/ pengertiannya, yang dimaksud adalah istilah-istilah teknis yang berhubungan dengan KBK serta Wawasan Gender.
2. Dibuat daftar isi untuk menjadi bagian dari Rambu-Rambu Penulisan Bahan Ajar Berwawasan Gender produk akhir pengembangan.
3. Perlunya perbaikan tampilan pada proses pencetakan.
4. Sosialisasi Rambu-rambu ini kepada guru dan penulis bahan ajar. Sekaligus sosialisasi wawasan kesadaran gender dan wawasan KBK kepada guru maupun penulis.
5. Perlunya pelatihan kemampuan penerapan KBM yang mengacu kepada KBK dan Wawasan Gender.
6. Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan yang ditujukan untuk menghasilkan prototipe bahan ajar berwawasan gender untuk tingkat Pendidikan SD/MI,SLTP/MTs, dan SMAUMA.
DAFTAR PUSTAKA
Adam Geralf R. & Gullotta Thomas (1983), Adolencent life experience. California California : Brooks/Cole Publishing Company.
Ardhana, Wayan (1997) “Pandangan Behavioristik vs Konstruktivistik : Pemecahan Masalah Belajar di Abad XXI., Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran, di Malang, 26 Juni 1997.
Brooks, J.G. dan Brooks, M.G. (1993). In search of understanding : the case for constructivist classrooms. Alexandria, Va. ; ASCD
Carin and Sun (1985). Teanching Science Through Discovery. Charles Merill Publishing Co Colombus Toronto.
Dahar R.W. (1989) Teori-teori Belajar. Bandung : Penerbit Erlangga
Good, T.L. dan Brophy, J., (1995). Contemporary Educational Psychology. 5th ed. N.Y.: Longman Publishers USA.
Hurlock E. (1991), Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Terjemahan dari “ Developmental Psychology: A Life-Span Aproach.” 1980. Jakarta : Erlangga.
Hullfish el al. (1981), Reflective Thinking The Method of Education, Ohio
Puskur (2002) Pengembangan Silabus KBK, Jakarta : Litbang Depdiknas.
Puskur (2002) Pelaksanaan KBK, Jakarta: Litbang Depdiknas.
Puskur Balitbang (2002) Kurikulum Hasil Belajar Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah, Jakarta: Litbang Depdiknas.
Puskur Balitbang (2002) Kurikulum Hasil Belajar Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah, Jakarta : Litbang Depdiknas.
Puskur Balitbang (2002) Kurikulum Hasil Belajar Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah , Jakarta : Litbang Depdiknas.
MONOGRAF
MONOGRAF
I. PENDAHULUAN
Sebagai negara yang menempatkan pendidikan pada posisi penting maka hal tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak mendapatkan pendidikan. Dengan demikian ini ditujukan bagi warga negara laki-laki maupun perempuan. Hal ini menunjukkan negara memiliki sikap kesetaraan terhadap warga negaranya.
Penyikapan oleh negara tersebut belum cukup dirasakan utuh pada tataran praksis. Dunia pendidikan cenderung masih merupakan dunia laki-laki dan menyisakan sedikit tempat untuk perempuan. Masih nampak adanya pemiskinan kesempatan dalam menempuh pendidikan. Di dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, gejala itu dapat dilihat dari pemberian prioritas utama kepada anak laki-laki untuk memperoleh pendidikan tinggi, pada keluarga yang memiliki anak perempuan dan laki-laki. Nampak terjadi diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, yaitu adanya perlakuan yang tidak berimbang antara kedua kelompok gender. Perlakuan yang ditunjukkan sebagaimana di atas disebut bias gender. Adapun dalam pelaksanaan pendidikan formal, pada aras kelas, bias gender terjadi pada materi ajar maupun dalam proses belajar mengajar. Bias tersebut juga terdapat pada materi ajar, dapat dilihat dalam buku-buku pelajaran, munculnya pada ilustrasi, baik dalam ilustrasi maupun narasi. Umumnya penulis menggambarkan perbedaan dari keduamya dalam peran, fungsi, kedudukan, dan tanggung jawab. Selain itu adanya kecenderungan guru untuk menempatkan posisi siswa laki-laki lebih tinggi dari siswa perempuan. Padahal, pendidikan seharusnya memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk memperoleh posisi yang sejajar, dengan mengacu pada usaha, kerja keras dan bukan atas dasar hak istimewa. Oleh karena itu, materi ajar yang dikemas dalam buku-buku pelajaran, dan begitu juga pelaksanaan belajar mengajar dikelas harus berwawasan gender.
Untuk dapat menghasilkan buku ajar yang berwawasan gender, dan merancangserta melaksanakan belajar mengajar di kelas, para guru memerlukan suatu rambu-rambu yang dapat berfungsi sebagai pedoman baginya untuk menulis bahan ajar dan merancang kegiatan belajar mengajar yang berwawasan gender. Untuk itulah diperlukan upaya melakukan pengembangan suatu bentuk Rambu-rambu Penulisan Bahan Ajar Berwawasan Gender. Kegiatan inilah yang dilakukan dalam penelitian ini.
Kegiatan ini dilaksanakan dengan melalui berbagai tahap sebagai berikut: Studi Pendahuluan, Penyusunan Draft Awal, Uji Ahli, Penyusunan Draft Kedua, Uji Coba Lapangan, dan Penyusunan Draft Akhir.
II. TEORI
A. Konsep Gender
Istilah Gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan, dipelajari dan disosialisasikan. Pembedaan ini sangat penting karena selama ini kita seringkali mencampuradukkan ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah, dengan ciri manusia yang bersifat nonkodrati yang sebenarnya dapat berubah atau diubah. Dengan kata lain masyarakat tidak membedakan yang mana sebetulnya jenis kelamin (kodrat) dan yang mana gender.
Penanaman konsep gender dilakukan sebagai pengetahuan juga berupa penanaman sikap. Sehingga gendering merupakan konstruksi sosial-psikologis berarti secara historis dan budaya. Oleh karena itu mengimplementasikan gender pada bahan ajar bagi siswa perlu disajikan penanaman pengetahuan dan sikap mengenai hal-hal yang paling dekat dengan lingkungannya.
Penanaman pengetahuan yang baru dan pembentukan sikap gender memerlukan langkah-langkah yang berbeda dengan pengetahuan lainnya mengingat gender merupakan suatu pemaknaan budaya yang telah melekat di masyarakat.
Fenomena adanya bias gender dapat tampil dalam bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender, seperti : a. marjinalisasi (pemiskinan), b. subordinasi (penomorduaan), c. pandangan streotipe, d. kekerasaan, e. beban kerja (Simatauw M. dkk, 2001).
B. Teori Belajar
Untuk mendorong terjadinya strategi belajar yang dianjurkan aliran konstruktif, dapat dilakukan pembelajaran melalui beberapa metode seperti :
1. Pembelajaran Induktif.
Hilda Taba mengembangkan model mengajar, dimana ia mengemukakan strategi mengajar yang meningkatkan kemampuan para siswa untuk menangani informasi. Model mengajar ini dikembangkan dengan asumsi bahwa dalam mengajar, situasi kelas merupakan kerjasama dari sejumlah kegiatan siswa.
Model pembelajaran seperti ini dinilai dapat digunakan sebagai pengenalan pengalaman baru. Konsep gender bagi siswa pada saat masih merupakan konsep baru yang belum banyak dikenal oleh siswa.
2. Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran ini merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan tenaga kerja.
Pembelajaran ini mempunyai enam unsur kunci seperti : pembelajaran bermakna, penerapan pengetahuan, berpikir tingkat yang lebih tinggi, kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar, responsive terhadap budaya dan penilaian autentik (University of Washington, 2001).
Model pembelajaran ini dinilai sangat tepat untuk digunakan sebagai pengenalan konsep ketidaksetaraan, marginalisasi, diskriminasi, dan streotipe dapat dikembangkan saat pembelajaran.
3. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran ini cenderung mengacu pada belajar kelompok siswa, dengan menggunakan empat pendekatan : a). STAD, pembelajaran dilakukan dengan melibatkan siswa secara heterogen, mereka perlu bekerjasama menyelesaikan tugas-tugasnya, diskusi, setiap minggu ada penilaian, diumumkan tim-tim dengan skor tinggi, siswa yang mencapai skor perkembangan tinggi artinya perlakuan yang diberikan adil baik kepada siswa laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi. b). Jigsaw, cara ini tanpa melihat jenis kelamin memiliki kesempatan belajar bagian tertentu dari materi ajar dan sama-sama memiliki tanggungjawab kepada temannya untuk mentransformasi isi dari pelajaran yang telah dipelajarinya. c). Investigasi Kelompok, model pembelajaran ini memerlukan cara yang mengajarkan siswa keterampilan komunikasi dan proses kelompok yang baik, serta norma dan struktur kelas yang lebih rumit. Siswa dikelompokkan dengan kawannya yang cenderung memiliki minat yang sama, kemudian memilih topik yang ingin diselidiki, selanjutnya menyiapkan dan mempresentasikannya. d). Pendekatan struktural, cara ini memiliki kemiripan dengan cara lain hanya saja ia dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Ada struktur yang dikembangkan untuk perolehan isi akademik, ada yang dirancang untuk mengajarkan keterampilan sosial atau keterampilan kelompok.
4. Proses Belajar Mengajar
PBM tidak terlepas dari tiga komponen utama yaitu; guru, siswa dan bahan ajar. Ahli lain menyatakan proses belajar merupakan interaksi antara berbagai unsur, dengan unsur utama adalah siswa, kebutuhan sebagai sumber, serta situasi belajar yang memberikan kemungkinan kegiatan belajar. Meskipun demikian guru merupakan faktor yang cukup menentukan, seperti melakukan pengembangan bahan ajar serta perangkat lainnya.
C. Perkembangan Siswa
Perkembangan siswa ditinjau dari rentang usia SD/MI, sampai dengan SLTA/MA.. Umumnya para ahli perkembangan melihat dari segi aspek perkembangan setiap masa itu mencakup perkembangan; fisik, kognitif (terutama ini), emosi, sosial, moral dan kepribadian. Khusus pada penelitian ini yang dibahas adalah perkembangan kognitif, sehingga dapat diperkirakan kesanggupan mereka menangkap berbagai konsep dalam hal ini konsep yang berwawasan gender.
D. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kurikulum ini merupakan merupakan kajian ulang terhadap kurikulum 1994. KBK berorientasi pada a) hasil dan implikasi yang diharapkan pada diri siswa melalui serangkaian pengalaman belajar dan b) keberagaman yang dapat diwujudkan sesuai dengan kebutuhannya. Kurikulum ini memiliki 9 prinsip dan salah satu prinsipnya adalah “kesamaan dalam memperoleh kesempatan” . Mengingat kurikulum merupakan pijakan global maka masih dibutuhkan rambu-rambu untuk menerjemahkannya menjadi bahan ajar, dalam hal ini pedoman yang dirancang untuk memudahkan guru dalam menulis bahan ajar dan kegiatan belajar mengajar yang berwawasan gender.
E. Materi Bahan Ajar
Salah satu wujud dari bahan ajar/materi bahan ajar adalah buku pelajaran, dan menurut Cunnings buku merupakan komponen yang sangat penting disamping guru dan siswa. Perangkat buku pelajaran itu terdiri dari 3 komponen, yaitu buku siswa, buku guru dan buku kerja siswa. Buku pelajaran memiliki fungsi yang meliputi ; sumber yang disajikan, untuk kegiatan siswa, sebagai acuan siswa ketika belajar, dorongan untuk berkegiatan di kelas, perwujudan silabus, sebagai sumber dalam tugas mandiri, bantuan bagi guru yang kurang berpengalaman. Topik dan bahan dalam buku pelajaran harus memiliki wacana yang dipilih berdasarkan konteks sosial, budaya dan kehidupan siswa sehingga menarik minat siswa. Bahan yang kontekstual dan mengandung topik yang menarik mampu memberi informasi, tantangan, dorongan memperkaya pengalaman, meningkatkan kepekaan bathin dan sosial, mengembangkan kepercayaan diri, mengembangkan kemampuan untuk memperhitungkan, serta meningkatkan keberanian siswa dalam mengambil keputusan.
F. Evaluasi Pembelajaran.
Dalam rangka menjaring hasil kerja siswa, maka pelaksanan penilaian dapat berbentuk, tes tertulias, penampilan (performance), penugasan atau proyek, dan portofolio. Tugas yang diberikan dapat berbentuk tugas individual maupun tugas kelompok. Dalam membuat penilaian yang akurat dan adil guru harus bersikap optimal yaitu : 1) memanfaatkan berbagai bukti hasil kerja siswa dari sejumlah penilaian yang dilakukan dengan berbagai strategi dan cara, 2) membuat keputusan yang adil terhadap penguasaan kemampuan siswa dengan mempertimbangkan hasil kerja yang dikumpulkan. Guru menetapkan tingkat pencapaian siswa berdasarkan hasil belajarnya pada kurun waktu tertentu dan dalam berbagai rentang situasi.
III. METODOLOGI
Proses pengembangan rambu-rambu penulisan berwawasan ajar dilakukan dalam rangkaian kegiatan yang tersistematis dengan melalui langkah-langkah dibawah ini :
1. Studi pendahuluan ; merupakan bentuk studi terhadap dokumen dan pustaka atas buku-buku pelajaran dan artikel-artikel lain yang ada dalam Jurnal Perempuan, dengan menggunakan analisis gender. Kesemuanya ditelaah pada uraian materi, bahasa yang digunakan, contoh uraian, serta ilustrasi. Meliputi 6 kelompok mata pelajaran. Mendidkusikan hasil analisis materi bahan ajar dan penelitian, kemudian menyusun laporan hasil studi pendahuluan.
2. Penyusunan Draft I . Berdasarkan studi pendahuluan, tim penyusunan menyusun draft 1 rambu-rambu bahan ajar berwawasan gender, yang terdiri dari 3 bab, yaitu pendahuluan, kajian teoritik serta penulisan bahan ajar dan kegiatan belajar mengajar.
3. Uji Ahli
Draft yang telah tersusun untuk selanjutnya direview oleh ahli. Review yang dilakukan para ahli bertujuan untuk mengetahui
Ketepatan penulisan. Para ahli melakukan analisis dan koreksi atas draft yang telah disusun, meliputi keterbacaan, muatan gender dan kesesuaian kurikulum. Penganalisaan para ahli yang memiliki kredibilitas di bidangnya masing-masing. Adapun yang dilakukan adalah analisis pada konten, fokus analisis disesuaikan dengan tujuannya.
Alat ukur yang digunakan untuk review adalah dalam bentuk angket terbuka dengan memberi peluang dua pilihan jawaban, yaitu: memadai dan tidak memadai dan diikuti dengan keterangan atau sasaran sebagai penjelasan atas pilihan jawaban yang dibuat oleh ketiga ahli. Review dilakukan pada keseluruhan isi rambu-rambu penulisan yang dihasilkan, meliputi dasar berpikir, landasan konsep teoritis dan
draft 1.
4. Penyusunan Draft II
Berdasarkan koreksi dari tiga ahli, tim penyusun melakukan perbaikan atas draft I, sehingga terjadi beberapa perubahan, dalam hal ini menyangkut isi dari pedoman rambu-rambu berwawasan gender. Hasil revisi ini disebut dengan draft II rambu-rambu penulisan bahan ajar berwawasan gender.
5. Ujicoba Lapangan
Ujicoba selanjutnya adalah ujicoba lapangan yang bertujuan untuk mengetahui tingkat keterterimaan dan kesesuaian rambu-rambu yang telah disusun apabila diterapkan di lapangan. Kegiatan ini dilakukan pada lima propinsi, yaitu Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali dan Sulawesi Selatan. Adapun responden adalah para guru, mulai dari tingkat SD dan/atau MI, SMP/MTs, dan SMU/MA, meliputi mata pelajaran kelompok IPA, IPS, Agama, Kertakes dan Penjaskes. Jumlah responden dengan target 60 orang ternyata beberapa berhalangan pada hari pelaksanaan, sehingga jumlah yang ada 56 orang.
Alat ukur yang digunakan adalah instrumen untuk mengukur tingkat keterterimaan yang dimaksud yakni kejelasan isi rambu-rambu penulisan bahan ajar yang mengacu pada KBK, Wawasan Gender, dan keterbacaan/kejelasan bahasa.
Waktu pelaksanaan ujicoba adalah minggu ke 3 dan 4 bulan September 2003.
IV. H A S I L
Ujicoba di lapangan melibatkan 56 responden yakni guru dari tingkat SD/MI sampai dengan SMA/MA. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa pedoman penulisan bahan ajar yang berwawasan gender 91,11% dapat diterima, dengan nilai rerata dari jawaban responden adalah 37, 56%. Adapun substansi yang dinilai dan kriteria penilaiannya, adalah 96% untuk pendahuluan mudah dipahami, 98% menyatakan sistematika penulisan runtut; kerangka penulisan cocok, dapat diterapkan dan mudah dipahami, masing-masing simpulan itu dinyatakan oleh 93%, 89%, dan 88% responden; topik hasil belajar penting, dan mudah dipahami, masing-masing dinyatakan dengan 89% dan 95% responden; indikator hasil belajar penting, dapat diterapkan, dan mudah dipahami, masing-masing simpulan itu dinyatakan oleh 95%, 95%, dan 89%; topik tentang materi, penting dan mudah dipahami, masing-masing dinyatakan 89% dan 93%; topik tentang latihan, penting, mudah dipahami, dan dapat diterapkan, masing-masing 96%, 89%, 88%; topik tentang evaluasi penting, mudah dipahami, dapat diterapkan, masing-masing dinyatakan 95%, 93% dan 95%; topik kegiatan belajar-mengajar (KBM) penting, mudah dipahami, dan dapat diterapkan dinyatakan 89%, 91%, dan 95%; topik prinsip-prinsip KBM, penting, mudah dan dapat diterapkan, masing-masing dinyatakan oleh 93%, 93%, dan 98%; topik langkah pembelajaran, penting, mudah dipahami, dan dapat diterapkan,91%, 98% dan 96%; Topik kegiatan guru, penting, mudah dipahami dan diterapkan di
nyatakan 86%, 95%, dan 96%; topik kegiatan siswa, penting, mudah dipahami, dan dapat diterapkan, dinyatakan 84%, 95%, 95%; gambar dengan penjelasan penyertanya, memadai dinyatakan 91%; ilustrasi naratif, mudah dipahami, dinyatakan 91%; tata letak memadai, dinyatakan 84 %; alur pikir, memadai dinyatakan 88%; sistematika penulisan memadai dinyatakan 88%, ilustrasi memadai dinyatakan 73%;ukuran buku memadai dinyatakan 75%; dan jenis serta ukuran huruf yang digunakan dalam draft rambu-rambu penulisan bahan ajar berwawasan gender memadai keseluruhan responden menjawab 84% menyatakan ya.
Berdasarkan jenis kelamin responden perempuan 90,99% dan laki-laki 91,22% menyatakan draft rambu-rambu penulisan bahan ajar berwawasan gender baik. Artinya yang dimaksud yakni jelas isinya mengacu kurikulum berbasis kompetensi, dan mengandung wawasan gender; juga dari segi kebahasan
yakni penggunaan bahasanya jelas.
Data berdasarkan wilayah menunjukkan : Jawa Timur 94.46%, Jawa Barat 91.80%, Sulawesi Selatan 90.48%, Sumatra Barat 91.13%, Bali 87.48% responden yang menyatakan baik dan jelas isinya serta kebahasaan yakni penggunaan bahasanya jelas mencakup pilihan kata yang digunakan, sistematika penulisan dengan keruntutan penyampaiannya sehingga mudah dipahami.
Berdasarkan analisis tersebut, disimpulkan draft Rambu-Rambu Penulisan Bahan Ajar Berwawasan Gender yang diujicobakan dapat diterapkan untuk digunakan sebagaimana tujuan yang mendasari perancangannya. Namun demikian, perlu diperbaiki dahulu merujuk kepada kritik dan saran-saran dibuat daftar istilah dan definisi/pengertiannya.
V. IMPLIKASI
1. Berdasarkan saran-saran dan kritik di atas untuk selanjutnya dilakukan
Perbaikan dengan membuat daftar istilah dan definisi/ pengertiannya, yang dimaksud adalah istilah-istilah teknis yang berhubungan dengan KBK serta Wawasan Gender.
2. Dibuat daftar isi untuk menjadi bagian dari Rambu-Rambu Penulisan Bahan Ajar Berwawasan Gender produk akhir pengembangan.
3. Perlunya perbaikan tampilan pada proses pencetakan.
4. Sosialisasi Rambu-rambu ini kepada guru dan penulis bahan ajar. Sekaligus sosialisasi wawasan kesadaran gender dan wawasan KBK kepada guru maupun penulis.
5. Perlunya pelatihan kemampuan penerapan KBM yang mengacu kepada KBK dan Wawasan Gender.
6. Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan yang ditujukan untuk menghasilkan prototipe bahan ajar berwawasan gender untuk tingkat Pendidikan SD/MI,SLTP/MTs, dan SMAUMA.
DAFTAR PUSTAKA
Adam Geralf R. & Gullotta Thomas (1983), Adolencent life experience. California California : Brooks/Cole Publishing Company.
Ardhana, Wayan (1997) “Pandangan Behavioristik vs Konstruktivistik : Pemecahan Masalah Belajar di Abad XXI., Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran, di Malang, 26 Juni 1997.
Brooks, J.G. dan Brooks, M.G. (1993). In search of understanding : the case for constructivist classrooms. Alexandria, Va. ; ASCD
Carin and Sun (1985). Teanching Science Through Discovery. Charles Merill Publishing Co Colombus Toronto.
Dahar R.W. (1989) Teori-teori Belajar. Bandung : Penerbit Erlangga
Good, T.L. dan Brophy, J., (1995). Contemporary Educational Psychology. 5th ed. N.Y.: Longman Publishers USA.
Hurlock E. (1991), Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Terjemahan dari “ Developmental Psychology: A Life-Span Aproach.” 1980. Jakarta : Erlangga.
Hullfish el al. (1981), Reflective Thinking The Method of Education, Ohio
Puskur (2002) Pengembangan Silabus KBK, Jakarta : Litbang Depdiknas.
Puskur (2002) Pelaksanaan KBK, Jakarta: Litbang Depdiknas.
Puskur Balitbang (2002) Kurikulum Hasil Belajar Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah, Jakarta: Litbang Depdiknas.
Puskur Balitbang (2002) Kurikulum Hasil Belajar Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah, Jakarta : Litbang Depdiknas.
Puskur Balitbang (2002) Kurikulum Hasil Belajar Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah , Jakarta : Litbang Depdiknas.
I. PENDAHULUAN
Sebagai negara yang menempatkan pendidikan pada posisi penting maka hal tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak mendapatkan pendidikan. Dengan demikian ini ditujukan bagi warga negara laki-laki maupun perempuan. Hal ini menunjukkan negara memiliki sikap kesetaraan terhadap warga negaranya.
Penyikapan oleh negara tersebut belum cukup dirasakan utuh pada tataran praksis. Dunia pendidikan cenderung masih merupakan dunia laki-laki dan menyisakan sedikit tempat untuk perempuan. Masih nampak adanya pemiskinan kesempatan dalam menempuh pendidikan. Di dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, gejala itu dapat dilihat dari pemberian prioritas utama kepada anak laki-laki untuk memperoleh pendidikan tinggi, pada keluarga yang memiliki anak perempuan dan laki-laki. Nampak terjadi diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, yaitu adanya perlakuan yang tidak berimbang antara kedua kelompok gender. Perlakuan yang ditunjukkan sebagaimana di atas disebut bias gender. Adapun dalam pelaksanaan pendidikan formal, pada aras kelas, bias gender terjadi pada materi ajar maupun dalam proses belajar mengajar. Bias tersebut juga terdapat pada materi ajar, dapat dilihat dalam buku-buku pelajaran, munculnya pada ilustrasi, baik dalam ilustrasi maupun narasi. Umumnya penulis menggambarkan perbedaan dari keduamya dalam peran, fungsi, kedudukan, dan tanggung jawab. Selain itu adanya kecenderungan guru untuk menempatkan posisi siswa laki-laki lebih tinggi dari siswa perempuan. Padahal, pendidikan seharusnya memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk memperoleh posisi yang sejajar, dengan mengacu pada usaha, kerja keras dan bukan atas dasar hak istimewa. Oleh karena itu, materi ajar yang dikemas dalam buku-buku pelajaran, dan begitu juga pelaksanaan belajar mengajar dikelas harus berwawasan gender.
Untuk dapat menghasilkan buku ajar yang berwawasan gender, dan merancangserta melaksanakan belajar mengajar di kelas, para guru memerlukan suatu rambu-rambu yang dapat berfungsi sebagai pedoman baginya untuk menulis bahan ajar dan merancang kegiatan belajar mengajar yang berwawasan gender. Untuk itulah diperlukan upaya melakukan pengembangan suatu bentuk Rambu-rambu Penulisan Bahan Ajar Berwawasan Gender. Kegiatan inilah yang dilakukan dalam penelitian ini.
Kegiatan ini dilaksanakan dengan melalui berbagai tahap sebagai berikut: Studi Pendahuluan, Penyusunan Draft Awal, Uji Ahli, Penyusunan Draft Kedua, Uji Coba Lapangan, dan Penyusunan Draft Akhir.
II. TEORI
A. Konsep Gender
Istilah Gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan, dipelajari dan disosialisasikan. Pembedaan ini sangat penting karena selama ini kita seringkali mencampuradukkan ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah, dengan ciri manusia yang bersifat nonkodrati yang sebenarnya dapat berubah atau diubah. Dengan kata lain masyarakat tidak membedakan yang mana sebetulnya jenis kelamin (kodrat) dan yang mana gender.
Penanaman konsep gender dilakukan sebagai pengetahuan juga berupa penanaman sikap. Sehingga gendering merupakan konstruksi sosial-psikologis berarti secara historis dan budaya. Oleh karena itu mengimplementasikan gender pada bahan ajar bagi siswa perlu disajikan penanaman pengetahuan dan sikap mengenai hal-hal yang paling dekat dengan lingkungannya.
Penanaman pengetahuan yang baru dan pembentukan sikap gender memerlukan langkah-langkah yang berbeda dengan pengetahuan lainnya mengingat gender merupakan suatu pemaknaan budaya yang telah melekat di masyarakat.
Fenomena adanya bias gender dapat tampil dalam bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender, seperti : a. marjinalisasi (pemiskinan), b. subordinasi (penomorduaan), c. pandangan streotipe, d. kekerasaan, e. beban kerja (Simatauw M. dkk, 2001).
B. Teori Belajar
Untuk mendorong terjadinya strategi belajar yang dianjurkan aliran konstruktif, dapat dilakukan pembelajaran melalui beberapa metode seperti :
1. Pembelajaran Induktif.
Hilda Taba mengembangkan model mengajar, dimana ia mengemukakan strategi mengajar yang meningkatkan kemampuan para siswa untuk menangani informasi. Model mengajar ini dikembangkan dengan asumsi bahwa dalam mengajar, situasi kelas merupakan kerjasama dari sejumlah kegiatan siswa.
Model pembelajaran seperti ini dinilai dapat digunakan sebagai pengenalan pengalaman baru. Konsep gender bagi siswa pada saat masih merupakan konsep baru yang belum banyak dikenal oleh siswa.
2. Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran ini merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan tenaga kerja.
Pembelajaran ini mempunyai enam unsur kunci seperti : pembelajaran bermakna, penerapan pengetahuan, berpikir tingkat yang lebih tinggi, kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar, responsive terhadap budaya dan penilaian autentik (University of Washington, 2001).
Model pembelajaran ini dinilai sangat tepat untuk digunakan sebagai pengenalan konsep ketidaksetaraan, marginalisasi, diskriminasi, dan streotipe dapat dikembangkan saat pembelajaran.
3. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran ini cenderung mengacu pada belajar kelompok siswa, dengan menggunakan empat pendekatan : a). STAD, pembelajaran dilakukan dengan melibatkan siswa secara heterogen, mereka perlu bekerjasama menyelesaikan tugas-tugasnya, diskusi, setiap minggu ada penilaian, diumumkan tim-tim dengan skor tinggi, siswa yang mencapai skor perkembangan tinggi artinya perlakuan yang diberikan adil baik kepada siswa laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi. b). Jigsaw, cara ini tanpa melihat jenis kelamin memiliki kesempatan belajar bagian tertentu dari materi ajar dan sama-sama memiliki tanggungjawab kepada temannya untuk mentransformasi isi dari pelajaran yang telah dipelajarinya. c). Investigasi Kelompok, model pembelajaran ini memerlukan cara yang mengajarkan siswa keterampilan komunikasi dan proses kelompok yang baik, serta norma dan struktur kelas yang lebih rumit. Siswa dikelompokkan dengan kawannya yang cenderung memiliki minat yang sama, kemudian memilih topik yang ingin diselidiki, selanjutnya menyiapkan dan mempresentasikannya. d). Pendekatan struktural, cara ini memiliki kemiripan dengan cara lain hanya saja ia dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Ada struktur yang dikembangkan untuk perolehan isi akademik, ada yang dirancang untuk mengajarkan keterampilan sosial atau keterampilan kelompok.
4. Proses Belajar Mengajar
PBM tidak terlepas dari tiga komponen utama yaitu; guru, siswa dan bahan ajar. Ahli lain menyatakan proses belajar merupakan interaksi antara berbagai unsur, dengan unsur utama adalah siswa, kebutuhan sebagai sumber, serta situasi belajar yang memberikan kemungkinan kegiatan belajar. Meskipun demikian guru merupakan faktor yang cukup menentukan, seperti melakukan pengembangan bahan ajar serta perangkat lainnya.
C. Perkembangan Siswa
Perkembangan siswa ditinjau dari rentang usia SD/MI, sampai dengan SLTA/MA.. Umumnya para ahli perkembangan melihat dari segi aspek perkembangan setiap masa itu mencakup perkembangan; fisik, kognitif (terutama ini), emosi, sosial, moral dan kepribadian. Khusus pada penelitian ini yang dibahas adalah perkembangan kognitif, sehingga dapat diperkirakan kesanggupan mereka menangkap berbagai konsep dalam hal ini konsep yang berwawasan gender.
D. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kurikulum ini merupakan merupakan kajian ulang terhadap kurikulum 1994. KBK berorientasi pada a) hasil dan implikasi yang diharapkan pada diri siswa melalui serangkaian pengalaman belajar dan b) keberagaman yang dapat diwujudkan sesuai dengan kebutuhannya. Kurikulum ini memiliki 9 prinsip dan salah satu prinsipnya adalah “kesamaan dalam memperoleh kesempatan” . Mengingat kurikulum merupakan pijakan global maka masih dibutuhkan rambu-rambu untuk menerjemahkannya menjadi bahan ajar, dalam hal ini pedoman yang dirancang untuk memudahkan guru dalam menulis bahan ajar dan kegiatan belajar mengajar yang berwawasan gender.
E. Materi Bahan Ajar
Salah satu wujud dari bahan ajar/materi bahan ajar adalah buku pelajaran, dan menurut Cunnings buku merupakan komponen yang sangat penting disamping guru dan siswa. Perangkat buku pelajaran itu terdiri dari 3 komponen, yaitu buku siswa, buku guru dan buku kerja siswa. Buku pelajaran memiliki fungsi yang meliputi ; sumber yang disajikan, untuk kegiatan siswa, sebagai acuan siswa ketika belajar, dorongan untuk berkegiatan di kelas, perwujudan silabus, sebagai sumber dalam tugas mandiri, bantuan bagi guru yang kurang berpengalaman. Topik dan bahan dalam buku pelajaran harus memiliki wacana yang dipilih berdasarkan konteks sosial, budaya dan kehidupan siswa sehingga menarik minat siswa. Bahan yang kontekstual dan mengandung topik yang menarik mampu memberi informasi, tantangan, dorongan memperkaya pengalaman, meningkatkan kepekaan bathin dan sosial, mengembangkan kepercayaan diri, mengembangkan kemampuan untuk memperhitungkan, serta meningkatkan keberanian siswa dalam mengambil keputusan.
F. Evaluasi Pembelajaran.
Dalam rangka menjaring hasil kerja siswa, maka pelaksanan penilaian dapat berbentuk, tes tertulias, penampilan (performance), penugasan atau proyek, dan portofolio. Tugas yang diberikan dapat berbentuk tugas individual maupun tugas kelompok. Dalam membuat penilaian yang akurat dan adil guru harus bersikap optimal yaitu : 1) memanfaatkan berbagai bukti hasil kerja siswa dari sejumlah penilaian yang dilakukan dengan berbagai strategi dan cara, 2) membuat keputusan yang adil terhadap penguasaan kemampuan siswa dengan mempertimbangkan hasil kerja yang dikumpulkan. Guru menetapkan tingkat pencapaian siswa berdasarkan hasil belajarnya pada kurun waktu tertentu dan dalam berbagai rentang situasi.
III. METODOLOGI
Proses pengembangan rambu-rambu penulisan berwawasan ajar dilakukan dalam rangkaian kegiatan yang tersistematis dengan melalui langkah-langkah dibawah ini :
1. Studi pendahuluan ; merupakan bentuk studi terhadap dokumen dan pustaka atas buku-buku pelajaran dan artikel-artikel lain yang ada dalam Jurnal Perempuan, dengan menggunakan analisis gender. Kesemuanya ditelaah pada uraian materi, bahasa yang digunakan, contoh uraian, serta ilustrasi. Meliputi 6 kelompok mata pelajaran. Mendidkusikan hasil analisis materi bahan ajar dan penelitian, kemudian menyusun laporan hasil studi pendahuluan.
2. Penyusunan Draft I . Berdasarkan studi pendahuluan, tim penyusunan menyusun draft 1 rambu-rambu bahan ajar berwawasan gender, yang terdiri dari 3 bab, yaitu pendahuluan, kajian teoritik serta penulisan bahan ajar dan kegiatan belajar mengajar.
3. Uji Ahli
Draft yang telah tersusun untuk selanjutnya direview oleh ahli. Review yang dilakukan para ahli bertujuan untuk mengetahui
Ketepatan penulisan. Para ahli melakukan analisis dan koreksi atas draft yang telah disusun, meliputi keterbacaan, muatan gender dan kesesuaian kurikulum. Penganalisaan para ahli yang memiliki kredibilitas di bidangnya masing-masing. Adapun yang dilakukan adalah analisis pada konten, fokus analisis disesuaikan dengan tujuannya.
Alat ukur yang digunakan untuk review adalah dalam bentuk angket terbuka dengan memberi peluang dua pilihan jawaban, yaitu: memadai dan tidak memadai dan diikuti dengan keterangan atau sasaran sebagai penjelasan atas pilihan jawaban yang dibuat oleh ketiga ahli. Review dilakukan pada keseluruhan isi rambu-rambu penulisan yang dihasilkan, meliputi dasar berpikir, landasan konsep teoritis dan
draft 1.
4. Penyusunan Draft II
Berdasarkan koreksi dari tiga ahli, tim penyusun melakukan perbaikan atas draft I, sehingga terjadi beberapa perubahan, dalam hal ini menyangkut isi dari pedoman rambu-rambu berwawasan gender. Hasil revisi ini disebut dengan draft II rambu-rambu penulisan bahan ajar berwawasan gender.
5. Ujicoba Lapangan
Ujicoba selanjutnya adalah ujicoba lapangan yang bertujuan untuk mengetahui tingkat keterterimaan dan kesesuaian rambu-rambu yang telah disusun apabila diterapkan di lapangan. Kegiatan ini dilakukan pada lima propinsi, yaitu Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali dan Sulawesi Selatan. Adapun responden adalah para guru, mulai dari tingkat SD dan/atau MI, SMP/MTs, dan SMU/MA, meliputi mata pelajaran kelompok IPA, IPS, Agama, Kertakes dan Penjaskes. Jumlah responden dengan target 60 orang ternyata beberapa berhalangan pada hari pelaksanaan, sehingga jumlah yang ada 56 orang.
Alat ukur yang digunakan adalah instrumen untuk mengukur tingkat keterterimaan yang dimaksud yakni kejelasan isi rambu-rambu penulisan bahan ajar yang mengacu pada KBK, Wawasan Gender, dan keterbacaan/kejelasan bahasa.
Waktu pelaksanaan ujicoba adalah minggu ke 3 dan 4 bulan September 2003.
IV. H A S I L
Ujicoba di lapangan melibatkan 56 responden yakni guru dari tingkat SD/MI sampai dengan SMA/MA. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa pedoman penulisan bahan ajar yang berwawasan gender 91,11% dapat diterima, dengan nilai rerata dari jawaban responden adalah 37, 56%. Adapun substansi yang dinilai dan kriteria penilaiannya, adalah 96% untuk pendahuluan mudah dipahami, 98% menyatakan sistematika penulisan runtut; kerangka penulisan cocok, dapat diterapkan dan mudah dipahami, masing-masing simpulan itu dinyatakan oleh 93%, 89%, dan 88% responden; topik hasil belajar penting, dan mudah dipahami, masing-masing dinyatakan dengan 89% dan 95% responden; indikator hasil belajar penting, dapat diterapkan, dan mudah dipahami, masing-masing simpulan itu dinyatakan oleh 95%, 95%, dan 89%; topik tentang materi, penting dan mudah dipahami, masing-masing dinyatakan 89% dan 93%; topik tentang latihan, penting, mudah dipahami, dan dapat diterapkan, masing-masing 96%, 89%, 88%; topik tentang evaluasi penting, mudah dipahami, dapat diterapkan, masing-masing dinyatakan 95%, 93% dan 95%; topik kegiatan belajar-mengajar (KBM) penting, mudah dipahami, dan dapat diterapkan dinyatakan 89%, 91%, dan 95%; topik prinsip-prinsip KBM, penting, mudah dan dapat diterapkan, masing-masing dinyatakan oleh 93%, 93%, dan 98%; topik langkah pembelajaran, penting, mudah dipahami, dan dapat diterapkan,91%, 98% dan 96%; Topik kegiatan guru, penting, mudah dipahami dan diterapkan di
nyatakan 86%, 95%, dan 96%; topik kegiatan siswa, penting, mudah dipahami, dan dapat diterapkan, dinyatakan 84%, 95%, 95%; gambar dengan penjelasan penyertanya, memadai dinyatakan 91%; ilustrasi naratif, mudah dipahami, dinyatakan 91%; tata letak memadai, dinyatakan 84 %; alur pikir, memadai dinyatakan 88%; sistematika penulisan memadai dinyatakan 88%, ilustrasi memadai dinyatakan 73%;ukuran buku memadai dinyatakan 75%; dan jenis serta ukuran huruf yang digunakan dalam draft rambu-rambu penulisan bahan ajar berwawasan gender memadai keseluruhan responden menjawab 84% menyatakan ya.
Berdasarkan jenis kelamin responden perempuan 90,99% dan laki-laki 91,22% menyatakan draft rambu-rambu penulisan bahan ajar berwawasan gender baik. Artinya yang dimaksud yakni jelas isinya mengacu kurikulum berbasis kompetensi, dan mengandung wawasan gender; juga dari segi kebahasan
yakni penggunaan bahasanya jelas.
Data berdasarkan wilayah menunjukkan : Jawa Timur 94.46%, Jawa Barat 91.80%, Sulawesi Selatan 90.48%, Sumatra Barat 91.13%, Bali 87.48% responden yang menyatakan baik dan jelas isinya serta kebahasaan yakni penggunaan bahasanya jelas mencakup pilihan kata yang digunakan, sistematika penulisan dengan keruntutan penyampaiannya sehingga mudah dipahami.
Berdasarkan analisis tersebut, disimpulkan draft Rambu-Rambu Penulisan Bahan Ajar Berwawasan Gender yang diujicobakan dapat diterapkan untuk digunakan sebagaimana tujuan yang mendasari perancangannya. Namun demikian, perlu diperbaiki dahulu merujuk kepada kritik dan saran-saran dibuat daftar istilah dan definisi/pengertiannya.
V. IMPLIKASI
1. Berdasarkan saran-saran dan kritik di atas untuk selanjutnya dilakukan
Perbaikan dengan membuat daftar istilah dan definisi/ pengertiannya, yang dimaksud adalah istilah-istilah teknis yang berhubungan dengan KBK serta Wawasan Gender.
2. Dibuat daftar isi untuk menjadi bagian dari Rambu-Rambu Penulisan Bahan Ajar Berwawasan Gender produk akhir pengembangan.
3. Perlunya perbaikan tampilan pada proses pencetakan.
4. Sosialisasi Rambu-rambu ini kepada guru dan penulis bahan ajar. Sekaligus sosialisasi wawasan kesadaran gender dan wawasan KBK kepada guru maupun penulis.
5. Perlunya pelatihan kemampuan penerapan KBM yang mengacu kepada KBK dan Wawasan Gender.
6. Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan yang ditujukan untuk menghasilkan prototipe bahan ajar berwawasan gender untuk tingkat Pendidikan SD/MI,SLTP/MTs, dan SMAUMA.
DAFTAR PUSTAKA
Adam Geralf R. & Gullotta Thomas (1983), Adolencent life experience. California California : Brooks/Cole Publishing Company.
Ardhana, Wayan (1997) “Pandangan Behavioristik vs Konstruktivistik : Pemecahan Masalah Belajar di Abad XXI., Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran, di Malang, 26 Juni 1997.
Brooks, J.G. dan Brooks, M.G. (1993). In search of understanding : the case for constructivist classrooms. Alexandria, Va. ; ASCD
Carin and Sun (1985). Teanching Science Through Discovery. Charles Merill Publishing Co Colombus Toronto.
Dahar R.W. (1989) Teori-teori Belajar. Bandung : Penerbit Erlangga
Good, T.L. dan Brophy, J., (1995). Contemporary Educational Psychology. 5th ed. N.Y.: Longman Publishers USA.
Hurlock E. (1991), Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Terjemahan dari “ Developmental Psychology: A Life-Span Aproach.” 1980. Jakarta : Erlangga.
Hullfish el al. (1981), Reflective Thinking The Method of Education, Ohio
Puskur (2002) Pengembangan Silabus KBK, Jakarta : Litbang Depdiknas.
Puskur (2002) Pelaksanaan KBK, Jakarta: Litbang Depdiknas.
Puskur Balitbang (2002) Kurikulum Hasil Belajar Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah, Jakarta: Litbang Depdiknas.
Puskur Balitbang (2002) Kurikulum Hasil Belajar Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah, Jakarta : Litbang Depdiknas.
Puskur Balitbang (2002) Kurikulum Hasil Belajar Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah , Jakarta : Litbang Depdiknas.
Merancang Pendidikan Masa Depan
Merancang Pendidikan Masa Depan
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar belakang Masalah
Problematika pendidikan Indonesia semakin hari semakin aktual, seolah tiada hari tanpa masalah. Dimulai dari kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya sebuah pendidikan, minimnya fasilitas institusi pendidikan, kurang profesionalnya tenaga kependidikan (Guru,Dosen, staff ahli, serta seluruh komponen penunjang terselenggaranya pendidikan), sampai kurang disiplinnya para pelaku pendidikan ( adanya oknum Dik.Nas yang korup, pengajar hanya secara formalitas masuk di kelas, sampai para siswa/peserta didik yang melakukan tindakan amoral). Hal itu belum sepenuhnya tuntas jika di deskripsikan bersama masalah lain yang konon lebih essensial; minimnya anggaran biaya pemerintah dari APBN/APBD, kesejahteraan pendidik yang kurang terperhatikan, sampai system program pendidikan yang tidak pernah terselesaikan secara optimal.
Agaknya perlu dicanangkan sebuah pemikiran/gagasan baru seputar dunia pendidikan Indonesia, agar komponen bangsa ini dapat meningkatkan kualitas pendidikan ,serta meminimalisir problem seputar dunia pendidikan bangsa kita. Dalam makalah ini dikemukakan sebuah gagasan yang mungkin tepat untuk merefleksikan sebuah dunia pendidikan Indonesia masa depan, dimana seluruh komponen dapat berperan dalam mengupayakan/ mewujudkan masa depan dunia pendidikan Indonesia. Semoga makalah ini dapat bermanfaat sebagai sarana transformasi pengetahuan bangsa menuju kemashlahatan bersama.
I.2. Rumusan Permasalahan
Adapun beberapa masalah yang dapat kami rumuskan antara lain;
1. Apa yang dimaksud Pendidikan, serta apa hakikat sesungguhnya dari pendidikan itu ?
2. Apa saja Problematika Pendidikan Indonesia ?
3. Bagaimana solusi problem tersebut serta gagasan untuk mewujudkan Masa depan Pendidikan Indonesia?
II .Pembahasan
2.1. Pendidikan definisi,serta esensi nya
Pendidikan merupakan suatu proses yang sangat kompleks dan berjangka panjang, di mana berbagai aspek yang tercakup dalam proses saling erat berkaitan satu sama lain dan bermuara pada terwujudnya manusia yang memiliki nilai hidup, pengetahuan hidup dan keterampilan hidup. Prosesnya bersifat kompleks dikarenakan interaksi di antara berbagai aspek tersebut, seperti guru, bahan ajar, fasilitas, kondisi siswa, kondisi lingkungan, metode mengajar yang digunakan, tidak selamanya memiliki sifat dan bentuk yang konsisten yang dapat dikendalikan. Hal ini mengakibatkan penjelasan terhadap fenomena pendidikan bisa berbeda-beda baik karena waktu, tempat maupun subjek yang terlibat dalam proses.
Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni, pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Upaya untuk mengembangkan ketiga aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar sekolah dan keluarga. Kegiatan di sekolah direncanakan dan dilaksanakan secara ketat dengan prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan. Pelaksanaan di luar sekolah, meski memiliki rencana dan program yang jelas tetapi pelaksanaannya relatif longgar dengan berbagai pedoman yang relatif fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokal. Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga dilaksanakan secara informal tanpa tujuan yang dirumuskan secara baku dan Tertulis.
Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat.Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moralyangbaik.
Tujuan pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa dan bukannya perpecahan.
Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut di atas, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan atau "enculturation", suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu. Konsekuensi dari pemyataan ini, maka praktek pendidikan harus sesuai dengan budaya masyarakat akan menimbulkan penyimpangan yang dapat muncul dalam berbagai bentuk goncangan-goncangan kehidupan individu dan masyarakat.
Tuntutan keharmonisan antara pendidikan dan kebudayaan bisa pula dipahami, sebab praktek pendidikan harus mendasarkan pada teori-teori pendidikan dan giliran berikutnya teori-teori pendidikan harus bersumber dari suatu pandangan hidup masyarakat yang bersangkutan.
A. Praktek pendidikan modern
Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan: praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonial Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono, 1985). Berbagai praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa praktek pendidikan yang relevan dengan pembahasan ini adalah praktek-praktek pendidikan modern zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan sampai pada tahun 1965, dan praktek pendidikan dalam masa pembangunan sampai sekarang ini.
Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai "pangreh praja". Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas.
Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk orang pribumi. Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.
Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia pendidikan Indonesia memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan disatukan. Tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing degan pengantar bahasa Belanda. Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan se telah bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis bahwa praktek pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada masa ini, lingkungan politik terasa mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan nasionalisme terasa berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri. Hal ini sangat terasa terutama pada periode Orde Lama (tahun 1959-1965).
Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Sebaliknya, pendidikan setelah tahun 1966 pengaruh sistem pendidikan Amerika semakin lama terasa semakin menonjol. Sistem pendidikan Amerika menekankan bahwa praktek pendidikan merupakan instrumen dalam proses pembangunan. Oleh karenanya, tidak rnengherankan kalau seiring dengan semangat dan pelaksanaan pembangunan yang dititik-beratkan pada pembangunan ekonomi, praktek pendidikan dijadikan alat untuk dapat mendukung pembangunan ekonomi dengan mempersiapkan tenaga kerja yang diperlukan dalam pembangunan. Dengan kata lain praktek pendidikan yang bersumber pada kebijaksanaan pendidikan banyak ditentukan guna kepentingan pembangunan ekonomi.
Perkembangan pendidikan nasional yang berkiblat pada pendidikan Amerika berkembang pesat dan menunjukkan hasil yang luar biasa. Namun perlu dicatat bahwa kecepatan perkembangan pendidikan nasional ini cenderung mendorong pendidikan ke arah sistem pendidikan yang bersifat sentralistis. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin berkembangnya birokrasi untuk menopang proses pengajaran tradisional yang semuanya mengarah pada rigiditas. Birokrasi pusat cenderung menekankan proses pendidikan secara klasikal dan bersifat mekanistis. Dengan demikian proses pendidikan cenderung diperlakukan sebagaimana sebuah pabrik. Akibatnya pihak-pihak yang terkait dalam pendidikan, khususnya guru dan murid sebagai individu yang memiliki "kepribadian" tidak banyak mendapatkan perhatian kurikulum, guru dan aturan serta prosedur pelaksanaan pengajaran di sekolah dan juga di kelas ditentukan dari pusat dengan segala wewenangnya. Misalnya, keharusan mengajar dengan menggunakan pendekatan CBSA, kokurikuler dalam bentuk kliping koran.
Lebih lanjut, sentralisasi dan berkembangnya birokrasi pendidikan yang semakin luas dan kaku akan menjadikan keseragaman sebagai suatu tujuan. Hasilnya, berkembanglah manusia-manusia dengan mentalitas "juklak" dan "juknis" yang siap diberlakukan secara seragam. Akibat lebih jauh di masyarakat berkembang prinsip persetujuan sebagai kunci sukses; promosi dan komunikasi adalah komando; interaksi dicampurkan dengan pertemuan-pertemuan resmi; dan stabilitas yang dikaitkan dengan tindakan yang tidak mengandung emosi.
Karena kemerosotan kualitas pendidikan dikarenakan ketidak-mampuan organisasi sekolah menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan lingkungan sebagai akibat dari birokratisasi dunia, kualitas pendidikan yang bersifatsentralistis, maka untuk meningkatkan kualitas pendidikan harus didasarkan pada kebijaksanaan debirokratisasi dan desentralisasi.
Desentralisasi pendidikan merupakan suatu tindakan mendelegasikan wewenang kepada satuan kerja yang langsung berhubungan dengan peserta didik. Permasalahannya yang lebih mendalam yang perlu diperfanyakan adalah "apakah kebijaksanaan desentralisasi yang dilaksanakan untuk seluruh fungsi dan kekuasaan sekolah-sekolah ataukah hanya untuk pembagian tugas-tugas administrasi? Apakah kebijaksanaan desentralisasi hanya dilihat sebagai cara untuk mencapai efisiensi dengan mengurangi upaya untuk transformasi baik sistem maupun proses pendidikan?"
Kalau desentralisasi hanya sekedar mengurangi beban tanggung jawab di puncak kekuasaan dengan memberikan sebagian tugas-tugas administrasi kepada aparat yang lebih rendah maka desentralisasi tidak akan banyak artinya sebagai sarana peningkatan kualitas pendidikan. Dewasa ini ketidak-mampuan sekolah meningkatkan kualitas pendidikan mencerminkan ketidak-mampuan struktur dan sistem persekolahan. Kalau tidak ada perubahan yang mendasar pada sistem pendidikan, maka segala upaya peningkatan kualitas akan sia-sia. Oleh karena itu, kebijaksanaan yang diperlukan di dunia pendidikan kita sekarang ini adalah desentralisasi yang mendasar.
Ada beberapa tujuan yang perlu dicapai dengan kebijaksanaan desentralisasi. Pertama, sistem persekolahan harus lebih tanggap terhadap kebutuhan individu peserta didik, guru, dan sekolah. Kedua, iklim pendidikan harus menguntungkan untuk pelaksanaan proses pendidikan.
Di samping mempertanyakan kualitas output pendidikan yang berkiblat ke Arnerika ini, mulai dirasakan bahwa praktek pendidikan cenderung mendorong munculnya generasi terdidik yang bersifat materialistik, individualistik dan konsumtif. Hal ini sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari pengetrapan praktek pendidikan Amerika. Apalagi, pusat-pusat pendidikan yang lain, misalnya media komunikasi massa mendukung proses "Amerikanisasi" ini.
Adapula satu bentuk produk proses pendidikan yang sesungguhnya menyimpang dari apa yang terjadi di Barat yakni munculnya mentalitas "jalan pintas", dengan semangat dan kemauan untuk bisa mendapatkan hasil secepat mungkin, baik di kalangan generasi muda maupun generasi tuanya. Mereka cenderung tidak menghiraukan bahwa segala sesuatu harus melewati proses yang memerlukan waktu. Bahkan tidak jarang waktu yang diperlukan melewati rentang waktu kehidupannya, tetapi demi masa depan generasi yang akan datang generasi sekarang harus merelakannya. Sebagai contoh, di Barat tidak jarang pembuatan "minuman anggur", agar memiliki rasa luar biasa memerlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Tidak jarang pada label sebotol anggur dituliskan: "dibuka 100 atau 200 tahun lagi". Mentalitas "jalan pintas" merupakan hasil negatif dari penekanan yang berlebihan pendidikan sebagai instrumen pembangunan ekonomi. Aspek negatif lain yang erat kaitannya dengan mentalitas jalan pintas adalah dominannya nilai ekstrik (Extrinsic Value) di kalangan masyarakat kita, khususnya generasi muda.
Tekanan kemiskinan menimbulkan obsesi bahwa kekayaan merupakan obat yang harus segera diperoleh dengan segala cara dan dengan biaya apapun juga. Oleh karena tujuan segala kegiatan adalah "kekayaan", dan yang lainnya merupakan instrumental variabel untuk mencapai kekayaan tersebut. Oleh karena itu pendidikan, politik bahkan agama dijadikan sarana dan alat untuk mendapatkan kekayaan. Pendidikan, secara khusus, akan diberlakukan sebagai lembaga yang mencetak "tenaga kerja", bukan lembaga yang menghasilkan "manusia yang utuh" (the whole person). Konsep tersebut akan menimbulkan tekanan yang berlebihan pada hasil tanpa menikmati prosesnya. Sekolah dijalani oleh seseorang agar mendapatkan ijazah untuk bekerja. Proses sekolahnya sendiri tidak pernah dinikmati, karena tidak penting.
Dua mental tersebut bisa menjadi faktor yang akan merusak kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mengembalikan kesadaran di kalangan masyarakat khususnya generasi muda; pentingnya pencapaian tujuan jangka panjang, memahami makna proses yang harus, dilalui dan menyadari akan pentingnya nilai-nilai yang harus muncul dari diri sendiri.
B. Pendidikan dan kebudayaan
Berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya membesarkan jumlah pengangguran, berkembangnya mentalitas jalan pintas, sikap materialistik dan individualistik, dominannya nilai-nilai ekstrinsik terutama di kalangan generasi muda, dari satu sisi bisa dikaitkan dengan kegagalan praktek pendidikan yang berkiblat ke Amerika. Dengan kata lain, praktek pendidikan yang kita laksanakan tidak atau kurang cocok dengan budaya Indonesia. Untuk itu, perlu dicari sosok bentuk praktek pendidikan yang berwajah Indonesia.
Pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu budaya tertentu. Banyak nilai-nilai budaya dan orientasinya yang bisa menghambat dan bisa mendorong pendidikan. Bahkan banyak pula nilai-nilai budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar dalam proses pendidikan. Sebagai contoh di Jepang "moral Ninomiya Kinjiro" merupakan nilai budaya yang dimanfaatkan praktek pendidikan untuk mengembangkan etos kerja. Kinjiro adalah anak desa yang miskin yang belajar dan bekerja keras sehingga bisa menjadi samurai, suatu jabatan yang sangat terhormat. Karena saking miskinnya, orang tuanya tidak mampu membeti alat penerangan. Oleh karena itu dalam belajar ia menggunakan penerangan dari kunang-kunang yang dimasukan dalam botol. Kerja keras diterima bukan sebagai beban, melainkan dinikmati sebagai pengabdian. Selain semangat kerja keras, budaya Jepang juga menekankan rasa keindahan yang tercerminkan pada ketekunan, hemat, jujur dan bersih sebagaimana semangat Kinjiro diwujudkan dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan dengan menggendong kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di setiap sekolah di Jepang.
Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan adakah nilai-nilai dan orientasi budaya kita yang bisa dimanfaatkan dalam praktek pendidikan? Manakah nilai dan orientasi budaya yang perlu dikembangkan dan manakah yang harus ditinggalkan ?
Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut di atas perlu dilaksanakan serangkaian penelitian yang bersifat multidisipliner.
C. Penelitian pendidikan yang diperlukan
Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa ilmu pendidikan di Indonesia mandeg dan pendidikan kita yang lebih berwajah ke-Amerika-an hanya merupakan salah satu akibat kemandegan ilmu pendidikan. Kalau ditelusuri lebih jauh, kemandegan ilmu pendidikan disebabkan terutama karena kualitas penelitian pendidikan yang rendah. Dengan demikian upaya mencari pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an harus disertai dengan peningkatan kualitas pendidikan.
Agenda penelitian untuk menemukan pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an bisa dimulai dari penelitian untuk menemukan nilai-nilai dan orientasi budaya daerah (setempat) yang memiliki nilai positif bagi praktek pendidikan. Mtsalnya, nilai "Ratu adil di dukung, ratu zalim disanggah", adalah nilai yang mendukung keadilan sosial.
Kedua, penelitian yang membandingkan nilai-nilai yang berkaitan dengan proses pendidikan di rumah (keluarga) dan pendidikan di sekolah. Misalnya, nilai penekanan orang tua untuk memerintah langsung anak atau mendikte anak di satu pihak dan tekanan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Sudah barang tentu kedua nilai tersebut bertentangan. Bagaimanakah akibatnya terhadap perkembangan anak didik?
Ketiga, penelitian yang menjawab makna konsep yang tercantum pada falsafah dan dasar negara. Misalnya, dalam alenia pembukaan UUD 1945 tercantum konsep "bangsa yang cerdas". Apa maknanya bangsa yang cerdas? Apakah makna kecerdasan sama antara masyarakat agraris dan masyarakat industri atau bahkan pada masyarakat informatif. Artinya, kecerdasan apakah yang harus dimiliki untuk menuju masyarakaat industri atau masyarakat yang dilanda globalisasi?
Keempat, penelitian yang mencari titik temu antara pendidikan sistem persekolahan dan pendidikan luar sekolah. Sebab, pada masyarakat industri hubungan antara kedua sistem pendidikan tersebut memiliki peran yang penting.
Kelima, penelitian yang memusatkan pada kebijaksanaan pendidikan. Misalnya, sejauh mana terdapat keterkaitan antara kebijaksanaan rayonisasi? Siapakah yang menikmati anggaran pemerintah di bidang pendidikan? Bagaimanakah penduduk miskin dapat menikmati pendidikan?
Keenam, penelitian yang mengkaji kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi di masa mendatang. Bagaimanakah dampak atas adanya kecenderungan tersebut bagi dunia pendidikan khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya? Bagaimanakah caranya agar kita bisa menguasai dan merubah kecenderungan tersebut?
Ketujuh, penelitian yang mengkaji peran dan interaksi berbagai pusat pendidikan. Misalnya, bagaimana hubungan yang harus dikembangkan antara sekolah dan TPI, sekolah dengan surat kabar dan radio?
Akhirnya, perlu dipikirkan adanya penerbitan dari Kelompok Kajian Pendidikan ke-indonesia-an sebagai media penyebaran pertukaran informasi dengan masyarakat luas
2.2 Problematika Pendidikan Indonesia
Pembicaraan mengenai pendidikan tidak akan pernah terlepas dari keyakinan, pandangan dan cita-cita tentang hidup dan kehidupan umat manusia dari generasi ke generasi. Pendidikan tidak dapat dipahami secara terbatas hanya “proses pengajaran” mentransfer pengetahuan, melainkan menanam nilai-nilai sikap dan tingkah laku (akhlaq) serta menumbuh-kembangkan kecakapan hidup (life skill) manusia.
Pendidikan dapat dikatakan sebagai investasi peradaban masa depan. Pendidikan dipandang sebagai agen pencerahan yang mampu mengubah kehidupan manusia di muka bumi ini menjadi lebih baik. Namun, harapan itu sangat tergantung cetak biru mutu pendidikan saat ini yang sedang berjalan.
Seiring dengan perjalanan waktu, kini pendidikan nasional masih melintasi ambang rawan. Di katakan rawan, karena pendidikan ini sedang menuai kritikan yang amat dahsyat, bahkan tak sedikit yang mengecam kebobrokannya. Jadi posisi pendidikan kadang dirindukan, tapi juga kadang diabaikan.
Kenyataan di atas dapat dilihat dari segi kuantitas maupun kualitas, sebagian besar pendidikan (sekolah) di negeri ini masih memasuki kategori “peka” dan “rawan”. Hampir di setiap daerah, ada kondisi sekolah yang mulai ditinggalkan peminatnya, kredibilitas mutunya cenderung menurung, suasana konfliknya semakin tajam, dan sebagainya.
Hampir setiap tahun, pendidikan di negeri ini pasti terjadi geger. Contoh yang sering terjadi dihadapan kita yaitu tentang kadar penetapan standar nilai UAN dan implikasinya terhadap kelulusan siswa. Konsep ini dipandang sebagai proses penyeragaman, yang bertentangan dengan keberagaman kualitas pendidikan suatu wilayah atau daerah. Belum lagi mengenai masalah biaya pendidikan mahal yang sulit terjangkau bagi orang yang berpenghasilan menengah ke bawah. Kedua, standar operasional prosedur pengawas/penjagaan UAN. Sampai saat ini, pembekalan pengawas ujian hanya sampai pada tahap hanya .
Apa yang terjadi di atas, memang butuh pemikiran mendalam untuk merumuskan kembali konsep pendidikan masa depan yang benar-benar sesuai watak dan karakter bangsa. Memahami watak dan karakter sosio-masyarakat yang demikian luas perlu kecerdasan dan kearifan tingkat tinggi. Pemegang kuasa (top leader) pendidikan harus betul-betul orang yang berasal dari latar pendidikan yang mumpuni, dan bukan dipegang oleh orang dari kepentingan politis partai.
Menurut J. Drost, seperti yang tertuang dalam buku “dari Kurikulum Bertujuan Kompetensi sampai Manajemen Berbasis Sekolah” (2005), menyatakan bahwa pendidikan itu identik dengan mencetak orang. Karena kaitannya dengan mencetak orang, maka sekali lagi pendidikan tidak bisa lakukan dengan cara uji coba (trial and error). Sekali gagal, satu generasi penerus bangsa ini akan menanggung akibatnya.
Pendidikan sebagai suatu organisme yang kompleks membutuhkan penanganan yang serius dan berkesinambungan. Wajah pendidikan di negeri ini masih menyimpan keajaiban yang harus ditemukan sesungguhnya. Usaha dan kemauan yang kuat dari semua elemen, terutama pemerintah harus mampu menemukan format dan konsep yang jelas untuk membangun negeri ini melalu sisi pendidikan.
Sulit ditemukan konsep yang compatible (cocok, sesuai) dengan arus perubahan seperti sekarang ini. Pendidikan yang sedang berkembang di tengah kerisauan masyarakat ini memang butuh konsep yang matang dan tepat dengan mengusung ide-ide cemerlang yang mengedepankan kualitas pembelajaran, mutu kurikulum, keakuratan evaluasi, hingga perumusan visi dan misi lembaga pendidikan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) misalnya, sebagai harapan sekaligus agenda utama yang harus disadari bagi pengelola pendidikan agar jadi langkah strategis untuk membenahi mutu pendidikan. Begitu pula dengan pengelolaan sekolah, butuh sebuah manajemen dan seorang manajer yang arif dalam memegang pimpinan pendidikan.
Penulis menyadari bahwa pendidikan sebagai miniatur masyarakat tentu tidak lepas dari kenyataan pengalaman yang up to date. Karenanya pendidikan perlu dikonsep sesuai dengan kenyataan yang sesuai dengan kehidupan masyarakat. Citra pendidikan harus selalu menampilkan jiwa dan raga masyarakat dalam konteks nasional, dan memiliki daya saing untuk bersaing dengan pendidikan luar.
Gagasan dan konsep seperti inilah yang perlu kita tegakkan untuk membagun sudut pendidikan yang mulai pudar. Dengan tidak meninggalkan nilai-nilai tradisi lokal, pendidikan harus mencerminkan watak modernitas dan sesuai kondisi sosio-masyarakat modern. Mempertimbangkan pendidikan anak-anak sama dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa, siap merefleksikan semua yang ditampakkan padanya.
Empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yang dicanangkan oleh UNESCO yang perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal, yaitu: (1) learning to Know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu, (3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).
Dalam rangka merealisasikan `learning to know`, Guru seyogyanya berfungsi sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan siswa dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu.
Biasakan menyisihkan sebagian penghasilan untuk biaya pendidikan
Kalau khawatir tidak bisa berdisiplin dalam uang, sebaiknya mengikuti program investasi pendidikan melalui tabungan atau asuransi.
Investasi di asuransi atau tabungan pendidikan ini sebaiknya dilakukan semenjak dini atau sebelum anak duduk di bangku sekolah.
Pilihan sekolah disesuaikan dengan kemampuan pendanaan.
Salah satu perusahaan otomotif PT Bajaj milik India, misalnya, telah investasi ke beberapa negara, termasuk ke Indonesia. Langkah kesadaran pendidikan di India ini juga diikuti oleh China.
Setelah Negeri Tirai Bambu mengubah politik komunisnya menjadi politik terbuka, banyak warganya yang dikirim untuk bersekolah di luar negeri. Hasilnya, negeri ini pun mulai menyaingi Jepang dan Korea Selatan dalam bidang produk industri.
Bagaimana dengan Indonesia? Ketika bangsa ini telah merdeka dari penjajahan Belanda dan Jepang, pemberantasan buta huruf menjadi prioritas dalam meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, Dokter Wahidin, penggagas perkumpulan Budi Utomo, telah bercita-cita untuk mengentaskan bangsa ini dari keterbelakangan dan kemelaratan melalui pendidikan.
Pendidikan tak dimungkiri merupakan bentuk investasi SDM. Investasi di pendidikan memang baru akan terasa hasilnya dalam jangka panjang. Tapi hanya dengan pendidikan, harkat dan martabat bangsa ini diyakini bakal membaik.Sayangnya, biaya pendidikan sekolah di Indonesia dalam kurun lima tahun terakhir dirasakan sangat mahal oleh sebagian besar rakyat yang daya belinya melemah, akibat memburuknya perekonomian.
Besarnya rupiah yang harus dibayar oleh setiap orangtua yang ingin menyekolahkan anak itu membuat mereka menganggap mengeluarkan biaya pendidikan sebagai beban, bukan investasi. Apalagi, sebagian dari mereka mulai meragukan pentingnya bersekolah karena setelah lulus pun sulit mencari pekerjaan.
Pendidikan kini mulai terpinggirkan. Bahkan, anggaran pendapatan belanja negara (APBN) tahun ini hanya mengalokasikan dana untuk pendidikan sebesar 11,8% atau Rp90,10 triliun dari total APBN 2007 sebesar Rp763,6 triliun.
Mahkamah Konstitusi (MK) seperti telah ditulis oleh harian ini juga mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam memenuhi syarat minimal alokasi anggaran pendidikan 20% sebagaimana yang ditetapkan dalam UUD 1945.
Dengan berkurangnya anggaran pendidikan itu, dipastikan biaya pendidikan makin tak terjangkau oleh rakyat jelata. Seperti telah dikutip oleh media massa, Aan Rochana, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, pun mengakui biaya masuk sekolah begitu mahal.
Di sebuah sekolah ada yang memungut Rp15 juta untuk masuk SMP dan Rp30 juta untuk masuk SMA. Senada dan seirama, biaya pendidikan di perguruan tinggi pun makin membubung tinggi.Kalau pemerintah dan pengusaha kaya tak segera menyadari pentingnya investasi pendidikan, dipastikan nasib bangsa ini akan makin terpinggirkan.Terlepas dari kekurangan dunia pendidikan dalam mencetak manusia yang unggul, investasi di pendidikan tetaplah penting. Masyarakat terdidik yang disebut kelas menengah telah diakui oleh sejarah sebagai orang yang siap mengusung perubahan.
Tentu saja, hanya orang terdidik dan berkarakter yang mampu mengemban misi sebagai agen perubahan (agent of change) dan agen pembangunan (agent of development).
2.3. Solusi Permasalahan Pendidikan Indonesia
Mengenai kecenderungan merosotnya pencapaian hasil pendidikan selama ini, langkah antisipatif yang perlu ditempuh adalah mengupayakan peningkatan partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan, peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, serta perbaikan manajemen di setiap jenjang, jalur, dan jenis pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah, khususnya di kabupaten/kota, seyogyanya dikaji lebih dulu kondisi obyektif dari unsur-unsur yang terkait pada mutu pendidikan, yaitu:
(1) Bagaimana kondisi gurunya? (persebaran, kualifikasi, kompetensi penguasaan materi, kompetensi pembelajaran, kompetensi sosial-personal, tingkat kesejahteraan);
(2) Bagaimana kurikulum disikapi dan diperlakukan oleh guru dan pejabat pendidikan daerah?;
(3) Bagaimana bahan belajar yang dipakai oleh siswa dan guru? (proporsi buku dengan siswa, kualitas buku pelajaran);
(4) Apa saja yang dirujuk sebagai sumber belajar oleh guru dan siswa?;
(5) Bagaimana kondisi prasarana belajar yang ada?;
(6) Adakah sarana pendukung belajar lainnya? (jaringan sekolah dan masyarakat, jaringan antarsekolah, jaringan sekolah dengan pusat-pusat informasi);
(7) Bagaimana kondisi iklim belajar yang ada saat ini?.
Mutu pendidikan dapat ditingkatkan dengan melakukan serangkaian pembenahan terhadap segala persoalan yang dihadapi. Pembenahan itu dapat berupa pembenahan terhadap kurikulum pendidikan yang dapat memberikan kemampuan dan keterampilan dasar minimal, menerapkan konsep belajar tuntas dan membangkitkan sikap kreatif, demokratis dan mandiri. Perlu diidentifikasi unsur-unsur yang ada di daerah yang dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi proses peningkatan mutu pendidikan, selain pemerintah daerah, misalnya kelompok pakar, paguyuban mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat daerah, perguruan tinggi, organisasi massa, organisasi politik, pusat penerbitan, studio radio/TV daerah, media masa/cetak daerah, situs internet, dan sanggar belajar.
III. Daftar Pustaka
Ahmad Ajip.2003. Nilai Pedagogis Paulo Freire Dan Masa Depan Pendidikan (http://re-searchengines.com/ahmadnajip.html)
Beny susetyo.2006.Investasi Pendidikan investasi masa depan (http://suryaningsih.wordpress.com/2007/03/14/investasi-pendidikan-investasi-masa-depan/)
Isjoni.2004.Guru Masa Depan. (http://www.ganeca-exact.com/index.php?option=content&task=view&id=32&Itemid=59)
M.Sobry sutikno,2006.Pendidikan Sekarang dan Masa depan, Mataram: NTP Press
M.Sobry sutikno,2004. Menuju Pendidikan Bermutu, Mataram: NTP Press
Nurkholis.2005. Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang.www.depdiknas.go.id
Teddy Suryana, 2005.Merancang pendidikan Transformatif. (http://groups.yahoo.com/group/pakguruonline/message/288)
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar belakang Masalah
Problematika pendidikan Indonesia semakin hari semakin aktual, seolah tiada hari tanpa masalah. Dimulai dari kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya sebuah pendidikan, minimnya fasilitas institusi pendidikan, kurang profesionalnya tenaga kependidikan (Guru,Dosen, staff ahli, serta seluruh komponen penunjang terselenggaranya pendidikan), sampai kurang disiplinnya para pelaku pendidikan ( adanya oknum Dik.Nas yang korup, pengajar hanya secara formalitas masuk di kelas, sampai para siswa/peserta didik yang melakukan tindakan amoral). Hal itu belum sepenuhnya tuntas jika di deskripsikan bersama masalah lain yang konon lebih essensial; minimnya anggaran biaya pemerintah dari APBN/APBD, kesejahteraan pendidik yang kurang terperhatikan, sampai system program pendidikan yang tidak pernah terselesaikan secara optimal.
Agaknya perlu dicanangkan sebuah pemikiran/gagasan baru seputar dunia pendidikan Indonesia, agar komponen bangsa ini dapat meningkatkan kualitas pendidikan ,serta meminimalisir problem seputar dunia pendidikan bangsa kita. Dalam makalah ini dikemukakan sebuah gagasan yang mungkin tepat untuk merefleksikan sebuah dunia pendidikan Indonesia masa depan, dimana seluruh komponen dapat berperan dalam mengupayakan/ mewujudkan masa depan dunia pendidikan Indonesia. Semoga makalah ini dapat bermanfaat sebagai sarana transformasi pengetahuan bangsa menuju kemashlahatan bersama.
I.2. Rumusan Permasalahan
Adapun beberapa masalah yang dapat kami rumuskan antara lain;
1. Apa yang dimaksud Pendidikan, serta apa hakikat sesungguhnya dari pendidikan itu ?
2. Apa saja Problematika Pendidikan Indonesia ?
3. Bagaimana solusi problem tersebut serta gagasan untuk mewujudkan Masa depan Pendidikan Indonesia?
II .Pembahasan
2.1. Pendidikan definisi,serta esensi nya
Pendidikan merupakan suatu proses yang sangat kompleks dan berjangka panjang, di mana berbagai aspek yang tercakup dalam proses saling erat berkaitan satu sama lain dan bermuara pada terwujudnya manusia yang memiliki nilai hidup, pengetahuan hidup dan keterampilan hidup. Prosesnya bersifat kompleks dikarenakan interaksi di antara berbagai aspek tersebut, seperti guru, bahan ajar, fasilitas, kondisi siswa, kondisi lingkungan, metode mengajar yang digunakan, tidak selamanya memiliki sifat dan bentuk yang konsisten yang dapat dikendalikan. Hal ini mengakibatkan penjelasan terhadap fenomena pendidikan bisa berbeda-beda baik karena waktu, tempat maupun subjek yang terlibat dalam proses.
Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni, pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Upaya untuk mengembangkan ketiga aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar sekolah dan keluarga. Kegiatan di sekolah direncanakan dan dilaksanakan secara ketat dengan prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan. Pelaksanaan di luar sekolah, meski memiliki rencana dan program yang jelas tetapi pelaksanaannya relatif longgar dengan berbagai pedoman yang relatif fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokal. Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga dilaksanakan secara informal tanpa tujuan yang dirumuskan secara baku dan Tertulis.
Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat.Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moralyangbaik.
Tujuan pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa dan bukannya perpecahan.
Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut di atas, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan atau "enculturation", suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu. Konsekuensi dari pemyataan ini, maka praktek pendidikan harus sesuai dengan budaya masyarakat akan menimbulkan penyimpangan yang dapat muncul dalam berbagai bentuk goncangan-goncangan kehidupan individu dan masyarakat.
Tuntutan keharmonisan antara pendidikan dan kebudayaan bisa pula dipahami, sebab praktek pendidikan harus mendasarkan pada teori-teori pendidikan dan giliran berikutnya teori-teori pendidikan harus bersumber dari suatu pandangan hidup masyarakat yang bersangkutan.
A. Praktek pendidikan modern
Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan: praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonial Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono, 1985). Berbagai praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa praktek pendidikan yang relevan dengan pembahasan ini adalah praktek-praktek pendidikan modern zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan sampai pada tahun 1965, dan praktek pendidikan dalam masa pembangunan sampai sekarang ini.
Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai "pangreh praja". Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas.
Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk orang pribumi. Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.
Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia pendidikan Indonesia memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan disatukan. Tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing degan pengantar bahasa Belanda. Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan se telah bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis bahwa praktek pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada masa ini, lingkungan politik terasa mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan nasionalisme terasa berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri. Hal ini sangat terasa terutama pada periode Orde Lama (tahun 1959-1965).
Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Sebaliknya, pendidikan setelah tahun 1966 pengaruh sistem pendidikan Amerika semakin lama terasa semakin menonjol. Sistem pendidikan Amerika menekankan bahwa praktek pendidikan merupakan instrumen dalam proses pembangunan. Oleh karenanya, tidak rnengherankan kalau seiring dengan semangat dan pelaksanaan pembangunan yang dititik-beratkan pada pembangunan ekonomi, praktek pendidikan dijadikan alat untuk dapat mendukung pembangunan ekonomi dengan mempersiapkan tenaga kerja yang diperlukan dalam pembangunan. Dengan kata lain praktek pendidikan yang bersumber pada kebijaksanaan pendidikan banyak ditentukan guna kepentingan pembangunan ekonomi.
Perkembangan pendidikan nasional yang berkiblat pada pendidikan Amerika berkembang pesat dan menunjukkan hasil yang luar biasa. Namun perlu dicatat bahwa kecepatan perkembangan pendidikan nasional ini cenderung mendorong pendidikan ke arah sistem pendidikan yang bersifat sentralistis. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin berkembangnya birokrasi untuk menopang proses pengajaran tradisional yang semuanya mengarah pada rigiditas. Birokrasi pusat cenderung menekankan proses pendidikan secara klasikal dan bersifat mekanistis. Dengan demikian proses pendidikan cenderung diperlakukan sebagaimana sebuah pabrik. Akibatnya pihak-pihak yang terkait dalam pendidikan, khususnya guru dan murid sebagai individu yang memiliki "kepribadian" tidak banyak mendapatkan perhatian kurikulum, guru dan aturan serta prosedur pelaksanaan pengajaran di sekolah dan juga di kelas ditentukan dari pusat dengan segala wewenangnya. Misalnya, keharusan mengajar dengan menggunakan pendekatan CBSA, kokurikuler dalam bentuk kliping koran.
Lebih lanjut, sentralisasi dan berkembangnya birokrasi pendidikan yang semakin luas dan kaku akan menjadikan keseragaman sebagai suatu tujuan. Hasilnya, berkembanglah manusia-manusia dengan mentalitas "juklak" dan "juknis" yang siap diberlakukan secara seragam. Akibat lebih jauh di masyarakat berkembang prinsip persetujuan sebagai kunci sukses; promosi dan komunikasi adalah komando; interaksi dicampurkan dengan pertemuan-pertemuan resmi; dan stabilitas yang dikaitkan dengan tindakan yang tidak mengandung emosi.
Karena kemerosotan kualitas pendidikan dikarenakan ketidak-mampuan organisasi sekolah menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan lingkungan sebagai akibat dari birokratisasi dunia, kualitas pendidikan yang bersifatsentralistis, maka untuk meningkatkan kualitas pendidikan harus didasarkan pada kebijaksanaan debirokratisasi dan desentralisasi.
Desentralisasi pendidikan merupakan suatu tindakan mendelegasikan wewenang kepada satuan kerja yang langsung berhubungan dengan peserta didik. Permasalahannya yang lebih mendalam yang perlu diperfanyakan adalah "apakah kebijaksanaan desentralisasi yang dilaksanakan untuk seluruh fungsi dan kekuasaan sekolah-sekolah ataukah hanya untuk pembagian tugas-tugas administrasi? Apakah kebijaksanaan desentralisasi hanya dilihat sebagai cara untuk mencapai efisiensi dengan mengurangi upaya untuk transformasi baik sistem maupun proses pendidikan?"
Kalau desentralisasi hanya sekedar mengurangi beban tanggung jawab di puncak kekuasaan dengan memberikan sebagian tugas-tugas administrasi kepada aparat yang lebih rendah maka desentralisasi tidak akan banyak artinya sebagai sarana peningkatan kualitas pendidikan. Dewasa ini ketidak-mampuan sekolah meningkatkan kualitas pendidikan mencerminkan ketidak-mampuan struktur dan sistem persekolahan. Kalau tidak ada perubahan yang mendasar pada sistem pendidikan, maka segala upaya peningkatan kualitas akan sia-sia. Oleh karena itu, kebijaksanaan yang diperlukan di dunia pendidikan kita sekarang ini adalah desentralisasi yang mendasar.
Ada beberapa tujuan yang perlu dicapai dengan kebijaksanaan desentralisasi. Pertama, sistem persekolahan harus lebih tanggap terhadap kebutuhan individu peserta didik, guru, dan sekolah. Kedua, iklim pendidikan harus menguntungkan untuk pelaksanaan proses pendidikan.
Di samping mempertanyakan kualitas output pendidikan yang berkiblat ke Arnerika ini, mulai dirasakan bahwa praktek pendidikan cenderung mendorong munculnya generasi terdidik yang bersifat materialistik, individualistik dan konsumtif. Hal ini sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari pengetrapan praktek pendidikan Amerika. Apalagi, pusat-pusat pendidikan yang lain, misalnya media komunikasi massa mendukung proses "Amerikanisasi" ini.
Adapula satu bentuk produk proses pendidikan yang sesungguhnya menyimpang dari apa yang terjadi di Barat yakni munculnya mentalitas "jalan pintas", dengan semangat dan kemauan untuk bisa mendapatkan hasil secepat mungkin, baik di kalangan generasi muda maupun generasi tuanya. Mereka cenderung tidak menghiraukan bahwa segala sesuatu harus melewati proses yang memerlukan waktu. Bahkan tidak jarang waktu yang diperlukan melewati rentang waktu kehidupannya, tetapi demi masa depan generasi yang akan datang generasi sekarang harus merelakannya. Sebagai contoh, di Barat tidak jarang pembuatan "minuman anggur", agar memiliki rasa luar biasa memerlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Tidak jarang pada label sebotol anggur dituliskan: "dibuka 100 atau 200 tahun lagi". Mentalitas "jalan pintas" merupakan hasil negatif dari penekanan yang berlebihan pendidikan sebagai instrumen pembangunan ekonomi. Aspek negatif lain yang erat kaitannya dengan mentalitas jalan pintas adalah dominannya nilai ekstrik (Extrinsic Value) di kalangan masyarakat kita, khususnya generasi muda.
Tekanan kemiskinan menimbulkan obsesi bahwa kekayaan merupakan obat yang harus segera diperoleh dengan segala cara dan dengan biaya apapun juga. Oleh karena tujuan segala kegiatan adalah "kekayaan", dan yang lainnya merupakan instrumental variabel untuk mencapai kekayaan tersebut. Oleh karena itu pendidikan, politik bahkan agama dijadikan sarana dan alat untuk mendapatkan kekayaan. Pendidikan, secara khusus, akan diberlakukan sebagai lembaga yang mencetak "tenaga kerja", bukan lembaga yang menghasilkan "manusia yang utuh" (the whole person). Konsep tersebut akan menimbulkan tekanan yang berlebihan pada hasil tanpa menikmati prosesnya. Sekolah dijalani oleh seseorang agar mendapatkan ijazah untuk bekerja. Proses sekolahnya sendiri tidak pernah dinikmati, karena tidak penting.
Dua mental tersebut bisa menjadi faktor yang akan merusak kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mengembalikan kesadaran di kalangan masyarakat khususnya generasi muda; pentingnya pencapaian tujuan jangka panjang, memahami makna proses yang harus, dilalui dan menyadari akan pentingnya nilai-nilai yang harus muncul dari diri sendiri.
B. Pendidikan dan kebudayaan
Berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya membesarkan jumlah pengangguran, berkembangnya mentalitas jalan pintas, sikap materialistik dan individualistik, dominannya nilai-nilai ekstrinsik terutama di kalangan generasi muda, dari satu sisi bisa dikaitkan dengan kegagalan praktek pendidikan yang berkiblat ke Amerika. Dengan kata lain, praktek pendidikan yang kita laksanakan tidak atau kurang cocok dengan budaya Indonesia. Untuk itu, perlu dicari sosok bentuk praktek pendidikan yang berwajah Indonesia.
Pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu budaya tertentu. Banyak nilai-nilai budaya dan orientasinya yang bisa menghambat dan bisa mendorong pendidikan. Bahkan banyak pula nilai-nilai budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar dalam proses pendidikan. Sebagai contoh di Jepang "moral Ninomiya Kinjiro" merupakan nilai budaya yang dimanfaatkan praktek pendidikan untuk mengembangkan etos kerja. Kinjiro adalah anak desa yang miskin yang belajar dan bekerja keras sehingga bisa menjadi samurai, suatu jabatan yang sangat terhormat. Karena saking miskinnya, orang tuanya tidak mampu membeti alat penerangan. Oleh karena itu dalam belajar ia menggunakan penerangan dari kunang-kunang yang dimasukan dalam botol. Kerja keras diterima bukan sebagai beban, melainkan dinikmati sebagai pengabdian. Selain semangat kerja keras, budaya Jepang juga menekankan rasa keindahan yang tercerminkan pada ketekunan, hemat, jujur dan bersih sebagaimana semangat Kinjiro diwujudkan dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan dengan menggendong kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di setiap sekolah di Jepang.
Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan adakah nilai-nilai dan orientasi budaya kita yang bisa dimanfaatkan dalam praktek pendidikan? Manakah nilai dan orientasi budaya yang perlu dikembangkan dan manakah yang harus ditinggalkan ?
Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut di atas perlu dilaksanakan serangkaian penelitian yang bersifat multidisipliner.
C. Penelitian pendidikan yang diperlukan
Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa ilmu pendidikan di Indonesia mandeg dan pendidikan kita yang lebih berwajah ke-Amerika-an hanya merupakan salah satu akibat kemandegan ilmu pendidikan. Kalau ditelusuri lebih jauh, kemandegan ilmu pendidikan disebabkan terutama karena kualitas penelitian pendidikan yang rendah. Dengan demikian upaya mencari pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an harus disertai dengan peningkatan kualitas pendidikan.
Agenda penelitian untuk menemukan pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an bisa dimulai dari penelitian untuk menemukan nilai-nilai dan orientasi budaya daerah (setempat) yang memiliki nilai positif bagi praktek pendidikan. Mtsalnya, nilai "Ratu adil di dukung, ratu zalim disanggah", adalah nilai yang mendukung keadilan sosial.
Kedua, penelitian yang membandingkan nilai-nilai yang berkaitan dengan proses pendidikan di rumah (keluarga) dan pendidikan di sekolah. Misalnya, nilai penekanan orang tua untuk memerintah langsung anak atau mendikte anak di satu pihak dan tekanan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Sudah barang tentu kedua nilai tersebut bertentangan. Bagaimanakah akibatnya terhadap perkembangan anak didik?
Ketiga, penelitian yang menjawab makna konsep yang tercantum pada falsafah dan dasar negara. Misalnya, dalam alenia pembukaan UUD 1945 tercantum konsep "bangsa yang cerdas". Apa maknanya bangsa yang cerdas? Apakah makna kecerdasan sama antara masyarakat agraris dan masyarakat industri atau bahkan pada masyarakat informatif. Artinya, kecerdasan apakah yang harus dimiliki untuk menuju masyarakaat industri atau masyarakat yang dilanda globalisasi?
Keempat, penelitian yang mencari titik temu antara pendidikan sistem persekolahan dan pendidikan luar sekolah. Sebab, pada masyarakat industri hubungan antara kedua sistem pendidikan tersebut memiliki peran yang penting.
Kelima, penelitian yang memusatkan pada kebijaksanaan pendidikan. Misalnya, sejauh mana terdapat keterkaitan antara kebijaksanaan rayonisasi? Siapakah yang menikmati anggaran pemerintah di bidang pendidikan? Bagaimanakah penduduk miskin dapat menikmati pendidikan?
Keenam, penelitian yang mengkaji kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi di masa mendatang. Bagaimanakah dampak atas adanya kecenderungan tersebut bagi dunia pendidikan khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya? Bagaimanakah caranya agar kita bisa menguasai dan merubah kecenderungan tersebut?
Ketujuh, penelitian yang mengkaji peran dan interaksi berbagai pusat pendidikan. Misalnya, bagaimana hubungan yang harus dikembangkan antara sekolah dan TPI, sekolah dengan surat kabar dan radio?
Akhirnya, perlu dipikirkan adanya penerbitan dari Kelompok Kajian Pendidikan ke-indonesia-an sebagai media penyebaran pertukaran informasi dengan masyarakat luas
2.2 Problematika Pendidikan Indonesia
Pembicaraan mengenai pendidikan tidak akan pernah terlepas dari keyakinan, pandangan dan cita-cita tentang hidup dan kehidupan umat manusia dari generasi ke generasi. Pendidikan tidak dapat dipahami secara terbatas hanya “proses pengajaran” mentransfer pengetahuan, melainkan menanam nilai-nilai sikap dan tingkah laku (akhlaq) serta menumbuh-kembangkan kecakapan hidup (life skill) manusia.
Pendidikan dapat dikatakan sebagai investasi peradaban masa depan. Pendidikan dipandang sebagai agen pencerahan yang mampu mengubah kehidupan manusia di muka bumi ini menjadi lebih baik. Namun, harapan itu sangat tergantung cetak biru mutu pendidikan saat ini yang sedang berjalan.
Seiring dengan perjalanan waktu, kini pendidikan nasional masih melintasi ambang rawan. Di katakan rawan, karena pendidikan ini sedang menuai kritikan yang amat dahsyat, bahkan tak sedikit yang mengecam kebobrokannya. Jadi posisi pendidikan kadang dirindukan, tapi juga kadang diabaikan.
Kenyataan di atas dapat dilihat dari segi kuantitas maupun kualitas, sebagian besar pendidikan (sekolah) di negeri ini masih memasuki kategori “peka” dan “rawan”. Hampir di setiap daerah, ada kondisi sekolah yang mulai ditinggalkan peminatnya, kredibilitas mutunya cenderung menurung, suasana konfliknya semakin tajam, dan sebagainya.
Hampir setiap tahun, pendidikan di negeri ini pasti terjadi geger. Contoh yang sering terjadi dihadapan kita yaitu tentang kadar penetapan standar nilai UAN dan implikasinya terhadap kelulusan siswa. Konsep ini dipandang sebagai proses penyeragaman, yang bertentangan dengan keberagaman kualitas pendidikan suatu wilayah atau daerah. Belum lagi mengenai masalah biaya pendidikan mahal yang sulit terjangkau bagi orang yang berpenghasilan menengah ke bawah. Kedua, standar operasional prosedur pengawas/penjagaan UAN. Sampai saat ini, pembekalan pengawas ujian hanya sampai pada tahap hanya .
Apa yang terjadi di atas, memang butuh pemikiran mendalam untuk merumuskan kembali konsep pendidikan masa depan yang benar-benar sesuai watak dan karakter bangsa. Memahami watak dan karakter sosio-masyarakat yang demikian luas perlu kecerdasan dan kearifan tingkat tinggi. Pemegang kuasa (top leader) pendidikan harus betul-betul orang yang berasal dari latar pendidikan yang mumpuni, dan bukan dipegang oleh orang dari kepentingan politis partai.
Menurut J. Drost, seperti yang tertuang dalam buku “dari Kurikulum Bertujuan Kompetensi sampai Manajemen Berbasis Sekolah” (2005), menyatakan bahwa pendidikan itu identik dengan mencetak orang. Karena kaitannya dengan mencetak orang, maka sekali lagi pendidikan tidak bisa lakukan dengan cara uji coba (trial and error). Sekali gagal, satu generasi penerus bangsa ini akan menanggung akibatnya.
Pendidikan sebagai suatu organisme yang kompleks membutuhkan penanganan yang serius dan berkesinambungan. Wajah pendidikan di negeri ini masih menyimpan keajaiban yang harus ditemukan sesungguhnya. Usaha dan kemauan yang kuat dari semua elemen, terutama pemerintah harus mampu menemukan format dan konsep yang jelas untuk membangun negeri ini melalu sisi pendidikan.
Sulit ditemukan konsep yang compatible (cocok, sesuai) dengan arus perubahan seperti sekarang ini. Pendidikan yang sedang berkembang di tengah kerisauan masyarakat ini memang butuh konsep yang matang dan tepat dengan mengusung ide-ide cemerlang yang mengedepankan kualitas pembelajaran, mutu kurikulum, keakuratan evaluasi, hingga perumusan visi dan misi lembaga pendidikan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) misalnya, sebagai harapan sekaligus agenda utama yang harus disadari bagi pengelola pendidikan agar jadi langkah strategis untuk membenahi mutu pendidikan. Begitu pula dengan pengelolaan sekolah, butuh sebuah manajemen dan seorang manajer yang arif dalam memegang pimpinan pendidikan.
Penulis menyadari bahwa pendidikan sebagai miniatur masyarakat tentu tidak lepas dari kenyataan pengalaman yang up to date. Karenanya pendidikan perlu dikonsep sesuai dengan kenyataan yang sesuai dengan kehidupan masyarakat. Citra pendidikan harus selalu menampilkan jiwa dan raga masyarakat dalam konteks nasional, dan memiliki daya saing untuk bersaing dengan pendidikan luar.
Gagasan dan konsep seperti inilah yang perlu kita tegakkan untuk membagun sudut pendidikan yang mulai pudar. Dengan tidak meninggalkan nilai-nilai tradisi lokal, pendidikan harus mencerminkan watak modernitas dan sesuai kondisi sosio-masyarakat modern. Mempertimbangkan pendidikan anak-anak sama dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa, siap merefleksikan semua yang ditampakkan padanya.
Empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yang dicanangkan oleh UNESCO yang perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal, yaitu: (1) learning to Know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu, (3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).
Dalam rangka merealisasikan `learning to know`, Guru seyogyanya berfungsi sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan siswa dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu.
Biasakan menyisihkan sebagian penghasilan untuk biaya pendidikan
Kalau khawatir tidak bisa berdisiplin dalam uang, sebaiknya mengikuti program investasi pendidikan melalui tabungan atau asuransi.
Investasi di asuransi atau tabungan pendidikan ini sebaiknya dilakukan semenjak dini atau sebelum anak duduk di bangku sekolah.
Pilihan sekolah disesuaikan dengan kemampuan pendanaan.
Salah satu perusahaan otomotif PT Bajaj milik India, misalnya, telah investasi ke beberapa negara, termasuk ke Indonesia. Langkah kesadaran pendidikan di India ini juga diikuti oleh China.
Setelah Negeri Tirai Bambu mengubah politik komunisnya menjadi politik terbuka, banyak warganya yang dikirim untuk bersekolah di luar negeri. Hasilnya, negeri ini pun mulai menyaingi Jepang dan Korea Selatan dalam bidang produk industri.
Bagaimana dengan Indonesia? Ketika bangsa ini telah merdeka dari penjajahan Belanda dan Jepang, pemberantasan buta huruf menjadi prioritas dalam meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, Dokter Wahidin, penggagas perkumpulan Budi Utomo, telah bercita-cita untuk mengentaskan bangsa ini dari keterbelakangan dan kemelaratan melalui pendidikan.
Pendidikan tak dimungkiri merupakan bentuk investasi SDM. Investasi di pendidikan memang baru akan terasa hasilnya dalam jangka panjang. Tapi hanya dengan pendidikan, harkat dan martabat bangsa ini diyakini bakal membaik.Sayangnya, biaya pendidikan sekolah di Indonesia dalam kurun lima tahun terakhir dirasakan sangat mahal oleh sebagian besar rakyat yang daya belinya melemah, akibat memburuknya perekonomian.
Besarnya rupiah yang harus dibayar oleh setiap orangtua yang ingin menyekolahkan anak itu membuat mereka menganggap mengeluarkan biaya pendidikan sebagai beban, bukan investasi. Apalagi, sebagian dari mereka mulai meragukan pentingnya bersekolah karena setelah lulus pun sulit mencari pekerjaan.
Pendidikan kini mulai terpinggirkan. Bahkan, anggaran pendapatan belanja negara (APBN) tahun ini hanya mengalokasikan dana untuk pendidikan sebesar 11,8% atau Rp90,10 triliun dari total APBN 2007 sebesar Rp763,6 triliun.
Mahkamah Konstitusi (MK) seperti telah ditulis oleh harian ini juga mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam memenuhi syarat minimal alokasi anggaran pendidikan 20% sebagaimana yang ditetapkan dalam UUD 1945.
Dengan berkurangnya anggaran pendidikan itu, dipastikan biaya pendidikan makin tak terjangkau oleh rakyat jelata. Seperti telah dikutip oleh media massa, Aan Rochana, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, pun mengakui biaya masuk sekolah begitu mahal.
Di sebuah sekolah ada yang memungut Rp15 juta untuk masuk SMP dan Rp30 juta untuk masuk SMA. Senada dan seirama, biaya pendidikan di perguruan tinggi pun makin membubung tinggi.Kalau pemerintah dan pengusaha kaya tak segera menyadari pentingnya investasi pendidikan, dipastikan nasib bangsa ini akan makin terpinggirkan.Terlepas dari kekurangan dunia pendidikan dalam mencetak manusia yang unggul, investasi di pendidikan tetaplah penting. Masyarakat terdidik yang disebut kelas menengah telah diakui oleh sejarah sebagai orang yang siap mengusung perubahan.
Tentu saja, hanya orang terdidik dan berkarakter yang mampu mengemban misi sebagai agen perubahan (agent of change) dan agen pembangunan (agent of development).
2.3. Solusi Permasalahan Pendidikan Indonesia
Mengenai kecenderungan merosotnya pencapaian hasil pendidikan selama ini, langkah antisipatif yang perlu ditempuh adalah mengupayakan peningkatan partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan, peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, serta perbaikan manajemen di setiap jenjang, jalur, dan jenis pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah, khususnya di kabupaten/kota, seyogyanya dikaji lebih dulu kondisi obyektif dari unsur-unsur yang terkait pada mutu pendidikan, yaitu:
(1) Bagaimana kondisi gurunya? (persebaran, kualifikasi, kompetensi penguasaan materi, kompetensi pembelajaran, kompetensi sosial-personal, tingkat kesejahteraan);
(2) Bagaimana kurikulum disikapi dan diperlakukan oleh guru dan pejabat pendidikan daerah?;
(3) Bagaimana bahan belajar yang dipakai oleh siswa dan guru? (proporsi buku dengan siswa, kualitas buku pelajaran);
(4) Apa saja yang dirujuk sebagai sumber belajar oleh guru dan siswa?;
(5) Bagaimana kondisi prasarana belajar yang ada?;
(6) Adakah sarana pendukung belajar lainnya? (jaringan sekolah dan masyarakat, jaringan antarsekolah, jaringan sekolah dengan pusat-pusat informasi);
(7) Bagaimana kondisi iklim belajar yang ada saat ini?.
Mutu pendidikan dapat ditingkatkan dengan melakukan serangkaian pembenahan terhadap segala persoalan yang dihadapi. Pembenahan itu dapat berupa pembenahan terhadap kurikulum pendidikan yang dapat memberikan kemampuan dan keterampilan dasar minimal, menerapkan konsep belajar tuntas dan membangkitkan sikap kreatif, demokratis dan mandiri. Perlu diidentifikasi unsur-unsur yang ada di daerah yang dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi proses peningkatan mutu pendidikan, selain pemerintah daerah, misalnya kelompok pakar, paguyuban mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat daerah, perguruan tinggi, organisasi massa, organisasi politik, pusat penerbitan, studio radio/TV daerah, media masa/cetak daerah, situs internet, dan sanggar belajar.
III. Daftar Pustaka
Ahmad Ajip.2003. Nilai Pedagogis Paulo Freire Dan Masa Depan Pendidikan (http://re-searchengines.com/ahmadnajip.html)
Beny susetyo.2006.Investasi Pendidikan investasi masa depan (http://suryaningsih.wordpress.com/2007/03/14/investasi-pendidikan-investasi-masa-depan/)
Isjoni.2004.Guru Masa Depan. (http://www.ganeca-exact.com/index.php?option=content&task=view&id=32&Itemid=59)
M.Sobry sutikno,2006.Pendidikan Sekarang dan Masa depan, Mataram: NTP Press
M.Sobry sutikno,2004. Menuju Pendidikan Bermutu, Mataram: NTP Press
Nurkholis.2005. Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang.www.depdiknas.go.id
Teddy Suryana, 2005.Merancang pendidikan Transformatif. (http://groups.yahoo.com/group/pakguruonline/message/288)
TEORI KONSELING PSIKOANALISA
TEORI KONSELING PSIKOANALISA
(SIGMUND FREUD)
1. Konsep Pokok
Psikoanalisa merupakan suatu metode penyembuhan yang lebih bersifat Psikologis dengan cara-cara fisik. Pada mulanya freud mengembangkan teorinya tentang struktur kepribadian dan sebab-sebab gangguan Jiwa. Konsep freud yang anti rasionalisme menekankan motivasi tidak sadar,konflik,dan simbolisme sebagai konsep primer. Teori Kepribadian menurut freud, menyangkut tiga hal yakni;
Struktur Kepribadian,
Menurut beliau, Kepribadian terdiri dari tiga system,yakni :
• Id ( aspek biologis yang merupakan system kepribadian yang asli)
• Ego (aspek Psikologi yang timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan dengan dunia nyata)
• Super Ego ( aspek sosiologis yang mencerminkan nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat yang ada dalam kepribadian individu)
Dinamika Kepribadian
Dinamika Kepribadian terdiri dari cara bagaimana energi psikis itu didistribusikan serta digunakan oleh Id,ego,dan super ego. Oleh kare
Perkembangan kepribadian
Kepribadian berkembang sehubungan dengan empat macam pokok sebagai sumber ketegangan, yaitu;
1. proses pertumbuhan fisiologis (kedewasaan)
2. Frustasi
3. konflik, dan
4. ancaman.
Kendati freud mengkategorikan perkembangan dalam beberapa fase,namun fase-fase tersebut bukan merupakan batas yang tajam. Fase-fase tersebut adalah:
1. fase Oral :0,0 s/d 1,0 tahun, pada fase ini mulut merupakan daerah pokok dari aktifitas dinamis.
2. fase anal:1,0 s/d 3,0 tahun, pada fase ini kateksis dan anti kateksis berpusat pada anal.
3. fase Phallis : 3,0 s/d 5,0 tahun, pada masa ini alat kelamin merupakan daerah erogen terpenting.
4. fase Latent :5,0 s/d 13,0 tahun, pada masa ini impuls-impuls cenderung dalam keadaan tertekan.
5. fase pubertas: 12,0 s/d 20 tahun, pada fase ini impuls-impuls yang selama fase latent seakan-akan tertekan,menonjol dan membawa aktivitas-aktivitas dinamis kembali.
6. Fase Genital : pada fase ini individu telah berubah dari mengejar kenikmatan, menjadi orang dewasa yang telah disosialisasikan dengan realitas. Fungsi pokok fase genital ialah Reproduksi.
Gangguan Jiwa
Psikoanalisa membedakan dua macam gangguan jiwa yaitu Psikoneurose, dan Psikose. Psikoneurose disebabkan oleh kegagalan ego untuk mengontrol dorongan id, karena ego tidak berhasil memperoleh kesepakatan. Neurose dikelompokkan menjadi tiga,yaitu; (1) histeri; (2) Psikastenia ; (3) reaksi Kecemasan.
Psikose digolongkan menjadi dua macam yaitu Psikose Fungsional, dan Psikose organic. Psikose Fungsional terdiri dari tiga jenis, yaitu; (1) manic-depressive; (2) paranoia; (3) schezophenia. Psikose Organik terdiri atas (1) involutional melancholia; (2) senile and alcoholic psychoses; (3) general parasis.
2. Proses konseling
Tujuan konseling Psikoanalitik adalah untuk membentuk kembali struktur karakter individu dengan membuat yang tidak sadar menjadi sadar pada diri Klien. Salah satu karakteristik konseling Psikoanalisa adalah bahwa terapi atau analisis bersikap anonim (tdk dikenal) dan bertindak dengan sangat sedikit menunjukkan perasaan dan pengalamannya, sehingga dengan demikian klien akan memantulkan perasaannya kepada konselor. Proyeksi klien merupakan bahan terapi yang ditafsirkan dan dianalisa.
Teknik-teknik Terapi
Teknik-teknik terapi dalam psikoanalisa digunakan untuk meningkatkan kesadaran mendapatkan tilikan intelektual ke dalam perilaku Klien, dan memahami makna gejala-gejala yang nampak, ada lima teknik dasar dalam terapi Psikoanalisa, yaitu;
1. asosiasi bebas, (2) interpretasi, (3) analisis mimpi, (4) analisis Resistensi, (5) analisis transferensi (pemindahan).
Kritik dan Kontribusi
Beberapa Kritik terhadap psikoanalisa antara lain;
1. pandangan yang terlalu deterministic dinilai terlalu merendahkan martabat kemanusiaan.
2. terlalu banyak menekankan kepada pengalaman masa kanak-kanak, dan menganggap kehidupan seolah-olah sepenuhnya ditentukan masa lalu.
3. terlalu meminimalkan rasionalitas
4. penyembuhan dalam psikoanalisa terlalu bersifat rasional dalam pendekatannya.
5. data penelitian empiris kurang banyak mendukung system psikoanalisa.
Sedangkan kontribusi yang diberikan antara lain;
1. adanya motivasi yang tidak selamanya disadari
2. teori kepribadian dan teknik psikoterapi
3. pentingnya masa kanak-kanak dalam perkembangan kepribadian.
4. model penggunaan wawancara sebagai alat terapi
5. pentingnya sikap non-moral pada terapis
6. adanya persesuaian antara teori dan teknik.
(SIGMUND FREUD)
1. Konsep Pokok
Psikoanalisa merupakan suatu metode penyembuhan yang lebih bersifat Psikologis dengan cara-cara fisik. Pada mulanya freud mengembangkan teorinya tentang struktur kepribadian dan sebab-sebab gangguan Jiwa. Konsep freud yang anti rasionalisme menekankan motivasi tidak sadar,konflik,dan simbolisme sebagai konsep primer. Teori Kepribadian menurut freud, menyangkut tiga hal yakni;
Struktur Kepribadian,
Menurut beliau, Kepribadian terdiri dari tiga system,yakni :
• Id ( aspek biologis yang merupakan system kepribadian yang asli)
• Ego (aspek Psikologi yang timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan dengan dunia nyata)
• Super Ego ( aspek sosiologis yang mencerminkan nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat yang ada dalam kepribadian individu)
Dinamika Kepribadian
Dinamika Kepribadian terdiri dari cara bagaimana energi psikis itu didistribusikan serta digunakan oleh Id,ego,dan super ego. Oleh kare
Perkembangan kepribadian
Kepribadian berkembang sehubungan dengan empat macam pokok sebagai sumber ketegangan, yaitu;
1. proses pertumbuhan fisiologis (kedewasaan)
2. Frustasi
3. konflik, dan
4. ancaman.
Kendati freud mengkategorikan perkembangan dalam beberapa fase,namun fase-fase tersebut bukan merupakan batas yang tajam. Fase-fase tersebut adalah:
1. fase Oral :0,0 s/d 1,0 tahun, pada fase ini mulut merupakan daerah pokok dari aktifitas dinamis.
2. fase anal:1,0 s/d 3,0 tahun, pada fase ini kateksis dan anti kateksis berpusat pada anal.
3. fase Phallis : 3,0 s/d 5,0 tahun, pada masa ini alat kelamin merupakan daerah erogen terpenting.
4. fase Latent :5,0 s/d 13,0 tahun, pada masa ini impuls-impuls cenderung dalam keadaan tertekan.
5. fase pubertas: 12,0 s/d 20 tahun, pada fase ini impuls-impuls yang selama fase latent seakan-akan tertekan,menonjol dan membawa aktivitas-aktivitas dinamis kembali.
6. Fase Genital : pada fase ini individu telah berubah dari mengejar kenikmatan, menjadi orang dewasa yang telah disosialisasikan dengan realitas. Fungsi pokok fase genital ialah Reproduksi.
Gangguan Jiwa
Psikoanalisa membedakan dua macam gangguan jiwa yaitu Psikoneurose, dan Psikose. Psikoneurose disebabkan oleh kegagalan ego untuk mengontrol dorongan id, karena ego tidak berhasil memperoleh kesepakatan. Neurose dikelompokkan menjadi tiga,yaitu; (1) histeri; (2) Psikastenia ; (3) reaksi Kecemasan.
Psikose digolongkan menjadi dua macam yaitu Psikose Fungsional, dan Psikose organic. Psikose Fungsional terdiri dari tiga jenis, yaitu; (1) manic-depressive; (2) paranoia; (3) schezophenia. Psikose Organik terdiri atas (1) involutional melancholia; (2) senile and alcoholic psychoses; (3) general parasis.
2. Proses konseling
Tujuan konseling Psikoanalitik adalah untuk membentuk kembali struktur karakter individu dengan membuat yang tidak sadar menjadi sadar pada diri Klien. Salah satu karakteristik konseling Psikoanalisa adalah bahwa terapi atau analisis bersikap anonim (tdk dikenal) dan bertindak dengan sangat sedikit menunjukkan perasaan dan pengalamannya, sehingga dengan demikian klien akan memantulkan perasaannya kepada konselor. Proyeksi klien merupakan bahan terapi yang ditafsirkan dan dianalisa.
Teknik-teknik Terapi
Teknik-teknik terapi dalam psikoanalisa digunakan untuk meningkatkan kesadaran mendapatkan tilikan intelektual ke dalam perilaku Klien, dan memahami makna gejala-gejala yang nampak, ada lima teknik dasar dalam terapi Psikoanalisa, yaitu;
1. asosiasi bebas, (2) interpretasi, (3) analisis mimpi, (4) analisis Resistensi, (5) analisis transferensi (pemindahan).
Kritik dan Kontribusi
Beberapa Kritik terhadap psikoanalisa antara lain;
1. pandangan yang terlalu deterministic dinilai terlalu merendahkan martabat kemanusiaan.
2. terlalu banyak menekankan kepada pengalaman masa kanak-kanak, dan menganggap kehidupan seolah-olah sepenuhnya ditentukan masa lalu.
3. terlalu meminimalkan rasionalitas
4. penyembuhan dalam psikoanalisa terlalu bersifat rasional dalam pendekatannya.
5. data penelitian empiris kurang banyak mendukung system psikoanalisa.
Sedangkan kontribusi yang diberikan antara lain;
1. adanya motivasi yang tidak selamanya disadari
2. teori kepribadian dan teknik psikoterapi
3. pentingnya masa kanak-kanak dalam perkembangan kepribadian.
4. model penggunaan wawancara sebagai alat terapi
5. pentingnya sikap non-moral pada terapis
6. adanya persesuaian antara teori dan teknik.
Test Objektif dalam Pembelajaran
Test Objektif dalam Pembelajaran
I. Pendahuluan
Latar belakang masalah
Beberapa macam bentuk tes hasil belajar (evaluasi hasil belajar) memegang peranan penting sebagai substansi esensial dalam komponen pendidikan dan pengajaran. Multi varian jenis evaluasi pun diklaim memiliki tipikal spesifik dalam fokus orientasinya, misalnya saja ; untuk menguji mental, dan kemampuan verbalistis seorang siswa seorang penguji/guru menyajikan format evaluasi berupa tes lisan.
Dalam makalah ini yang menjadi substansi esensial untuk di dekripsikan ialah; Tes Objektif dalam proses pengajaran khususnya True false,dan Multiple Choice. Dimana jenis tes ini sangat popular sekali di semua jenjang tingkatan pendidikan, sejak bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Semoga yang dapat kami sajikan ini bermanfaat eksistensinya dalam pembelajaran.
Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang dapat kami rumuskan ;
1. Apakah test Objektif itu ?
2. Bagaimana kriteria Tes Objektif tersebut ?
3. Apa sajakah yang terkategorikan sebagai tes Objektif ?
4. Adakah nilai Positif, serta Negatif dari tes objektif ini ?
Tes Objektif
2.1. Definisi Tes Objektif
Suatu tes dinyatakan objektif apabila ;
1. Hanya satu jawaban yang benar untuk setiap alternatif jawaban.
2. Dalam menskor tidak ada perbedaan walau diperiksa oleh lebih dari satu orang
3. Dalam menjawab testee tinggal hanya melakukan pilihan sesuai dengan petunjuk
4. Norma pilihan sudah ditentukan terlebih dahulu
2.2. Kriteria Tes Objektif
Beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam menyusun Tes Objektif,antara lain sebagai berikut:
1. Tiap bentuk dari tes objektif harus didahului dengan penjelasan atau suruhan, bagaimana cara mengerjakannya.
2. Penjelasan atau suruhan itu harus diusahakan jangan terlalu panjang, tetapi jelas bagi yang menjawabnya (disesuaikan dengan tingkat sekolah dan kecakapan bahasa anak).
3. Hindarkan pertanyaan yang ambigu (memiliki banyak pengertian atau tafsiran)
4. setiap soal hendaknya tetap,gramatikanya baik agar tidak membingungkan.
5. Jangan menyusun item secara langsung menjiplak dari buku karena hal demikian hanya memaksa sang anak untuk menghafal,tanpa merangsangnya untuk berpikir.
6. Harus diteliti jangan sampai item yang satu mempermudah atau mempersukar yang lain.(terutama dalam Multiple Choice)
7. urutan-urutan jawaban yang benar dan yang salah janganlah menurut suatu pola tertentu yang tetap.
8. Janganlah item yang satu bergantung pada item yang lain atau item yang terdahulu. Setiap individu yang dites hendaklah diberi kesempatan yang sama untuk setiap item. Jangan sampai ia dapat mengerjakan satu item sedangkan yang lainnya terabaikan .
2.3. Macam-macam Tes Objektif
Test objektif terdiri dari empat macam, yaitu ; True False test, Multiple Choice, Test bahasa, dan Tes perbuatan. Dalam pembahasan kali ini lebih ditekankan focus pembahasan pada True False test,dan Multiple Choice.
a. True false test,
Yakni test yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang mengandung salah satu dari dua kemungkinan jawaban, salah atau benar , misalnya :
1. Meyakini adanya kekuatan di luar kekuasaan Allah swt adalah termasuk perbuatan Syirik (Benar/ Salah)
2. Michael Jakson merupakan salah satu penyanyi berkulit hitam yang sukses di dunia tarik suara pada era 1990 an (Benar/Salah)
3. Pangeran Diponegoro merupakan saudara kembar Tuanku Imam Bonjol (Benar/Salah)
b. Multiple Choice
Pada jenis test ini testee diminta memilih jawaban yang benar dari beberapa jawaban yang telah ada. Biasanya terdiri dari tiga, sampai lima pilihan jawaban yang tersedia, yang benar hanya satu. Multiple Choice ada tiga bentu :
1.Menjawab pertanyaan, misalnya : Siapakah presiden Republik Indonesia yang
pertama ? A. KH.Abdurrahman Wahid B. Prof.Dr.Ir.B.J.Habibie C. Ir.Soekarno
D. Soeharto E. Ian Kasela.
2.The Best Answer, disini seorang testee dituntut untuk memilih jawaban paling
benar diantara Jawaban yang benar. Misalnya : Manakah diantara hewan reptil
berikut yang memiliki Bisa paling mematikan di dunia ? A. Ular King Kobra
B. Kadal Afrika, C. Komodo D. Anakonda E. Iguana
3.Menyelesaikan pertanyaan, misalnya : Shalat Tahajud yaitu :
a……. b…… c…… d…… e……
4.Matching Test (menjodohkan). Pada test ini testee diminta menjodohkan jawaban
yang cocok antara pertanyaan kiri dan jawaban di sebelah kanan.
5.Complation test (test menyempurnakan) pada tes ini seorang testee dituntut untuk
melengkapi sebagian dari pertanyaan. Misalnya : Selain Shalat Fardhu, kita di
tuntun agar senantiasa melaksanakan Shalat sunnah, antara lain, Shalat Dhuha,…..,
Shalat sunnah Rawatib,……………., Shalat Istikharah,………….dan…………….
6. Rearrangment test (test mengatur kembali). Yakni test penyusunan pengertian
yang belum teratur, dan testee dituntut agar menyempurnakannya dengan cara
merangkaikan nya menjadi sebuah jawaban yang tepat. Misalnya ; Kelima-
Rukun-Haji-Islam-merupakan-yang.
2.4. Nilai Positif dan Negatif dari Tes Objektif
Kendati popular, dan banyak diminati tes Objektif pun tak luput dari beberapa tanggapan berbagai sumber. Ada yang menilai sisi positif, dan sebaliknya. Beberapa paradigma umum seputar hal ini antara lain :
Secara Positif: tes objektif
1. Dapat digunakan untuk menilai bahan pelajaran yang banyak atau scope yang luas.
2. Bagi yang dites, menjawabnya dapat bebas dan terpimpin.
3. Dapat dinilai secara Objektif.
4. Memaksa siswa untuk belajar baik-baik karena sukar untuk berbuat spekulasi terhadap bagian mana dari seluruh pelajaran yang harus dipelajari.
Secara Negatif, kelemahan Tes Objektif adalah:
1. Kurang memberi kesempatan untuk menyatakan isi hati atau kecakapan yang sesungguhnya karena anak tidak membuat kalimat.
2. Memungkinkan anak atau si penjawab berbuat coba-coba dalam menjawabnya.
3. Menyusun tes ini tidak mudah, memerlukan ketelitian dan waktu yang agak lama.
4. Kurang ekonomis karena memakan biaya dan kertas yang banyak jika dibandingkan dengan pembuatan essay test.
K e s i m p u l a n
Suatu tes dinyatakan objektif apabila ;
1. Hanya satu jawaban yang benar untuk setiap alternatif jawaban.
2. Dalam menskor tidak ada perbedaan walau diperiksa oleh lebih dari satu orang
3. Dalam menjawab testee tinggal hanya melakukan pilihan sesuai dengan petunjuk
4. Norma pilihan sudah ditentukan terlebih dahulu.
Test Objektif terdiri dari empat jenis yaitu : True False test, Multiple Choice, Test bahasa, dan Tes perbuatan.
D a f t a r P u s t a k a
Dr.Armai Arief, M.A.,2002,Pengantar Ilmu dan metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers
Drs.M.Ngalim Purwanto,2002,Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, Bandung : Remaja Rosdakarya
I. Pendahuluan
Latar belakang masalah
Beberapa macam bentuk tes hasil belajar (evaluasi hasil belajar) memegang peranan penting sebagai substansi esensial dalam komponen pendidikan dan pengajaran. Multi varian jenis evaluasi pun diklaim memiliki tipikal spesifik dalam fokus orientasinya, misalnya saja ; untuk menguji mental, dan kemampuan verbalistis seorang siswa seorang penguji/guru menyajikan format evaluasi berupa tes lisan.
Dalam makalah ini yang menjadi substansi esensial untuk di dekripsikan ialah; Tes Objektif dalam proses pengajaran khususnya True false,dan Multiple Choice. Dimana jenis tes ini sangat popular sekali di semua jenjang tingkatan pendidikan, sejak bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Semoga yang dapat kami sajikan ini bermanfaat eksistensinya dalam pembelajaran.
Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang dapat kami rumuskan ;
1. Apakah test Objektif itu ?
2. Bagaimana kriteria Tes Objektif tersebut ?
3. Apa sajakah yang terkategorikan sebagai tes Objektif ?
4. Adakah nilai Positif, serta Negatif dari tes objektif ini ?
Tes Objektif
2.1. Definisi Tes Objektif
Suatu tes dinyatakan objektif apabila ;
1. Hanya satu jawaban yang benar untuk setiap alternatif jawaban.
2. Dalam menskor tidak ada perbedaan walau diperiksa oleh lebih dari satu orang
3. Dalam menjawab testee tinggal hanya melakukan pilihan sesuai dengan petunjuk
4. Norma pilihan sudah ditentukan terlebih dahulu
2.2. Kriteria Tes Objektif
Beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam menyusun Tes Objektif,antara lain sebagai berikut:
1. Tiap bentuk dari tes objektif harus didahului dengan penjelasan atau suruhan, bagaimana cara mengerjakannya.
2. Penjelasan atau suruhan itu harus diusahakan jangan terlalu panjang, tetapi jelas bagi yang menjawabnya (disesuaikan dengan tingkat sekolah dan kecakapan bahasa anak).
3. Hindarkan pertanyaan yang ambigu (memiliki banyak pengertian atau tafsiran)
4. setiap soal hendaknya tetap,gramatikanya baik agar tidak membingungkan.
5. Jangan menyusun item secara langsung menjiplak dari buku karena hal demikian hanya memaksa sang anak untuk menghafal,tanpa merangsangnya untuk berpikir.
6. Harus diteliti jangan sampai item yang satu mempermudah atau mempersukar yang lain.(terutama dalam Multiple Choice)
7. urutan-urutan jawaban yang benar dan yang salah janganlah menurut suatu pola tertentu yang tetap.
8. Janganlah item yang satu bergantung pada item yang lain atau item yang terdahulu. Setiap individu yang dites hendaklah diberi kesempatan yang sama untuk setiap item. Jangan sampai ia dapat mengerjakan satu item sedangkan yang lainnya terabaikan .
2.3. Macam-macam Tes Objektif
Test objektif terdiri dari empat macam, yaitu ; True False test, Multiple Choice, Test bahasa, dan Tes perbuatan. Dalam pembahasan kali ini lebih ditekankan focus pembahasan pada True False test,dan Multiple Choice.
a. True false test,
Yakni test yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang mengandung salah satu dari dua kemungkinan jawaban, salah atau benar , misalnya :
1. Meyakini adanya kekuatan di luar kekuasaan Allah swt adalah termasuk perbuatan Syirik (Benar/ Salah)
2. Michael Jakson merupakan salah satu penyanyi berkulit hitam yang sukses di dunia tarik suara pada era 1990 an (Benar/Salah)
3. Pangeran Diponegoro merupakan saudara kembar Tuanku Imam Bonjol (Benar/Salah)
b. Multiple Choice
Pada jenis test ini testee diminta memilih jawaban yang benar dari beberapa jawaban yang telah ada. Biasanya terdiri dari tiga, sampai lima pilihan jawaban yang tersedia, yang benar hanya satu. Multiple Choice ada tiga bentu :
1.Menjawab pertanyaan, misalnya : Siapakah presiden Republik Indonesia yang
pertama ? A. KH.Abdurrahman Wahid B. Prof.Dr.Ir.B.J.Habibie C. Ir.Soekarno
D. Soeharto E. Ian Kasela.
2.The Best Answer, disini seorang testee dituntut untuk memilih jawaban paling
benar diantara Jawaban yang benar. Misalnya : Manakah diantara hewan reptil
berikut yang memiliki Bisa paling mematikan di dunia ? A. Ular King Kobra
B. Kadal Afrika, C. Komodo D. Anakonda E. Iguana
3.Menyelesaikan pertanyaan, misalnya : Shalat Tahajud yaitu :
a……. b…… c…… d…… e……
4.Matching Test (menjodohkan). Pada test ini testee diminta menjodohkan jawaban
yang cocok antara pertanyaan kiri dan jawaban di sebelah kanan.
5.Complation test (test menyempurnakan) pada tes ini seorang testee dituntut untuk
melengkapi sebagian dari pertanyaan. Misalnya : Selain Shalat Fardhu, kita di
tuntun agar senantiasa melaksanakan Shalat sunnah, antara lain, Shalat Dhuha,…..,
Shalat sunnah Rawatib,……………., Shalat Istikharah,………….dan…………….
6. Rearrangment test (test mengatur kembali). Yakni test penyusunan pengertian
yang belum teratur, dan testee dituntut agar menyempurnakannya dengan cara
merangkaikan nya menjadi sebuah jawaban yang tepat. Misalnya ; Kelima-
Rukun-Haji-Islam-merupakan-yang.
2.4. Nilai Positif dan Negatif dari Tes Objektif
Kendati popular, dan banyak diminati tes Objektif pun tak luput dari beberapa tanggapan berbagai sumber. Ada yang menilai sisi positif, dan sebaliknya. Beberapa paradigma umum seputar hal ini antara lain :
Secara Positif: tes objektif
1. Dapat digunakan untuk menilai bahan pelajaran yang banyak atau scope yang luas.
2. Bagi yang dites, menjawabnya dapat bebas dan terpimpin.
3. Dapat dinilai secara Objektif.
4. Memaksa siswa untuk belajar baik-baik karena sukar untuk berbuat spekulasi terhadap bagian mana dari seluruh pelajaran yang harus dipelajari.
Secara Negatif, kelemahan Tes Objektif adalah:
1. Kurang memberi kesempatan untuk menyatakan isi hati atau kecakapan yang sesungguhnya karena anak tidak membuat kalimat.
2. Memungkinkan anak atau si penjawab berbuat coba-coba dalam menjawabnya.
3. Menyusun tes ini tidak mudah, memerlukan ketelitian dan waktu yang agak lama.
4. Kurang ekonomis karena memakan biaya dan kertas yang banyak jika dibandingkan dengan pembuatan essay test.
K e s i m p u l a n
Suatu tes dinyatakan objektif apabila ;
1. Hanya satu jawaban yang benar untuk setiap alternatif jawaban.
2. Dalam menskor tidak ada perbedaan walau diperiksa oleh lebih dari satu orang
3. Dalam menjawab testee tinggal hanya melakukan pilihan sesuai dengan petunjuk
4. Norma pilihan sudah ditentukan terlebih dahulu.
Test Objektif terdiri dari empat jenis yaitu : True False test, Multiple Choice, Test bahasa, dan Tes perbuatan.
D a f t a r P u s t a k a
Dr.Armai Arief, M.A.,2002,Pengantar Ilmu dan metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers
Drs.M.Ngalim Purwanto,2002,Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, Bandung : Remaja Rosdakarya
Minggu, 27 Juli 2008
ANALISIS TEORITIK HUBUNGAN PENGGUNAAN INTERNET SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN DENGAN PRESTASI KOGNITIF BELAJAR SISWA
ANALISIS TEORITIK HUBUNGAN PENGGUNAAN INTERNET SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN DENGAN PRESTASI KOGNITIF BELAJAR SISWA
DI SEKOLAH PADA BIDANG STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
A. Internet
1. Definisi Internet
Internet merupakan jaringan global yang menghubungkan beribu bahkan berjuta jaringan komputer (local/wide area network) dan komputer pribadi (stand alone), yang memungkinkan setiap komputer yang terhubung kepadanya bisa melakukan komunikasi satu sama lain (Brace, 1997). Jaringan ini bukan merupakan suatu organisasi atau institusi, karena tak satu pihakpun yang mengatur dan memilikinya.
Brace juga menyebutkan Internet sebagai suatu "kesepakatan", karena untuk bisa saling berhubungan dan berkomunikasi setiap komputer harus menggunakan protokol standar yaitu TCP/IP ( Transmission Control Protocol/Internet Protocol) yang disepakati bersama. Dengan kata lain meskipun suatu komputer terhubung ke dalam jaringan Internet, tetapi kalau ia tidak menggunakan standar komunikasi pengiriman dan penerimaan yang telah disepakati tersebut, tetap saja ia tidak bisa melakukan komunikasi.
( Hardjito, 2007 )
2.Sejarah Penggunaan Internet
Awalnya Internet lahir untuk suatu keperluan militer Amerika Serikat. Pada awal tahun 1969 Avanced Research Project Agency (ARPA) dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat, membuat suatu eksperimen jaringan yang diberi nama ARPAnet untuk mendukung keperluan penelitian (riset) kalangan militer. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya jaringan ini dipergunakan untuk keperluan riset perguruan tinggi, yang dimulai dengan University of California, Stanford Research Institute dan University of
Utah (Cronin, 1996:2).
Fasilitas aplikasi Internet cukup banyak sehingga mampu memberikan dukungan bagi keperluan militer, kalangan akademisi, kalangan media massa, maupun kalangan bisnis. Fasilitas tersebut seperti Telnet, Gopher, WAIS, e-mail, Mailing List (milis), Newsgroup, File Transfer Protocol (FTP), Internet Relay Chat, World Wide Web (WWW)
( Purbo, 2007: 3) Di antara keseluruhan fasilitas Internet tersebut terdapat lima aplikasi standar Internet yang dapat dipergunakan untuk keperluan pendidikan (Purbo, 1997), yaitu e-mail, Mailing List (milis), Newsgroup, File Transfer Protocol (FTP), dan World Wide Web (www).
3. Indikator Penggunaan Internet
Secara nyata internet memang dapat digunakan dalam pembelajaran di sekolah, karena memiliki karakteristik yang khas yaitu ;
(1) Sebagai media interpersonal dan juga sebagai media massa yang memungkinkan terjadinya komunikasi one-to-one maupun one-to-many,
(2) Memiliki sifat interaktif, dan
(3) Memungkinkan terjadinya komunikasi secara sinkron (syncronous) maupun tertunda (asyncronous), sehingga memungkinkan terselenggaranya ketiga jenis dialog/komunikasi yang merupakan syarat terselengaranya suatu proses belajar mengajar.
( Purbo, 1996:5 )
Sebagai dasar untuk memanfaatkan internet sebagai media pembelajaran di sekolah, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dan penanganan yang serius agar penyelenggaraan pemanfaatan internet untuk pembelajaran bisa berhasil,yaitu:
Faktor Lingkungan
Faktor ini meliputi institusi penyelenggara pendidikan/institusi dan masyarakat ;
Intitusi
Peranan institusi yang diwujudkan dalam bentuk kebijakan dan komitmen, sangat menentukan terselenggaranya pemanfaatan internet untuk pendidikan dalam lingkungan sekolah. Institusi yang paling pertama yang dituntut untuk memiliki komitmen dalam pendayagunaan internet untuk pembelajaran tentu saja adalah sekolah. Hal ini terutama berkaitan dengan penggunaan teknologi tinggi yang menyangkut keharusan menyediakan sejumlah dana untuk penyediaan peralatan (komputer dan kelengkapannya), jaringan, line telepon (koneksi ke ISP), biaya berlangganan ke Internet Service Provider (ISP), biaya penggunaan telepon dan sebagainya.
Peranan institusi lain yang tak kalah pentingnya ialah dalam memberikan kesadaran (awareness) baik terhadap guru maupun siswa tentang teknologi komunikasi dan informasi terutama potensi internet sebagai media pembelajaran. Kemudian dilanjutkan pemberian pengetahuan mengenai prosedur dan tata cara memanfaatkan internet, melalui berbagai kegiatan dan pelatihan yang terus menerus, sehingga secara tidak langsung akan tercipta lingkungan yang akrab teknologi.
Dengan demikian terlihat bahwa hal yang paling mendasar dalam penerapan internet di sekolah adalah tekad, kesiapan dan kesungguhan institusi yang diwujudkan dengan suatu kebijakan yang menyeluruh, meliputi kebijakan berubahnya metode pengajaran, kebijakan mengenai manajemen dan prosedur, kebijakan mengakses internet dan lain-lain. Karena semua itu merupakan kunci utama keberhasilan pendayagunaan internet untuk pembelajaran di lingkungan sekolah.
Masyarakat
Lingkungan yang perlu mendapat perhatian ialah lingkungan keluarga siswa.
Karena dari lingkungan keluargalah diharapkan munculnya dukungan yang mampu memberikan dorongan untuk memotivasi siswa dalam memanfaatkan internet untuk keperluan pendidikan.Hardjito (2001) dalam penelitiannya terhadap 210 siswa SMU dan SMK DKI Jakarta yang secara rutin mengakses internet, menemukan bahwa siswa yang rajin mengakses internet sebagian besar (55,7%) datang dari lingkungan keluarga yang semua anggotanya (orang tua, kakak/adik) menggunakan internet, dan hanya 5,7% dari keluarga yang sama sekali tidak menggunakan internet.
Kemudian selain keluarga, lingkungan paling dekat lainnya yang sangat mempengamhi siswa dalam mengunakan internet ialah teman sebaya (peer group).
Pengaruh lingkungan ini bahkan lebih besar dari lingkungan keluarga, sebagaimana didapatkan dari hasil penelitian Hardjito (2001) yang menunjukkan bahwa dari temanlah mereka pertama kali belajar internet, mengajari internet secara lebih mendalam dan mendapatkan dorongan untuk menggunakan internet.
Oleh karena itu lingkungan siswa ini juga dipersiapkan dan disentuh agar tercipta suasana yang kondusif, yang mampu memberikan dukungan terhadap siswa dalam memanfaatkan internet untuk pendidikan.
Siswa atau peserta didik
Pemahaman tentang audiens bisa didapat melalui analisis dengan menggunakan data demografi maupun psikografi, antara lain dengan menguji perbedaan-perbedaan karakteristik, sikap dan perilaku audiens. Pemilahan atau pengelompokan diperlukan dalam kaitannya untuk bisa membuat suatu pendekatan atau strategi pendayagunaan internet lebih tepat sasaran, mengingat bahwa sasaran didik tersegmen dalam kelompok sekolah-sekolah yang berbeda. Pemahaman tentang perbedaan-perbedaan motif penggunaan internet berdasarkan aspek demografi dan psikografi tersebut, menjadi penting agar pengembangan program pendidikan dengan mendayagunakan internet bisa lebih menyentuh kondisi ril sasaran.
Sebenarnya sasaran didik terkelompok dalam segmen-segmen tertentu yang mengehendaki adanya perlakuan yang berbeda pula.
Sehinggga dalam menerapkan pendayagunaan internet di sekolah akan lebih baik apabila melakukan segmentasi secara lebih homogen baik ditinjau dari aspek demografi maupun psikografi.
Walaupun sesungguhnya pendekatan segmentasi ini lebih dikenal dalam konsep pemasaran yang menghendaki diketahuinya kelompok-kelompok sasaran dengan jelas melalui pendekatan segmentasi pasar, namun pendekatan ini sesunguhnya juga bisa diterapkan dalam semua bidang kegiatan termasuk dalam bidang pendidikan. Konsep ini mulai berkembang setelah Wenddell Smith (1956) menjelaskan bahwa konsumen pada dasarnya berbeda, sehingga dibutuhkan program-program pemasaran yang berbeda-beda pula untuk menjangkaunya. Pendapat tersebut kemudian diperkuat oleh Frederick Winter (1977) yang menyatakan bahwa konsep av'erage consumer - untuk kepentingan praktis - sudah harus di hapuskan dari kamus manajemen pemasaran (Kasali, 1999:27). Segmentasi adalah hal yang wajib ditempuh dalam suatu proses pemasaran baik komersial maupun sosial, karena dengan demikian kita bisa memberikan pelayanan sebaik-baiknya pada masing-masing segmen dan memberikan kepuasan orang-orang di dalam segmen tersebut. ( Kasali, 1999: 28)
Hal tersebut juga sejalan dengan teori teknologi pembelajaran di mana keberhasilan tujuan pembelajaran sangat ditentukan oleh sejauh mana kita mengenali sasaran didik kita. Bila pendidik menganggap siswa mereka sebagai manusia ( human being), dengan segala hak-hak dan perbedaan-perbedaan motivasinya, maka ia akan menganggap bahwa murid adalah merupakan bagian atau subyek dari suatu proses belajar mengajar (Heinich, 1996 :20).
Segmentasi menjadi sangat penting, karena sebagaimana yang disampaikan oleh Renald Kasali (1999) dalam bukunya "Membidik Pasar Indonesia, Segmentasi Targeting dan Positioning", bahwa lebih dari 60% kegagalan bisnis disebabkan oleh gagalnya pengusaha mendenifikasikan pasar yang dituju, dan lebih dari 60% kegagalan kampanye sosial dan politik disebabkan tidak dipahaminya segmen pasar yang dituju.
Dengan mengacu pada hal-hal tersebut, maka sistem pembelajaran dengan mendayagunakan internet yang akan dikembangkan hendaknya memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan karakteristik dan segmen sasaran didik. Atau dengan kata lain perlu dikembangkan suatu sistem pembelajaran yang paling sesuai dengan segmen-segmen sasaran didik yang dibidik.
Guru atau pendidik
Peranan guru tak kalah menentukannya terhadap keberhasilan pemanfaatan internet di sekolah. Dari berbagai pengalaman menunjukkan bahwa inisiatif pemanfaatan internet di sekolah justru banyak yang datang dari guru-guru yang memiliki kesadaran lebih awal tentang potensi internet guna menunjang proses belajar mengajar.
Keberhasilan pembelajaran berbasis internet ini secara signifikan ditentukan oleh karakteristik guru-guru yang akan dilibatkan dalam pemanfaatan internet. Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut (Hardjito, 2006);
- Guru perlu diberikan pemahaman berbagai keuntungan, termasuk kelebihan dan kelemahan penggunaan internet untuk pembelajaran, sehingga mereka memiliki motivasi dan komitmen yang cukup tinggi.
- Guru, baik nantinya dia akan berperan sebagai pengembang dan pengguna maupun yang diproyeksikan sebagai pengelola sistem pembelajaran berbasis internet, harus dibekali dengan kesadaran, wawasan, pengetahuan dan keterampilan tentang internet.
- Guru yang akan dilibatkan dalam pengembangan dan pemanfaatan internet untuk pembelajaran hendaknya memiliki pengalaman dan kemampuan mengajar yang cukup.
- Jumlah guru yang akan dilibatkan dalam pengembangan dan pemanfaatan internet untuk pembelajaran, hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan dilakukan secara bertahap.
- Guru harus memiliki komitmen dan keseriusan dalam menangani pengembangan dan pemanfaatan internet untuk pembelajaran.
- Tetap menjaga gaya mengajar tiap-tiap guru. karena hal itu akan dicerminkan dalam cara pembelajaran mereka kelak di sistem pembelajaran dengan internet.
Faktor teknologi
Untuk terselengaranya kegiatan pembelajaran dengan dukungan internet, maka setelah ketiga unsur didepan dipenuhi dengan kondisi sebagaimana telah diuraikan, maka faktor teknologi merupakan suatu hal yang juga mutlak harus tersedia dan harus memenuhi standar minimal yang dipersayaratkan, baik yang berkaitan dengan peralatan, infrastruktur, pengoperasian dan perawatannya.
Idealnya dalam pemanfaatan internet untuk pembelajaran di sekolah, harus tersedia sejumlah komputer yang bisa mengakses internet. Akan lebih baik lagi kalau komputer-komputer yang tersambung ke internet tersebut diletakkan di ruang khusus seperti ruang lab komputer ataupun di ruangan-ruangan lain yang dianggap strategis.
Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi guru dan siswa dalam mengakses internet.
Cara yang paling efektif dan efesien untuk menghubungkan sejumlah komputer ke internet adalah dengen membangun jaringan lokal (Local Area Network/LAN). Dengan adanya jaringan maka hanya diperlukan satu sambungan saja ke internet yang bisa dipergunakan secara bersama-sama oleh komputer yang tergabung dalam jaringan tersebut. Satu hal yang paling penting dari jaringan dan koneksi ke internet untuk keperiuan pembelajaran, ialah keandalannya agar bisa dipergunakan setiap saat selama 24 jam dengan tingkat gangguan ataupun kegagalan yang sangat minimal.
Jaringan yang umum dipergunakan ialah model jaringan client/server. Model ini memisahkan secara jelas, komputer mana yang memberikan layanan (server) dan komputer-komputer mana yang mendapat layanan (client). Agar server dan client bisa berkomunikasi diperlukan server program/software dan client program/software.Dari sisi cara menghubungkan server dengan client, ada tiga pilihan tipologi yang bisa digunakan yaitu tipologi bus, tipologi ring dan tipologi star / hub.Untuk mengembangkan, mengoperasikan dan merawat inirastruktur tersebut perlu diperhatikan empat aspek dari faktor teknologi yaitu client (software dan hardware), server (software dan hardware), mode distribusi dan dukungan teknik (McCormack, 1998 ).
B. Media
1. Definisi Media
Media merupakan alat yang harus ada apabila kita ingin memudahkan sesuatu dalam pekerjaan. Media merupakan alat Bantu yang dapat memudahkan pekerjaan. Setiap orang pasti ingin pekerjaan yang dibuatnya dapat diselesaikan dengan baik dan dengan hasil yang memuaskan.
Kata media itu sendiri berasal dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari kata “ medium “ yang berarti “ pengantar atau perantara “, dengan demikian dapat diartikan bahwa media merupakan wahana penyalur informasi belajar atau penyalur pesan.
Kata media berasal dari bahasa Latin Medius yang secara harfiah berarti tengah, perantara, atau pengantar. Tetapi secara lebih khusus, pengertian media dalam proses pembelajaran diartikan sebagai alat-alat grafis, fotografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal. Media juga dapat diartikan sebagai “segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menyalurkan pesan, merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa, sehingga dapat terdorong terlibat dalam proses pembelajaran”. Gagne mengartikan media sebagai “berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar”. Heinich, Molenda, Russel (1996:8) menyatakan bahwa : “A medium (plural media) is a channel of communication, example include film, television, diagram, printed materials, computers, and instructors. (Media adalah saluran komunikasi termasuk film, televisi, diagram, materi tercetak, komputer, dan instruktur).
Arief S. Sadiman ( 1984:6 ) mengatakan bahwa media “ adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar seperti film, buku dan kaset “.
Dari pandangan yang ada di atas dapat dikatakan bahwa media merupakan alat yang memungkinkan peserta didik untuk mengerti dan memahami sesuatu dengan mudah dan dapat untuk mengingatnya dalam waktu yang lama dibangdingkan dengan penyampaian materi pelajaran dengan cara tatap muka dan ceramah tanpa alat bantuan.
Kit Lay Bourne ( 1985 : 82 ) menyatakan bahwa “ penggunaan media tidak harus membawa bungkusan berita-berita semua, siswa cukup dapat mengawasi suatu berita.” Dari pendapat tersebut dapat dihubungkan bahwa penyampaian materi pelajaran dengan cara komunikasi masih dirasakan adanya penyimpangan pemahaman oleh siswa. Masalahnya adalah bahwa siswa terlalu banyak menerima sesuatu ilmu dengan verbalisme. Apalagi dalam proses belajar mengajar yang tidak menggunakan media dimana kondisi siswa tidak siap, akan memperbesar pekuang terjadinya verbalisme.
Media yang difungsikan sebagai sumber belajar bila dilihat dari pengertian harfiahnya juga terdapat manusia didalamnya, benda, ataupun segala sesuatu yang memungkinkan untuk anak didik memperoleh informasi dan pengetahuan yang berguna bagi anak didik dalam pembelajaran, dan bagaimana dengan adanya media berbasis TIK tersebut, khususnya menggunakan presntasi power point dimana anak didik mempunyai keinginan untuk maju, dan juga mempunyai kreatifitas yang tinggi dan memuaskan dalam perkembangan mereka di kehidupan kelak.
Sasaran penggunaan media adalah agar anak didik mampu mencipatakan sesuatu yang baru dan mampu memanfaatkan sesuatu yang telah ada untuk dipergunakan dengan bentuk dan variasi lain yang berguna dalam kehidupannya,. Dengan demikian mereka dengan mudah mengerti dan mamahami materi pelajaran yang disampaikan oleh guru kepada mereka.
Menurut Soeparno ( 1987:8 ) menyebutkan ada beberapa alasan memilih media dalam proses belajar mengajar, yakni :
a. Ada berbagai macam media yang mempunyai kemungkinan dapat kita pakai
di dalam proses belajar mengajar,
b. Ada media yang mempunyai kecocokan untuk menyampaikan informasi
tertentu
c. Ada perbedaan karakteristik setiap media
d. Ada perbedaan pemakai media tersebut
e. Ada perbedaan situasi dan kondisi tempat media dipergunakan.
Bertitik tolak dari pendapat tersebut, jelaslah bahwa memilih media tidak mudah. Media yang akan digunakan harus memperhatikan beberapa ketentuan dengan pertimbangan bahwa penggunaan media harus benar-benar berhasil guna dan berdaya guna untuk meningkatkan dan memperjelas pemahaman siswa
AECT (Assosiation of Education and Communication Technology, 1977), memberikan batasan media sebagai segala bentuk saluran yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi. NEA (National Education Assosiation) memberikan batasan media sebagai bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak, audio visual, serta peralatanya.Dari berbagai batasan di atas dapat dirumuskan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk meyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, dapat membangkitkan semangat, perhatian, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses pembelajaran pada diri siswa.
2.Karakteristik Media Pembelajaran
Ciri-ciri khusus media pembelajaran berbeda menurut tujuan dan pengelompokanya. Ciri-ciri media dapat di lihat menurut kemampuanya membangkitkan rangsangan pada indera penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan pengecapan. Maka ciri-ciri umum media pembelajaran adalah bahwa media itu dapat diraba, dilihat, didengar, dan diamati melalui panca indera. Di samping itu ciri-ciri media juga dapat dilihat menurut harganya, lingkup sasaranya, dan kontrol oleh pemakai.
Tiap-tiap media mempunyai karakteristik yang perlu dipahami oleh pemakainya. Dalam memilih media, orang perlu memperhatikan tiga hal, yaitu :
1. Kejelasan maksud dan tujuan pemelihian tersebut
2. Sifat dan ciri-ciri media yang akan dipilih
3. Adanya sejumlah media yang dapat dibandingkan karena pemilihan media pada dasarnya adalah proses pengambilan keputusan akan adanya alternatif-alternatif pemecahan yang dituntut oleh tujuan
3. Jenis-Jenis Media Pembelajaran
Menurut Heinich, Molenda, Russel (1996:8) jenis media yang lazim dipergunakan dalam pembelajaran antara lain : media nonproyeksi, media proyeksi, media audio, media gerak, media komputer, komputer multimedia, hipermedia, dan media jarak jauh.
Jenis media dalam pembelajaran adalah :
1. Media grafis seperti gambar, foto, grafik, bagan, diagram, kartun, poster, dan komik.
2. Media tiga dimensi yaitu media dalam bentuk model padat, model penampang, model susun, model kerja, dan diorama.
3. Media proyeksi seperti slide, film stips, film, dan OHP
4. Lingkungan sebagai media pembelajaran
4. Kriteria Pemilihan Media Pembelajaran
Media pembelajaran adalah suatu cara, alat, atau proses yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari sumber pesan kepada penerima pesan yang berlangsung dalam proses pendidikan. Ramiszowski mengungkapkan “media” as the carriers on messages, from some transmitting source which may be a human being or inanimate object), to the receiver of the message (which in our case is the learner). Penggunaan media dalam pembeljaran atau disebut juga pembelajaran bermedia dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa.
Media pembelajaran memiliki beberapa nilai praktis diantaranya:
a) Media pembelajaran dapat mengatasi perbedaan pengalaman siswa.
b) Media pembelajaran dapat membangkitkan semangat belajar yang baru dan membangkitkan motivasi serta merangsang kegiatan siswa dalam belajar.
c) Media pembelajaran dapat mempengaruhi abstraksi.
d) Media pembelajaran dapat memperkenalkan, memperbaiki, meningkatkan, dan memperjelas pengertian konsep dan fakta.
e) Media dapat membantu mengatasi keterbatasan indera manusia.
f) Media dapat mengatasi kendala keterbatasan ruang dan waktu.
g) Media dapat menyajikan obyek pelajaran berupa benda atau peristiwa langka dan berbahaya ke dalam kelas.
(Rahadi, 2003 ; 18-19)
Menurut wilkinson, ada beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam memilih media pembelajaran, yakni :
a. Tujuan
Media yang dipilih hendaknya menunjang tujuan pembelajaran yang dirumuskan. Tujuan yang dirumuskan ini adalah kriteria yang paling cocok, sedangkan tujuan pembelajaran yang lain merupakan kelengkapan dari kriteria utama.
b. Ketepatgunaan
Jika materi yang akan dipelajari adalah bagian-bagian yang penting dari benda, maka gambar seperti bagan dan slide dapat digunakan. Apabila yang dipelajarai adalah aspek-aspek yang menyakut gerak, maka media film atau video akan lebih tepat. Wilkinson menyatakan bahwa penggunaan bahan-bahan yang bervariasi menghasilkan dan meningkatkan pencapain akademik
c. Keadaan Siswa
Media akan efektif digunakan apabila tidak tergantung dari beda interindividual antara siswa. Misalnya kalau siswa tergolong tipe auditif/visual maka siswa yang tergolong auditif dapat belajar dengan media visual dari siswa yang tergolong visual dapat juga belajar dengan menggunakan media auditif.
d. Ketersediaan Media
Walaupun suatu media dinilai sangat tepat untuk mencapai tuuan pembelajaran, media tersebut tidak dapat digunakan jika tidak tersedia. Menurut wilkinson, media merupakan alat mengajar dan belajar, peralatan tersebut harus tersedia ketika dibutuhkan untuk memenuhi keperluan siswa dan guru.
e. Biaya
Biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh dan menggunakan media, hendaknya benar-benar seimbang dengan hasil-hasil yang akan dicapai
Menurut Canei, R. Springfield, dan Clark., C. (1998 : 62) dasar pemilihan alat bantu visual adalah memilih alat bantu yang sesuai dengan kematangan, minat dan kemampuan kelompok, memilih alat bantu secara tepat untuk kegiatan pembelajaran, mempertahankan keseimbangan dalam jenis alat bantu yang dipilih, menghindari alat bantu yang berelebihan, serta mempertanyakan apakah alat bantu tersebut diperlukan dan dapat mempercepat pembelajaran atau tidak
Media pembelajaran yang baik harus memenuhi beberapa syarat. Media pembelajaran harus meningkatkan motivasi pembelajar. Penggunaan media mempunyai tujuan memberikan motivasi kepada pembelajar. Selain itu media juga harus merangsang pembelajar mengingat apa yang sudah dipelajari selain memberikan rangsangan belajar baru. Media yang baik juga akan mengaktifkan pembelajar dalam memberikan tanggapan, umpan balik dan juga mendorong siswa/peserta didik untuk melakukan praktek-praktek dengan benar.
Ada beberapa kriteria untuk menilai keefektifan sebuah media. Hubbard mengusulkan sembilan kriteria untuk menilainya (Hubbard, 1983). Kreteria pertamanya adalah biaya. Biaya memang harus dinilai dengan hasil yang akan dicapai dengan penggunaan media itu. Kriteria lainnya adalah ketersedian fasilitas pendukung seperti listrik, kecocokan dengan ukuran kelas, keringkasan, kemampuan untuk dirubah, waktu dan tenaga penyiapan, pengaruh yang ditimbulkan, kerumitan dan yang terakhir adalah kegunaan. Semakin banyak tujuan pembelajaran yang bisa dibantu dengan sebuah media semakin baiklah media itu.
Kriteria di atas lebih diperuntukkan bagi media konvensional. Thorn mengajukan enam kriteria untuk menilai multimedia interaktif (Thorn, 1995: 17). Kriteria penilaian yang pertama adalah kemudahan navigasi. Sebuah program harus dirancang sesederhana mungkin sehingga pembelajar bahasa tidak perlu belajar komputer lebih dahulu. Kriteria yang kedua adalah kandungan kognisi, kriteria yang lainnya adalah pengetahuan dan presentasi informasi. Kedua kriteria ini adalah untuk menilai isi dari program itu sendiri, apakah program telah memenuhi kebutuhan pembelajaran si pembelajar atau belum. Kriteria keempat adalah integrasi media di mana media harus mengintegrasikan aspek dan ketrampilan bahasa yang harus dipelajari. Untuk menarik minat pembelajar program harus mempunyai tampilan yang artistik maka estetika juga merupakan sebuah kriteria. Kriteria penilaian yang terakhir adalah fungsi secara keseluruhan. Program yang dikembangkan harus memberikan pembelajaran yang diinginkan oleh pembelajar. Sehingga pada waktu seorang selesai menjalankan sebuah program dia akan merasa telah belajar sesuatu.
C. Internet Sebagai Media Pembelajaran
Penggunaan Internet sebagai media pembelajaran tidak terlepas dari penggunaan komputer sebagai media komplementer dalam aplikasi program internet. Dimana Kemajuan media komputer memberikan beberapa kelebihan untuk kegiatan produksi audio visual. Pada tahun-tahun belakangan komputer mendapat perhatian besar karena kemampuannya yang dapat digunakan dalam bidang kegiatan pembelajaran. Ditambah dengan teknologi jaringan dan internet, komputer seakan menjadi primadona dalam kegiatan pembelajaran.
Media pembelajaran adalah sebuah alat yang berfungsi untuk menyampaikan pesan pembelajaran. Pembelajaran adalah sebuah proses komunikasi antara pembelajar, pengajar dan bahan ajar. Komunikasi tidak akan berjalan tanpa bantuan sarana penyampai pesan atau media.(Ouda, 2008 ).
Pembelajaran yang dibantu komputer dikenal dengan nama CAI yaitu “Computer Assited Instruction” . Prinsip pembelajaran ini menggunakan komputer sebagai alat bantu menyampaikan pelajaran kepada user secara interaktif. Perubahan metode pembelajaran dan pengajaran telah menyebabkan alat yang digunakan menjadi meluas, misalnya: video, audio, slide dan film. CAI merupakan penggunaan komputer secara langsung kepada siswa untuk menyampaikan isi pelajaran, memberikan latihan dan mengetes kemajuan belajar siswa. ( Nurita P, 2008 )
CAI juga bermacam-macam bentuknya bergantung kecakapan pendesain dan pengembang pembelajarannya, bisa berbentuk permainan (games), mengajarkan konsepkonsep abstrak yang kemudian dikonkritkan dalam bentuk visual dan audio yang di-animasikan.Jadi CAI adalah penggunaan komputer sebagai alat bantu dalam dunia pendidikan dan pengajaran. CAI membantu siswa memahami suatu materi dan dapat mengulang materi tersebut berulang kali sampai ia menguasai materi itu. Dalam penggunaan komputer untuk pembelajaran, menurut Hefzalah yang dikutip oleh Ouda menyarankan empat strategi pembelajaran yang dapat diterapkan, yaitu:
1. Praktek dan Latihan
2. Tutorial
3. Simulasi dan Demontrasi
4. Permainan (Games)
Adapun bentuk-bentuk penggunaan komputer sebagai media pembelajaran menurut Rusman terbagi menjadi 2 yakni; sebagai Multimedia prestasi, dan Multimedia interaktif.
a) Multi Media Presentasi
Multimedia presentasi digunakan untuk menjelaskan materi-materi yang sifatnya teoritis, digunakan dalam pembelajaran klasikal dengan group belajar yang cukup banyak diatas 50 orang. Media ini cukup efektif sebab menggunakan multimedia projector yang memiliki jangkauan pancar cukup besar. Kelebihan media ini adalah menggabungkan semua unsur media seperti teks, video, animasi, image, grafik dan sound menjadi satu kesatuan penyajian, sehingga mengakomodasi sesuai dengan modalitas belajar siswa. Program ini dapat mengakomodasi siswa yang memiliki tipe visual, auditrif maupun kinestetik Berbagai perangkat lunak yang memungkinkan presentasi dikemas dalam bentuk multimedia yang dinamis dan sangat menarik. Perkembangan perangkat lunak tersebut didukung oleh perkembangan sejumlah perangkat keras penunjangnya. Salah satu produk yang paling banyak mernberikan pengaruh dalam penyajian bahan presentasi digital saat ini adalah perkernbangan monitor, chard video, sound chard serta perkernbangan proyektor digital (digital image projector) yang memungkinkan bahan presentasi dapat disajikan secara digital untuk bermacam-macam kepentingan dalam berbagai kondisi dan situasi, serta ukuran ruang dan berbagai karakteristik audience. Tentu saja hal ini menyebabkan perubahan besar pada trend metode presentasi saat ini, dan dapat dimanfaatkan untuk mengajarkan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Pengolahan bahan presentasi dengan menggunakan komputer tidak hanya untuk dipresentasikan dengan menggunakan alat presentasi digital dalam bentuk Multimedia projector (seperti LCD, In-Focus dan sejenisnya), melainkan juga dapat dipresentasikan melalui peralatan proyeksi lainnya, seperti over head projector (OHP) dan film slides projector yang sudah lebih dahulu diproduksi. Sehingga lembaga atau instansi yang belum memiliki perangkat alat presentasi digital akan tetapi telah memiliki kedua alat tersebut, dapat memanfaatkan pengolahan bahan presentasi melalui komputer secara maksimal. Dalam sudut pandang proses pembelajaran, presentasi merupakan salah satu metode pembelajaran. Penggunaannya yang menempati frekuensi paling tinggi dibandingkan dengan metode lainnya. Berbagai alat yang dikembangkan, telah
mernberikan pengaruh yang sangat basar bukan hanya pada pengernbangan kegiatan praktis dalam kegiatan presentasi pembelajaran akan tetapi juga pada terori-teori yang mendasarinya. Perkembangan terakhir pada bidang presentasi dengan alat bantu komputer telah menyebabkan perubahan tuntutan penyelenggaraan pembelajaran. Diantaranya tuntutan terhadap peningkatan kemampuan dan keterampilan para guru dalam mengolah bahan-bahan pembelajaran ke dalam media presentasi yang berbasis komputer.
( Rusman , 2007 : 3-4)
b) Multimedia interaktif
CD interaktif dapat digunakan pada pembelajaran di sekolah dasar sebab cukup efektif meningkatkan hasil belajar siswa terutama komputer. Sifat media ini selain interaktif juga bersifat multi media terdapat unsur-unsur media secara lengkap yang meliputi sound, animasi, video, teks dan grafis. Beberapa model multimedia interaktif berbasis komputer yaitu :
Model Drill
Model drills dalam CBI pada dasarnya merupakan salah satu starategi pembelajaran yang bertujuan memberikan pengalaman belajar yang lebih kongkrit melalui penciptan tiruan-tiruan bentuk pengalaman yang mendekati suasana yang sebenarnya. Biasanya dalam bentuk latihan soal-soal.
Model Tutorial
Program CBI tutorial dalam merupakan program pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran dengan menggunakan perangkat lunak berupa program komputer yang berisi tujuan, materi pelajaran dan evaluasi pembelajaran. Metode Tutorial dalam CBI pola dasarnya mengikuti pengajaran Berprograma tipe Branching dimana informasi/mata pelajaran disajikan dalam unit-unit kecil, lalu disusul dengan pertanyaan dan respon jawaban dari komputer..
Model Simulasi
Model simulasi dalam CBI pada dasarnya merupakan salah satu starategi pembelajaran yang bertujuan memberikan pengalaman belajar yang lebih kongkrit melalui penciptaan simulasi-simulasi dalam bentuk pengalaman yang mendekati suasana yang sebenarnya.
Model Games:
Model permainan ini dikembangkan berdasarkan atas “pembelajaran yang menyenangkan”, dimana peserta didik akan dihadapkan pada beberapa petunjuk dan aturan permainan. Dalam konteks pembelajaran sering disebut dengan Instructional Games (Eleanor.L Criswell, 1989:20)
Penggunaan komputer dalam proses belajar membuat siswa dapat melakukan kontrol terhadap aktivitas belajarnya. Penggunaan komputer dalam lembaga pendidikan jarak jauh memberikan keleluasaan untuk menentukan kecepatan belajar dan memilih urutan kegiatan belajar sesuai dengan kebutuhan.
Kemampuan komputer untuk menayangkan kembali informasi yang diperlukan oleh pemakainya, yang diistilahkan dengan "kesabaran komputer", dapat membantu siswa yang memiliki kecepatan belajar lambat. Dengan kata lain, komputer dapat menciptakan iklim belajar yang efektif bagi siswa yang lambat (slow learner), tetapi juga dapat memacu efektivitas belajar bagi siswa yang lebih cepat (fast learner).Disamping itu, komputer dapat diprogram agar mampu memberikan umpan balik terhadap hasil belajar dan memberikan pengukuhan (reinforcement) terhadap prestasi belajar siswa. Dengan kemampuan komputer untuk merekam hasil belajar pemakainya (record keeping), komputer dapat diprogram untuk memeriksa dan memberikan skor hasil belajar secara otomatis. Komputer juga dapat dirancang agar dapat memberikan preskripsi atau saran bagi mahasiswa untuk melakukan kegiatan belajar tertentu. Kemampuan ini mengakibatkan komputer dapat dijadikan sebagai sarana untuk pembelajaran yang bersifat individual (individual learning).( Heinich 1986: )
Keuntungan pembelajaran menggunakan media komputer antara lain :
1. Pembelajaran berbantuan komputer bila dirancang dengan baik, merupakan media pembelajaran yang efektif, dapat memudahkan dan meningkatkan kualitas pembelajaran
2. Meningkatkan motivasi belajar siswa
3. Mendukung pembelajaran individual sesuai kemampuan siswa
4. Dapat digunakan sebagai penyampai balikan langsung
5. Materi dapat diulang-ulang sesuai keperluan, tanpa menimbulkan rasa jenuh
( Sirojudin 2007 : 3 )
Internet merupakan jaringan global yang menghubungkan beribu bahkan berjuta jaringan komputer (local/wide area network) dan komputer pribadi (stand alone), yang memungkinkan setiap komputer yang terhubung kepadanya bisa melakukan komunikasi satu sama lain (Brace, 1997). Jaringan ini bukan merupakan suatu organisasi atau institusi, karena tak satu pihakpun yang mengatur dan memilikinya.
Heinich dkk. (1986) mengemukakan sejumlah kelebihan dan juga kelemahan yang ada pada medium komputer. Aplikasi komputer sebagai alat bantu proses belajar memberikan beberapa keuntungan. Komputer memungkinkan mahasiswa belajar sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya dalam memahami pengetahuan dan informasi yang ditayangkan.
Penggunaan komputer dalam proses belajar membuat siswa dapat melakukan kontrol terhadap aktivitas belajarnya. Penggunaan komputer dalam lembaga pendidikan jarak jauh memberikan keleluasaan untuk menentukan kecepatan belajar dan memilih urutan kegiatan belajar sesuai dengan kebutuhan.
Kemampuan komputer untuk menayangkan kembali informasi yang diperlukan oleh pemakainya, yang diistilahkan dengan "kesabaran komputer", dapat membantu siswa yang memiliki kecepatan belajar lambat. Dengan kata lain, komputer dapat menciptakan iklim belajar yang efektif bagi siswa yang lambat (slow learner), tetapi juga dapat memacu efektivitas belajar bagi siswa yang lebih cepat (fast learner).Disamping itu, komputer dapat diprogram agar mampu memberikan umpan balik terhadap hasil belajar dan memberikan pengukuhan (reinforcement) terhadap prestasi belajar siswa.
Dengan kemampuan komputer untuk merekam hasil belajar pemakainya (record keeping), komputer dapat diprogram untuk memeriksa dan memberikan skor hasil belajar secara otomatis. Komputer juga dapat dirancang agar dapat memberikan preskripsi atau saran bagi mahasiswa untuk melakukan kegiatan belajar tertentu. Kemampuan ini mengakibatkan komputer dapat dijadikan sebagai sarana untuk pembelajaran yang bersifat individual (individual learning).
Kelebihan komputer yang lain adalah kemampuan dalam mengintegrasikan komponen warna, musik dan animasi grafik (graphic animation). Hal ini menyebabkan komputer mampu menyampaikan informasi dan pengetahu-an dengan tingkat realisme yang tinggi. Hal ini me-nyebabkan program komputer sering dijadikan sebagai sarana untuk melakukan kegiatan belajar yang bersifat simulasi. Lebih jauh, kapasitas memori yang dimiliki oleh komputer memungkinkan penggunanya menayangkan kembali hasil belajar yang telah dicapai sebelumnya. Hasil belajar sebelumnya ini dapat digunakan oleh siswa sebagai dasar pertimbangan untuk melakukan kegiatan belajar selanjutnya.
Keuntungan lain dari penggunaan komputer dalam proses belajar dapat meningkatkan hasil belajar dengan penggunaan waktu dan biaya yang relatif kecil. Contoh yang tepat untuk ini adalah program komputer simulasi untuk melakukan percobaan pada mata kuliah sains dan teknologi. Penggunaan program simulasi dapat mengurangi biaya bahan dan peralatan untuk melakukan percobaan. (Benny A. Pribadi dan Tita Rosita, 2002:11-12)
Lee merumuskan paling sedikit ada delapan alasan pemakaian komputer sebagai media pembelajaran (Lee, 1996) Alasan-alasan itu adalah: pengalaman, motivasi, meningkatkan pembelajaran, materi yang otentik, interaksi yang lebih luas, lebih pribadi, tidak terpaku pada sumber tunggal, dan pemahaman global.
Dengan tersambungnya komputer pada jaringan internet maka pembelajar akan mendapat pengalaman yang lebih luas. Pembelajar tidak hanya menjadi penerima yang pasif melainkan juga menjadi penentu pembelajaran bagi dirinya sendiri. Pembelajaran dengan komputer akan memberikan motivasi yang lebih tinggi karena komputer selalu dikaitkan dengan kesenangan, permainan dan kreativitas. Dengan demikian pembelajaran itu sendiri akan meningkat.
Pembelajaran dengan komputer akan memberi kesempatan pada pembelajar untuk mendapat materi pembelajaran yang otentik dan dapat berinteraksi secara lebih luas. Pembelajaran pun menjadi lebih bersifat pribadi yang akan memenuhi kebutuhan strategi pembelajaran yang berbeda-beda.
Internet merupakan jaringan global yang menghubungkan beribu bahkan berjuta jaringan komputer (local/wide area network) dan komputer pribadi (stand alone), yang memungkinkan setiap komputer yang terhubung kepadanya bisa melakukan komunikasi satu sama lain (Brace, 1997). Jaringan ini bukan merupakan suatu organisasi atau institusi, karena tak satu pihakpun yang mengatur dan memilikinya.
Brace juga menyebutkan Internet sebagai suatu "kesepakatan", karena untuk bisa saling berhubungan dan berkomunikasi setiap komputer harus menggunakan protokol standar yaitu TCP/IP ( Transmission Control Protocol/Internet Protocol) yang disepakati bersama. Dengan kata lain meskipun suatu komputer terhubung ke dalam jaringan Internet, tetapi kalau ia tidak menggunakan standar komunikasi pengiriman dan penerimaan yang telah disepakati tersebut, tetap saja ia tidak bisa melakukan komunikasi.
( Hardjito, 2007 )
Fasilitas aplikasi Internet cukup banyak sehingga mampu memberikan dukungan bagi keperluan militer, kalangan akademisi, kalangan media massa, maupun kalangan bisnis. Fasilitas tersebut seperti Telnet, Gopher, WAIS, e-mail, Mailing List (milis), Newsgroup, File Transfer Protocol (FTP), Internet Relay Chat, World Wide Web (WWW) ( Purbo ; 2007 )
Di antara keseluruhan fasilitas Internet tersebut terdapat lima aplikasi standar Internet yang dapat dipergunakan untuk keperluan pendidikan (Purbo, 1997), yaitu e-mail, Mailing List (milis), Newsgroup, File Transfer Protocol (FTP), dan World Wide Web (WWW). Adapun kegunaan dari masing-masing fasilitas tersebut adalah sebagai berikut:
E-mail
E-mail oleh para pengguna komputer di Indonesia juga disebut dengan surat elektronik, merupakan fasilitas yang paling sederhana, paling mudah penggunaannya dan dipergunakan secara luas oleh pengguna komputer.
E-mail merupakan fasilitas yang memungkinkan dua orang atau lebih melakukan komunikasi yang bersifat tidak sinkron (asynchronous communication mode) atau tidak bersifat real time. Tetapi justru karakteristik seperti itulah yang menjadikan e-mail menjadi sarana komunikasi paling murah.
MailingList(mills)
Mailing list merupakan perluasan penggunaan e-mail, dengan fasilitas ini pengguna yang telah memiliki alamat e-mail bisa bergabung dalam suatu kelompok diskusi, dan melalui milis ini bisa dilakukan diskusi untuk memecahkan suatu permasalahan secara bersama-sama, dengan saling memberikan saran pemecahan (brain storming). Komunikasi melalui milis ini memiliki sifat yang sama dengan e-mail, yaitu bersifat tidak sinkron (asynchronous communication mode) atau bersifat un-real time.
FileTransferProtocol(FTP)
FTP adalah fasilitas Internet yang memberikan kemudahan kepada pengguna untuk mencari dan mengambil arsip file (down load) di suatu server yang terhubung ke Internet pada alamat tertentu yang menyediakan berbagai arsip (file), yang memang diizinkan untuk diambil oleh pengguna lain yang membutuhkannya. File ini bisa berupa hasil penelitian, artikel-artikel jurnal dan lain-lain.
Di samping itu FTP juga dipergunakan untuk meng-upload file materi situs (homepage) sehingga bisa diakses oleh pengguna dari seluruh pelosok dunia.
Newsgroup
Newsgroup dalam Internet adalah fasilitas untuk melakukan komunikasi antara dua orang atau lebih secara serempak dalam pengertian waktu yang sama (real time), dan dengan demikian berarti komunikasi yang dilakukan adalah komunikasi yang sinkron (synchronous communication mode). Bentuk pertemuan ini lazim disebut sebagai konferensi, dan fasilitas yang digunakan bisa sepenuhnya multimedia (audio-visual) dengan mengggunakan fasilitas video conferencing, ataupun text saja atau text dan audio dengan menggunakan fasilitas chat (IRC).
world wide web (www)
www merupakan kumpulan koleksi besar tentang berbagai macam dokumentasi yang tersimpan dalam berbagai server di seluruh dunia, dan dokumentasi tersebut dikembangkan dalam format hypertext dan hypermedia, dengan menggunakan Hypertext Markup Language (HTML) yang memungkinkan terjadinya koneksi (link) dokumen yang satu dengan yang lain atau bagian dari dokumen yang satu dengan bagian yang lainnya, baik dalam bentuk teks, visual dan lain-lainnya.
www bersifat multimedia karena merupakan kombinasi dari teks, foto, grafika, audio, animasi dan video, dengan demikian maka WWW pada saat ini merupakan puncak pencapaian yang tidak mungkin dicapai oleh media-media yang tergabung di dalamnya secara sendiri-sendiri.( Hardjito 2007)
Untuk bisa memanfaatkan seluruh fasilitas Internet tersebut, seorang pengguna seyogyanya cukup mahir dalam menggunakan program browser seperti Microsoft Internet Explorer (MSIE) dan Netscape, program e-mail seperti Outlook Express yang ter-bundle dengan. MSIE, atau program lain yang terpisah seperti Eudora dan lain-lain. la juga hendaknya memiliki kemampuan dalam menggunakan program pencarian atau dikenal dengan nama search engine yang tentunya akan lebih baik apabila dilengkapi pengetahuan tentang metode Boelan. Di samping itu seorang pengguna juga sebaiknya menguasai program untuk chat dalam rangka melakukan komunikasi realtime dengan orang lain dan FTP yang berguna untuk men-download dan meng-upload sumber-sumber informasi, serta program-progarm pendukung lain untuk keperluan compress-decompress file (seperti WinZip, PKZip, serta beberapa aplikasi berbasis web lainnya).
Bentuk pemanfaatan internet
Menurut Haughey yang dikutip oleh Hardjito mengemukakan ada tiga bentuk sistem pembelajaran melalui Internet yang layak dipertimbangkan sebagai dasar pengembangan sistem pembelajaran dengan mendayagunakan internet yaitu: (1) Web Course, (2) Web Centric Course, dan (3) Web Enhanced Course.
1.Web Course,
Web Course merupakan penggunaan internet untuk keperluan pembelajaran, di mana seluruh bahan belajar, diskusi, konsultasi, penugasan, latihan dan ujian sepenuhnya disampaikan melalui internet. Siswa dan guru sepenuhnya terpisah, namun hubungan atau komunikasi antara peserta didik dengan pengajar bisa dilakukan setiap saat. Komunikasi lebih banyak dilakukan secara ansynchronous daripada secara synchronous. Bentuk web course ini tidak memerlukan adanya kegiatan tatap muka baik untuk keperluan pembelajaran maupun evaluasi dan ujian, karena semua proses belajar mengajar sepenuhnya dilakukan melalui penggunaan fasilitas internet seperti e-mail, chat rooms, bulletin board dan online conference.
Di samping itu sistem ini biasanya juga dilengkapi dengan berbagai sumber belajar (digital), baik yang dikembangkan sendiri maupun dengan menggunakan berbagai sumber belajar dengan jalan membuat hubungan (link) ke berbagai sumber belajar yang sudah tersedia di internet, seperti database statistic berita dan informasi, e-book, perpustakaan elektronik, dan lain-lain.
Bentuk pembelajaran model ini biasanya dipergunakan untuk keperluan pendidikan ajarak jauh (distance education/learning). Aplikasi bentuk ini antara lain virtual campus/university, ataupun lembaga pelatihan yang menyelenggarakan pelatihan-pelatihan yang bisa diikuti secara jarak jauh dan setelah lulus ujian akan diberikan sertifikat.
2.Web Centric Course,
Web Centric Course, merupakan pembelajaran berbasis web di mana sebagian bahan belajar, diskusi, konsultasi, penugasan, dan latihan disampaikan melalui internet, sedangkan ujian dan sebagian konsultasi, diskusi dan latihan dilakukan secara tatap muka. Walaupun dalam proses belajarnya sebagian dilakukan dengan tatap muka yang biasanya berupa tutorial, tetapi prosentase tatap muka tetap lebih kecil dibandingkan dengan prosentase proses belajar melalui internet.
Dengan bentuk ini maka pusat kegiatan belajar bergeser dari kegiatan kelas menjadi kegiatan melalui internet Sama dengan bentuk web course, siswa dan guru sepenuhnya terpisah tetapi pada waktu-waktu yang telah ditetapkan mereka bertatap muka, baik di sekolah ataupun di tempat-tempat yang telah ditentukan.
Penerapan bentuk ini sebagaimana yang dilakukan pada perguruan tinggi-perguruan tinggi yang menyiapkan sistem belajar secara off campus.
3.Web Enhanced Course,
Web Enchanced Course yaitu pemanfaatan internet untuk pendidikan, untuk menunjang peningkatan kualitas kegiatan belajar mengajar di kelas. Bentuk ini juga dikenal dengan nama Web lite course, karena kegiatan pembelajaran utama adalah tatap muka di kelas.( Purbo ; 1996 )
Peranan internet di sini adalah untuk menyediakan sumber-sumber yang sangat kaya dengan memberikan alamat-alamat atau membuat hubungan (link) ke berbagai sumber belajar yang sesuai yang bisa diakses secara online, untuk meningkatkan kuantitas dan memperluas kesempatan berkomunikasi antara pengajar dengan peserta didik secara timbal balik. Dialog atau komunikasi tersebut adalah untuk keperluan berdiskusi, berkonsultasi, maupun untuk bekerja secara kelompok. Komunikasi timbal balik bisa dilakukan antara siswa dengan siswa, siswa dengan teman di luar kelas/sekolah, siswa dengan kelompok, siswa dengan guru maupun guru dengan siswa atau dengan kelompok.
Berbeda dengan kedua bentuk sebelumnya, pada bentuk Web Enhanced Course ini prosentase pembelajaran melalui internet justru lebih sedikit dibandingkan dengan prosentase pembelajaran secara tatap muka, karena penggunaan internet adalah hanya untuk mendukung kegiatan pembelajaran secara tatap muka.
Bentuk ini bisa pula dikatakan sebagai langkah awal bagi institusi pendidikan yang akan menyelenggarakan pembelajaran berbasis internet, sebelum menyelenggarakan pembelajaran dengan internet secara lebih kompleks, seperti Web Centric Course ataupun Web course.Baik pada model ataupun Web course, Web Centric Course ataupun Web Enhanced Course, terdapat beberapa komponen aktivitas seperti informasi, bahan belajar, pembelajaran atau komuniaksi, penilaian yang bervariasi.
Pembelajaran melalui internet di Sekolah Dasar dapat diberikan dalam beberapa format di antaranya adalah (Wulf, 1996 : ):
(1) Electronic mail (delivery of course materials, sending in assignments, getting and giving feedback, using a course listserv., i.e., electronic discussion group,)
(2) Bulletin boards/newsgroups for discussion of special group,
(3) Downloading of course materials or tutorials,
(4) Interactive tutorials on the Web, dan
(5) Real time, interactive conferencing using MOO (Multiuser Object Oriented) systems or Internet Relay Chat.
Electronic mail ( Penggunaan E-Mail)
Dalam format Electronical Mail (E-Mail), internet dijadikan tempat mengumpulkan tugas-tugas yang sebelumnya telah diberikan pada saat proses pembelajaran secara klasikal. Pembelajaran dengan format ini lebih dominan terhadap fungsi E-Mail sebagai kolektor tugas-tugas siswa yang telah diberikan guru.
Bulletin boards/newsgroups for discussion of special group
Format ini menyajikan sebuah forum diskusi khusus yang disajikan secara online melalui internet. sehingga siswa dapat berkonsultasi tentang penyelesaian sebuah tugas tanpa harus bertatap muka secara langsung dengan guru/tutor. Fasilitas newsgroups akan memudahkan mengerjakan tugas-tugas sekolah yang baik yang bersifat online maupun tidak. Karena siswa dapat mencurahkan segala permasalahan seputar tugas yang diberikan guru.
Downloading of course materials or tutorials
Format ini merupakan proses download materi pembelajaran yang disajikan secara online di internet kemudian dikerjakan secara masing-masing. Dapat berupa file artikel, maupun file program seperti ensiklopedia, program tutorial online,dan lain-lain. Format tersebut memudahkan siswa untuk melaksanakan tugas secara mandiri.
Interactive tutorials on the Web
Program/format tutorial ini lebih berorientasi pada kemampuan siswa untuk menyimak serta melaksanakan pembelajaran secara online melalui internet. Materi pembelajaran bagi siswa yang bersifat interaktif di sajikan secara online di internet. pembelajaran dengan format seperti ini memerlukan penggunaan internet secara dominan.
Real time, interactive conferencing using MOO (Multiuser Object Oriented) systems or Internet Relay Chat
Dalam format pembelajaran model ini internet dipergunakan sebagai media teleconference ( tatap muka secara online). Dengan teleconference tersebut, seorang siswa/beberapa siswa dapat melaksanakan proses pembelajaran dengan bertatap muka langsung dengan rekan sesama siswa, serta dengan guru/tutor melalui perantaraan media internet.
D. Prestasi Kognitif
1. Definisi Prestasi Kognitif
Prestasi adalah apa yang telah dapat diciptakan dari hasil pekerjaan yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan bekerja (Indrawan, 1999:216). Di dalam dunia pendidikan,prestasi merupakan hasil kerja yang dicapai siswa setelah sekian lama menempuh dan menerima pelajaran,dengan demikian menurut Muhinnin Syah (2003:141) menyebut sebagai kinerja akademik.
Pada prinsipnya, pengungkapan hasil belajar atau prestasi khususnya dalam dunia pendidikan selalu menitikberatkan pada tiga ranah kejiwaan yaitu psikomotor, kognitif, dan afektif. Untuk psikomotor dan afektif, secara teori akan dapat berjalan setelah fungsi ranah kognitif tercapai. Dengan demikian fungsi ranah kognitif pada akhirnya adalah untuk mengisi pada ranah yang lain yaitu psikomotor dan afektif (Muhibbin Syah, 2003:135)
Istilah kognitif berasal dari cognition, yaitu perolehan, penataan dan penggunaan pengamatan (Muhibbin Syah, 2003:60). Dalam perkembangan selanjutnya menjadi populer sebagai salah satu domain binaan dalam pendidikan. Merupakan wilayah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan keyakinan. Ranah jiwa ini berdomisili di otak dan juga berhubungan dengan konasi dan afeksi (Muhibbin Syah, 2000:60)
Dengan demikian Prestasi kognitif merupakan kinerja akademik yang bertumpu pada ranah cipta yang berpusat di otak atau intelegensi (IQ).
2. Indikator Prestasi kognitif
Menurut Bloom sebagaimana yang dikutip oleh Uzer usman (1993:111) prestasi belajar ranah kognitif memiliki enam tingkatan atau indicator yaitu :
a.Pengetahuan
Pengetahuan didefinisikan sebagai ingatan terhadap materi-materi yang telah dipelajari sebelumnya, mencakup mengingat semua hal, dari fakta-fakta yang sangat khusus sampai pada teori yang sangat kompleks, (M.Ali, 1992: 42) Kata-kata operasional yang biasa dipergunakan dalam aspek pengetahuan adalah: (1). Membandingkan, (2). Menunjukkan; (3) menghubungkan, (Muhibbin Syah, 1997: 151)
b. Pemahaman
Pemahaman didefinisikan sebagai kemampuan menyerap arti dari materi atau bahan yang dipelajari, (U. Usman dan L. Setiawati, 1999: 112). Kata-kata operasional yang dipergunakan dalam aspek pemahaman adalah: (1) Membedakan. (2) memperkirakan, (3) Menjelaskan; (4) Menulis kembali dan sebagainya (U.Usman 1999:38)
c. Aplikasi
Aplikasi adalah sebagai kemampuan siswa dalam menggunakan konsep-konsep abstrak, pada objek-objek khusus dan konkrit (A.Tafsir, 1997:50). Kata-kata yang dapat dipergunakan dalam aspek aplikasi adalah: (1) menghitung; (2) mendemontrasikan, (3) memecahkan masalah, (4) menggunakan (U.Usman, 1999: 38).
d. Analisis
Dimaksudkan sebagai kemampuan untuk menguraikan suatu materi atau bahan kedalam bagian bagiannya, sehingga struktur organisasinya dapat dipahami, (M.Ali, 1992: 43). Kata-kata yang dipergunakan dalam aspek ini adalah: (1) Menguraikan; (2) Mengklarifikasikan; (3) Memilih, (Muhibbin.Syah, 1997:151)
e. Sintesis
Sintesis adalah kemampuan belajar merakit bagian-bagian menjadi satu keutuhan, (A.Tafsir, 1992:51). Kata-kata operasional yang dapat digunakan dalam aspek ini adalah: (1) Menyususn kembali; (2) Menghubungkan; (3) menceritakan dan lain-lain, (U.Usman. 1999: 38).
f. Evaluasi
Dimaksudkan sebagai kemampuan untuk mempertimbangkan nilai suatu materi (pernyataan, novel, laporan dan penelitian) untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Adapun kata kerja yang dapat dipergunakan pada aspek ini adalah: (1) Membandingkan, (2) Menafsirkan, (3) Menghubungkan; (4) Meringkaskan, (U.Usman, 1999:38)
Hasil belajar yang berbentuk evaluasi ditunjukan dengan kemampuan memberikan kaputusan tentang nilai sesuatu berdasarkan judgement yang dimilikinya. Evaluasi dikategorikan sebagai hasil belajar yang paling tinggi yang terkandung dari aspek kognitif, karena dari hasil belajar yang berbentuk evaluasi ini tekanannya pada pertimbangan suatu nilai, mengenai baik buruk, tepat tidaknya dan benar salahnya suatu persoalan berdasarkan pada kriteria tertentu.
2. Alat ukur prestasi kognitif
Proses belajar mengajar merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan (interpendensi) dalam pencapaian pendidikan. Tolok ukur keberhasilan tujuan pendidikan karena adanya evaluasi, yaitu dijadikan sebagai umpan balik dari proses yang telah dilakukan. Pengukuran prestasi kognitif juga merupakan rangkaian dari evaluasi pembelajaran yaitu untuk meninjau sejauh mana kemajuan siswa telah diraih pada ranah kognitif.
Dalam ranah kognitif alat ukur yang sering digunakan adalah berupa tes prestasi atau tes hasil belajar, tes intelegensi, dan tes potensi intelektual. (Sumadi Suryabrata, 2000: 48).
Evaluasi yang dilakukan oleh guru adalah evaluasi hasil belajar yang berfungsi sebagai feedback dalam rangka memperbaiki proses belajar mengajar, tahapan-tahapan yang dapat dilakukan oleh guru adalah:
1. Analisis kurikulum
Sebagai acuan untuk membuat rancangan evaluasi, karena dari sanalah guru memberikan pengajaran dan dari itu pulalah guru mengevaluasinya. Yang mesti diperhatikan dalam analisis kurikulum (GBPP) adalah:
a. Analisis tujuan yang meliputi tujuan intruksional, kurikuler dan pembelajaran umum (TPU).
b. Meneliti pokok bahasan yang disajikan dalam test. Hal ini akan mempengaruhi bentuk tingkatan kesukaran dll.
2. Analisis buku pelajaran
Tujuannya adalah untuk :
a. menetapkan materi yang akan diujikan sebagai sumber pembuatan soal
b. menentukan kedalaman isi materi yang akan diujikan
c. agar pembuatan soal tidak menyimpang dari materi yang telah diajarkan.
3. Merumuskan tujuan test.
Tujuan adanya evaluasi adalah sebagai umpan balik, mengukur kemampuan, penempatan dan untuk siswa yang memerlukan bantuan khusus. Tujuan-tujuan tersebut akan dapat mempengaruhi ada tes yang akan dilakukan.
4. Menentukan atau menyusun kisi-kisi
Tujuan dari dilakukannya kisi-kisi adalah supaya materi tes betul-betul sesuai dengan materi pelajaran atau satuan bahasan, aspek intelektual, bentuk soal serta jumlah proporsi soal. Semua itu telah ditetapkan dahulu dalam kisi-kisi.
5. Penulisan soal
Setelah kisi-kisi terbentuk, selanjutnya adalah penulisan soal sesuai dengan kisi-kisi yang telah dibuat.
a. buatlah soal sesuai dengan kisi-kisi
b. buatlah petunjuk cera pengerjaannya agar dapat dipahami siswa
c. siapkan kunci jawabannya
d. susunlah standar norma penilaian yang akan dipakai
6. Reproduksi Soal
Setelah soal tertulis selanjutnya adalah memperbanyak soal sesuai dengan jumlah peserta yang mengikuti tes tersebut, dalam penggandaan ini harus dijaga kehati-hatiannya, jangan sampai terjadi kebocoran soal.
7. Uji Coba tes
Sebagai langkah terakhir adalah mengadakan uji coba soal tujuannya adalah untuk mengetahui kelemahan-kelemahan dari kontruksi soal yang telah dibuat, namun harus diingat dalam uji coba soal harus dilakukan diluar siswa yang akan dites untuk menjaga kebocoran soal. Dalam test prestasi, ada beberapa bentuk yaitu terdiri dari tes lisan dan tes tulisan yang terdiri dari pilihan ganda, bentuk uraian.
3. Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Kognitif
Prestasi Kognitif siswa, secara umum dapat dipengaruhi oleh tiga factor:
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri siswa meliputi dua aspek:
a. Aspek Fisiologis
Aspek fisiologis adalah kondisi jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya. Hal ini akan mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran (Muhibbin Syah, 2000: 145). Kondisi organ tubuh yang lemah apalagi jika disertai dengan pusing kepala, dapat menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif), sehingga materi yang dipelajari kurang maksimal diterima oleh siswa.
Di antara faktor fisiologis adalah sebagai berikut:
1. Susunan saraf yang tidak berkembang secara sempurna, disebabkan luka atau sakit sehingga membawa ganguan emosional.
2. Pancaindera yang kurang berfungsi dengan baik, sehingga menyulitkan interaksi dengan lingkungan sekitar.
3. Ketidakseimbangan perkembangan dan reproduksi serta berfungsinya kelenjar-kelenjar tubuh sering membawa kelainan prilaku (Abin Syamsudin, 2002:325)
b. Aspek Psikologis
Aspek Psikologis, dapat pula mempengaruhi prestasi kognitif siswa, Muhibbin Syah (2003:146) memberikan penjelasan ada lima factor dalam aspek psikologis yang dapat mempengaruhi prestasi,yaitu:
1) Tingkat kecerdasan atau intelegensia
Tingkat kecerdasan atau intelegensia (IQ) siswa sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar khususnya pada ranah kognitif. Hal ini bermakna semakin tinggi kemampuan intelegen seseorang, maka semakin banyak pula peluang untuk mendapatkan prestasi belajar dengan cepat, begitu pula sebaliknya semakin minim kemampuan siswa dalam intelegensi maka semakin kecil pula tingkat keberhasilan siswa dalam belajar.
2) Sikap Hidup
Sikap adalah gejala internal yang berdimensi aktif, berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang relative tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya. Baik secara positif maupun negative (Muhibbin Syah, 2003:149).
3) Bakat
Bakat secara umum diartikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Ngalim Purwanto mendefinisikan bakat sebagai “kecakapan pembawaan” yaitu mengenai kesanggupan tertentu yang dapat dilakukan seseorang tanpa harus belajar dalam waktu yang lama.
Bakat sering disebut sebagai kemampuan seseorang dalam melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada banyak latihan dan latar belakang pendidikan yang lama, seseorang yang mempunyai bakat tentang mesin tentu ia akan cepat dalam
mempelajari mobil atau motor, tetapi sebaliknya jika tidak memiliki bakat maka ia akan bingung dan akan lama dalam mempelajarinya.
Sehubungan dengan hal ini, bakat sangat mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi belajar dalam bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI) misalnya seseorang siswa terbiasa dengan lingungan yang terdidik dengan agama, secara tidak langsung dia memiliki anggapan bahwa agama itu penting,maka belajar PAI pun akan cepat memahami dengan baik.
4) Minat Siswa
Secara sederhana Minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Sardiman (2000: 193) yang dimaksud dengan interst adalah usaha guru untuk menarik atau membawa perhatian siswa pada materi pelajaran yang baru. Seseorang yang memasuki situasi baru, secara mendadak sering timbul kejutan atau tekanan psikologis karena peristiwa lama yang masih membayanginya.
Oleh sebab itu pada waktu guru hendak manyampaikan pelajaran baru, hendaknya untuk menyatukan pikiran siswa dengan jalan menghilangkan kenangan lama dengan memasukkan kenangan baru sebelum pelajaran dimulai. Dalam melakukan ini guru mengadakan apersepsi yaitu menghubungkan materi yang lama dengan materi yang akan dipelajari. Entering Behavior merupakan salah satu cara untuk menarik minat siswa dalam belajar. Hal ini dapat dilakukan dengan pre test atau test awal (Ahmad Tafsir, 1999: 56).
Dengan demikian selain guru menyampaikan materi, sebaiknya guru memperhatikan dulu kesiapan siswa untuk belajar. Dalam hal ini Boby de Forter (1999:6) mengatakan bahwa dalam setiap intruksional harus dibangun atas prinsip, “bawalah dunia mereka kepada dunia kita, dan antarkan dunia kita kepada dunia mereka.”
Minat juga dapat timbul jika siswa mengetahui manfaat dari bahan yang akan dipelajari. Sebab orang akan termotivasi atau mempunyai minat yang positif jika mengetahui manfaat dari pekerjaan itu. Dalam hal ini Boby de Forter (1992:48) menyebutkan istilah AMBAK singkatan dari Apa Manfaatnya Bagiku. Yaitu motivasi yang didapat dari pemilihan mental antara manfaat dari sebuah keputusan.
5) Motivasi
Motivasi adalah segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk bertindak melakukan sesuatu (Ngalim Purwanto, 1985:64). Menurut Mc.Donald sebagaimana dikutip Sardiman AM (2000:64) Motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan adanya tujuan.
Dengan demikian dari pengertian motivasi tersebut di atas, mengandung tiga elemen penting yaitu:
a. Bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada setiap individu.
b. Motivasi ditandai dengan munculnya rasa afeksi seseorang misalnya tenggapan terhadap sesuatu tujuan.
c. Motivasi akan terangsang dengan adanya tujuan, manfaat dari sesuatu perbuatan.
Betapa pentingnya peranan motivasi, maka setiap guru harus dapat membangkitkan motivasi siswa untuk belajar. Sebab dengan motivasi tinggi, maka akan didapatkan hasil yang baik.
2) Faktor Eksternal Siswa
Yaitu faktor yang berasal dari luar siswa. Dalam hal ini lingkungan sekitar akan mempengaruhi prestasi kognitif siswa. Muhibbin Syah (2003: 153) membagi lingkungan ini menjadi dua bagian yaitu:
1. Lingkungan social, seperti guru, staf administrasi, dan teman sekelas, ini semua dapat mempengaruhi semangat belajar yang akhirnya mempengaruhi prestasi belajar.
2. Lingkungan non sosial seperti gedung sekolah yang sudah rusak, peralatan belajar yang kurang, rumah yang jauh, sulit kendaraan ini akan mempengaruhi prestasi dan semangat belajar, yang akhirnya menentukan rendahnya prestasi siswa, hal ini sangat perlu diperhatikan dalam membuat rumus dan rancana pengajaran.
3). Faktor pendekatan Belajar
Kebiasaan belajar siswa yang salah, ini juga akan mempengaruhi prestasi belajar. Siswa yang terbiasa menggunakan cara system kebut semalam tentunya akan berbeda hasilnya dengan siswa yang menghapal materi dengan bertahap secara kontinyu.
E. Pendidikan Agama Islam Sebagai Mata Pelajaran di SMA
Pendidikan agama Islam adalah bagian integral dari pendidikan nasional. Pendidikan agama merupakan satu segi dari pendidikan anak. Segi yang lainnya adalah pendidikan umum. Pada saat ini pendidikan agama sudah merupakan salah satu bidang studi wajib yang diajarkan di sekolah-sekolah formal. Mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi.
1. Definisi Pendidikan Agama Islam
Dalam kenyataan sehari-hari orang sering mencampuradukkan antara definisi Pengajaran dan Pendidikan agama. Sebenarnya keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Walaupun terdapat hubungan yang sangat erat. Menurut Zuhairini (1983 : 27) pendidikan agama berarti usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu peserta didik agar mereka hidup sesuai dengan ajaran agama islam. Sedangkan pengajaran agama berarti pemberian pengetahuan agama kepada peserta didik agar mereka memiliki pengetahuan agama islam.
Pendidikan agama Islam Menurut rumusan yang tercantum dalam GBPP mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam tahun 2002, adalah usaha sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama islam, disertai dengan tuntutan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.
Menurut Zakiyah Darajat (1987:87) pendidikan agama islam adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran islam secara menyeluruh. Lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan islam sebagai pandangan hidup.
Tayar Yusuf (1986:35) mengartikan pendidikan agama Islam sebagai usaha sadar generasi tua untuk mengalihkan pengalaman, pengetahuan, kecakapan dan keterampilan kepada generasi muda agar kelak menjadi manusia yang bertakwa kepada Allah swt.
Azizy (2002) mengemukakan bahwa esensi pendidikan yaitu terjadinya proses transfer nilai, pengetahuan, dan keterampilan dari generasi tua kepada generasi muda agar generasi muda mampu hidup. Oleh karena itu ketika kita menyebut pendidikan Islam, maka akan mencakup dua hal, (a) mendidik siswa untuk berprilaku sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak Islam; (b) mendidik siswa-siswi untuk mempelajari materi ajaran islam- subjek berupa pengetahuan tentang ajaran Islam.
Sementara itu, Ahmad Tafsir (1990:8) menjelaskan istilah yang tepat berkenaan dengan pendidikan agama dan pengajaran agama bahwa keduanya dapat digunakan. Sekalipun demikian menurutnya, sebaliknya istilah pendidikan agama sering digunakan. Sebab dengan menggunakan istilah pendidikan agama diharapkan guru agama selalu merasa diingatkan bahwa tugasnya tidak hanya mengajarkan ilmu agama Islam, tetap juga melakukan usaha-usaha lainnya yang dapat membantu tercapainya tujuan pendidikan Agama Islam.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pendidikan agama lebih luas cakupannya dari pengajaran agama. Dalam pendidikan agama, guru tidak hanya mentransferkan pengetahuan semata, akan tetapi dituntut untuk membentuk pribadi muslim yang taat, berilmu pengetahuan, dan beramal shalih.
Mata pelajaran agama Islam secara keseluruhan mencakup Al-Quran dan al-hadis, keimanan, akhlak, fiqh/ibadah, dan sejarah, sekaligus menggambarkan bahwa ruang lingkup pendidikan islam meliputi perwujudan keserasian, keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri sesame manusia, makhluk lainnya maupun lingkungannya.
Jadi pendidikan agama Islam merupakan usaha sadar yang dilakukan pendidik dalam rangka mempersiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami, dan mengamalkan ajaran islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau pelatihan yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2. Dasar-dasar pelaksanaan Pendidikan Agama Islam
Pelaksanaan pendidikan agama islam di sekolah memiliki dasar yang kuat. Dasar tersebut menurut Zuhairini dkk. (1983:21) dapat ditinjau dari berbagai segi,yaitu:
a. Dasar yuridis/hukum
Dasar pelaksanaan pendidikan agama berasal dari perundang-undangan yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam melaksanakan pendidikan agama di sekolah secara formal. Dasar yuridis formal tersebut terdiri dari tiga macam, yaitu:
a.1. Dasar ideal, yaitu dasar falsafah Negara Pancasila, sila pertama: Ketuhanan
yang maha Esa.
a.2. Dasar Struktural/konstitusional, yaitu UUD 1945 dalam bab XI pasal 29 ayat
1 dan 2, yang berbunyi: 1) Negara berdasarkan atas ketuhanan yang maha esa;
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama
masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.
a.3. Dasar operasional, yaitu terdapat dalam Tap MPR No.IV/MPR/1973 yang
kemudian dikokohkan dalam Tap MPR No.IV/MPR 1978 jo. Ketetapan MPR
Np. II/MPR/1983, diperkuat oleh Tap MPR No. II/MPR/1988 dan Tap.MPR
No. II/MPR 1993 tentang Garis - garis Besar Haluan Negara yang pada
pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama secara langsung
dimaksudkan dalam kurikulum sekolah-sekolah formal, mulai dari sekolah
dasar hingga perguruan tinggi.
b. Segi Religius
Yang dimaksud dengan dasar religius adalah dsar yang bersumber dari ajaran Islam. Menurut ajaran Islam Pendidikan Agama adalah perintah tuhan dan merupakan perwujudan ibadah kepada-Nya. Dalam al-quran terdapat banyak ayat yang menunjukkan perintah tersebut,antara lain sebagaimana dikutip Dian Andayani (2004:133);
1. Qs.An-Nahl (16):125
… ﺃﺪﻉ ﺍﻠﻰ ﺍﻠﺴﺑﻴﻞ ﺮﺒﻚ ﺑﺎﻠﺤﻜﻤﺔ ﻮﺍﻠﻤﻮﻋﻇﺔ ﺍﻠﺤﺴﻨﺔ
“Serulah Manusia kepada jalan tuhan-Mu, dengan Hikmah dan pengajaran yang baik…”
2. Qs.Ali-Imran (3):104
ﻮﻠﺘﻜﻢ ﻤﻨﻜﻢ ﺍﻤﺔ ﻴﺪﻋﻮﻦ ﺍﻠﻰ ﺍﻠﺨﻴﺮ ﻮ ﻴﺄ ﻤﺮﻮﻦ ﺒﺎﻠﻤﻌﺮﻮﻒ ﻮ ﻴﻨﻬﻮﻦ ﻋﻦ ﺍﻠﻤﻨﻜﺮ...
“Dan Hendaklah diantara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebijakan, memerintahkan kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari perbuatan munkar…”
3. Al-Hadis
ﺒﻠﻐﻪ ﻤﻨﻰ ﻮ ﻠﻮ ﺍﻴﺔ
“Sampaikanlah ajaran kepada orang lain walaupun hanya sedikit”.
c. Aspek Psikologis
Psikologis yaitu dasar yang berhubungan dengan aspek kejiwaan kehidupan bermasyarakat. Hal ini didasarkan bahwa dalam hidupnya, manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dihadapkan pada hal-hal yang membuat hatinya tidak tenang dan tenteram sehingga memerlukan adanya pegangan hidup. Sebagaimana dikemukakan oleh Zuhairini dkk (1983:25) bahwa : Semua manusia di dunia ini selalu membutuhkan adanya pegangan hidup yang disebut agama. Mereka merasakan bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya Zat yang Maha Kuasa, tempat mereka berlindung dan tempat mereka memohon pertolongan-Nya. Hal semacam ini terjadi pada masyarakat yang masih primitive maupun masyarakat modern. Mereka merasa tenang dan tentram hatinya kalau mereka dapat mendekat dan mengabdi kepada Zat Yang Maha Kuasa.
Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa untuk membuat hati tenang dan tenteram ialah dengan jalan mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini sesuai firman Allah SWT dalam surat Ar-Ra’du ayat 28, yaitu
ﺍﻻ ﺒﺬ ﻜﺮ ﷲ ﺗﻤﺌﻦ ﺍﻠﻗﻠﻮﺐ
“…Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”.
3. Fungsi Pendidikan Agama Islam
Kurikulum pendidikan agama islam untuk sekolah/madrasah berfungsi sebagai berikut.
1. Pengembangan
Yang dimaksud disini ialah meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya dan pertama-tama kewajiban menanamkan keimanan dan ketakwaan dilakukan oleh setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuhkembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketakwaan tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.
2. Penanaman nilai
Penanaman nilai PAI sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
3. Penyesuaian Mental
Yang dimaksud dengan penyesuaian mental yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik lingungan fisik maupun lingkungan social dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam.
4. Perbaikan
Maksudnya ialah untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan, dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengalaman ajaran dalam kehidupan sehari-hari.
5. Pencegahan
Yaitu untuk menangkal hal-hal yang bersifat negative dari lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembangannya menuju manusia Indonesia seutuhnya.
6. Pengajaran
Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan ghaib), system dan fungsionalnya.
7. Penyaluran
Yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat khsusu di bidang agama Islam agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi orang lain.
4.Tujuan Pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama Islam di sekolah/madrasah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi (kurikulum PAI, 2002: ).
Tujuan umum pendidikan agama adalah membimbing anak agar menjadi muslim sejati, beriman teguh, beramal saleh dan berakhlak mulia serta berguna bagi masyarakat, agama, dan Negara (Zuhairini, 1999: 45).
Tujuan pendidikan agama tersebut merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh setiap orang yang melaksanakan pendidikan agama. Karena dalam mendidik agama yang perlu ditanamkan terlebih dahulu adalah keimanan yang teguh maka akan menghasilkan ketaatan menjalankan kewajiban agama. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Adz-Dzariat (51):ayat 56 yang berbunyi:
ﻮﻤﺎ ﺨﻠﻗﺖ ﺍﻠﺠﻦ ﻮ ﺍﻻ ﻨﺲ ﺍﻻ ﻠﻴﻌﺒﺪﻮﻦ
“Tidaklah aku ciptakan Jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepadaKu”
Disamping beribadah kepada Allah SWT maka setiap muslim di dunia ini harus memiliki cita-cita untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah (2) ayat 201:
ﻮﻤﻨﻬﻢ ﻤﻦ ﻴﻗﻮﻞ ﺮﺒﻨﺂ ﺍ ﺘﻨﺎ ﻔﻰ ﺍﻠﺪ ﻨﻴﺎ ﺤﺴﻨﺔ ﻮ ﻔﻰ ﺍﻻﺨﺮﺓ ﺤﺴﻨﺔ ﻮﻘﻨﺎ ﻋﺬﺍﺐ ﺍﻠﻨﺎ ﺮ
“Diantara mereka ada yang berkata, Wahai Tuhanku berikanlah kepada kami kebaikan hidup di dunia dan kebaikan di akhirat, dan hindarkanlah kami dari siksa neraka”
Pendidikan agama Islam bertujuan meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (GBPP PAI, 1994:1).
Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Menengah Atas (SMA) bertujuan memberi kemampuan dasar kepada siswa tentang agama Islam untuk mengembangkan kehidupan beragama sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Serta berakhlak mulia, ia sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga Negara dan anggota umat manusia serta mengikuti pendidikan menengah. Adapun pokok dan tujuan pendidikan Agama Islam mencakup tiga aspek, yaitu aspek keimanan, ilmu dan amal yang pada dasarnya berisi:
- Menumbuh suburkan dan mengembangkan serta membentuk sikap positif dan disiplin serta cinta terhadap agama dalam berbagai kehidupan anak yang nantinya diharapkan menjadi manusia yang bertakwa kepada Allah SWT. Taat kepada perintah Allah dan rasul-Nya.
- Kataatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya merupakan motivasi insting kepada pengembangan ilmu pengetahuan yang harus dimiliki anak. Berkat pemahaman tentang pentingnya agama dan ilmu pengetahuan (agama dan umum), maka anak menyadari keharusan menjadi seorang hamba Allah yang beriman, dan berilmu pengetahuan. Karenanya, ia tidak pernah mengenal henti untuk mengajar ilmu pengetahuan dan teknologi baru dalam rangka mencari keridhaan Allah SWT. Dengan ilmu dan iman itu semakin hari semakin menjadi lebih bertakwa kepada Allah SWT sesuai tuntutan Islam.
- Menumbuhkan dan membina keterampilan agama dalam semua hidup dan kehidupan serta dapat emmahami dan menghayati ajaran agama Islam secara integral dan komprehensif. Sehingga dapat digunakan sebagai pedoman hidup, baik dalam hubungan dirinya dengan Allah SWT malalui ibadah shalat misalnya, maupun hubungannya sesama manusia yang tercermin dalam akhlak perbuatan serta dalam hubungan dirinya dengan alam sekitar melalui cara pemeliharaan dan pengolahan alam serta pemanfaatan hasil usahanya (Zakiyah Darajat, 1992:90).
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa tujuan pendidikan Agama Islam pada dasarnya menanamkan nilai-nilai keimanan yang kuat dan lekat, penguasaan ilmu pengetahuan yang tinggi serta keterampilan untuk melakukan amal saleh dalam kehidupan sehari hari.
F. Hubungan Penggunaan internet sebagai Media Pembelajaran dengan Prestasi Koginitif siswa pada bidang studi Pendidikan Agama Islam
ﻜﺂﻔﺔﻮﻻﺘﺘﺒﻌﻮﺍ ﺨﻄﻮﺍﺖﺍﻠﺸﻴﻄﻦﺍﻨﻪ ﻠﻜﻢﻋﺪﻮﻤﺒﻴﻦ ﺍﻠﺴﻠﻢ ﻔﻰ ﺍﺪﺨﻠﻮﺍ ﻤﻨﻮﺍ ﺃ ﻴﻦ ﻠﺬ ﺍ ﻴﻬﺎ ﺃ ﻴﺎ
“ Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kedalam agama Islam secara menyeluruh, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian” ( QS. Al-Baqarah (2) : 208 )
Dari ayat diatas ditegaskan bahwa setiap orang muslim yang beriman diwajibkan untuk memperdalam aqidah, pemahaman, serta pengetahuannya tentang islam secara integral dan komprehensif. Karena hal tersebut merupakan suatu jalan terbaik menuju keimanan yang sempurna, tanpa mempelajari islam secara mendalam mustahil iman akan bersemayam dalam diri pribadi setiap insan. Tiada alternatif lain yang dapat berorientasi kepada tujuan tersebut, kecuali dengan mempelajari Pendidikan Agama Islam secara efektif. Untuk itu diperlukan kesiapan yang optimal dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam tersebut, agar upaya penanaman nilai serta tujuan yang terkandung dalam ayat tersebut teraplikasi secara maksimal.
Media pembelajaran adalah sebuah alat yang berfungsi untuk menyampaikan pesan pembelajaran. Dimana pembelajaran merupakan sebuah proses komunikasi antara pembelajar, pengajar dan bahan ajar. Komunikasi tidak akan berjalan tanpa bantuan sarana penyampai pesan atau media. Peranan media sangat penting agar proses pembelajaran pendidikan agama Islam tersebut efektif dan efisien.
Internet sebagai media yang efektif sebagai penyampai pesan sangatlah tepat jika dijadikan sebagai media pembelajaran pendidikan agama Islam. Mengingat pendidikan agama Islam menuntut pengkondisian yang maksimal sesuai konstelasi zaman. Internet merupakan media yang up-to date dan berkembang setiap zaman sangat mendukung optimalisasi pembelajaran agama secara integral, mengingat kemampuannya dalam menyajikan berbagai materi serta berbagai format metode pembelajaran dapat diunggulkan sebagai media komplementer dalam proses pembelajaran.
DI SEKOLAH PADA BIDANG STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
A. Internet
1. Definisi Internet
Internet merupakan jaringan global yang menghubungkan beribu bahkan berjuta jaringan komputer (local/wide area network) dan komputer pribadi (stand alone), yang memungkinkan setiap komputer yang terhubung kepadanya bisa melakukan komunikasi satu sama lain (Brace, 1997). Jaringan ini bukan merupakan suatu organisasi atau institusi, karena tak satu pihakpun yang mengatur dan memilikinya.
Brace juga menyebutkan Internet sebagai suatu "kesepakatan", karena untuk bisa saling berhubungan dan berkomunikasi setiap komputer harus menggunakan protokol standar yaitu TCP/IP ( Transmission Control Protocol/Internet Protocol) yang disepakati bersama. Dengan kata lain meskipun suatu komputer terhubung ke dalam jaringan Internet, tetapi kalau ia tidak menggunakan standar komunikasi pengiriman dan penerimaan yang telah disepakati tersebut, tetap saja ia tidak bisa melakukan komunikasi.
( Hardjito, 2007 )
2.Sejarah Penggunaan Internet
Awalnya Internet lahir untuk suatu keperluan militer Amerika Serikat. Pada awal tahun 1969 Avanced Research Project Agency (ARPA) dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat, membuat suatu eksperimen jaringan yang diberi nama ARPAnet untuk mendukung keperluan penelitian (riset) kalangan militer. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya jaringan ini dipergunakan untuk keperluan riset perguruan tinggi, yang dimulai dengan University of California, Stanford Research Institute dan University of
Utah (Cronin, 1996:2).
Fasilitas aplikasi Internet cukup banyak sehingga mampu memberikan dukungan bagi keperluan militer, kalangan akademisi, kalangan media massa, maupun kalangan bisnis. Fasilitas tersebut seperti Telnet, Gopher, WAIS, e-mail, Mailing List (milis), Newsgroup, File Transfer Protocol (FTP), Internet Relay Chat, World Wide Web (WWW)
( Purbo, 2007: 3) Di antara keseluruhan fasilitas Internet tersebut terdapat lima aplikasi standar Internet yang dapat dipergunakan untuk keperluan pendidikan (Purbo, 1997), yaitu e-mail, Mailing List (milis), Newsgroup, File Transfer Protocol (FTP), dan World Wide Web (www).
3. Indikator Penggunaan Internet
Secara nyata internet memang dapat digunakan dalam pembelajaran di sekolah, karena memiliki karakteristik yang khas yaitu ;
(1) Sebagai media interpersonal dan juga sebagai media massa yang memungkinkan terjadinya komunikasi one-to-one maupun one-to-many,
(2) Memiliki sifat interaktif, dan
(3) Memungkinkan terjadinya komunikasi secara sinkron (syncronous) maupun tertunda (asyncronous), sehingga memungkinkan terselenggaranya ketiga jenis dialog/komunikasi yang merupakan syarat terselengaranya suatu proses belajar mengajar.
( Purbo, 1996:5 )
Sebagai dasar untuk memanfaatkan internet sebagai media pembelajaran di sekolah, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dan penanganan yang serius agar penyelenggaraan pemanfaatan internet untuk pembelajaran bisa berhasil,yaitu:
Faktor Lingkungan
Faktor ini meliputi institusi penyelenggara pendidikan/institusi dan masyarakat ;
Intitusi
Peranan institusi yang diwujudkan dalam bentuk kebijakan dan komitmen, sangat menentukan terselenggaranya pemanfaatan internet untuk pendidikan dalam lingkungan sekolah. Institusi yang paling pertama yang dituntut untuk memiliki komitmen dalam pendayagunaan internet untuk pembelajaran tentu saja adalah sekolah. Hal ini terutama berkaitan dengan penggunaan teknologi tinggi yang menyangkut keharusan menyediakan sejumlah dana untuk penyediaan peralatan (komputer dan kelengkapannya), jaringan, line telepon (koneksi ke ISP), biaya berlangganan ke Internet Service Provider (ISP), biaya penggunaan telepon dan sebagainya.
Peranan institusi lain yang tak kalah pentingnya ialah dalam memberikan kesadaran (awareness) baik terhadap guru maupun siswa tentang teknologi komunikasi dan informasi terutama potensi internet sebagai media pembelajaran. Kemudian dilanjutkan pemberian pengetahuan mengenai prosedur dan tata cara memanfaatkan internet, melalui berbagai kegiatan dan pelatihan yang terus menerus, sehingga secara tidak langsung akan tercipta lingkungan yang akrab teknologi.
Dengan demikian terlihat bahwa hal yang paling mendasar dalam penerapan internet di sekolah adalah tekad, kesiapan dan kesungguhan institusi yang diwujudkan dengan suatu kebijakan yang menyeluruh, meliputi kebijakan berubahnya metode pengajaran, kebijakan mengenai manajemen dan prosedur, kebijakan mengakses internet dan lain-lain. Karena semua itu merupakan kunci utama keberhasilan pendayagunaan internet untuk pembelajaran di lingkungan sekolah.
Masyarakat
Lingkungan yang perlu mendapat perhatian ialah lingkungan keluarga siswa.
Karena dari lingkungan keluargalah diharapkan munculnya dukungan yang mampu memberikan dorongan untuk memotivasi siswa dalam memanfaatkan internet untuk keperluan pendidikan.Hardjito (2001) dalam penelitiannya terhadap 210 siswa SMU dan SMK DKI Jakarta yang secara rutin mengakses internet, menemukan bahwa siswa yang rajin mengakses internet sebagian besar (55,7%) datang dari lingkungan keluarga yang semua anggotanya (orang tua, kakak/adik) menggunakan internet, dan hanya 5,7% dari keluarga yang sama sekali tidak menggunakan internet.
Kemudian selain keluarga, lingkungan paling dekat lainnya yang sangat mempengamhi siswa dalam mengunakan internet ialah teman sebaya (peer group).
Pengaruh lingkungan ini bahkan lebih besar dari lingkungan keluarga, sebagaimana didapatkan dari hasil penelitian Hardjito (2001) yang menunjukkan bahwa dari temanlah mereka pertama kali belajar internet, mengajari internet secara lebih mendalam dan mendapatkan dorongan untuk menggunakan internet.
Oleh karena itu lingkungan siswa ini juga dipersiapkan dan disentuh agar tercipta suasana yang kondusif, yang mampu memberikan dukungan terhadap siswa dalam memanfaatkan internet untuk pendidikan.
Siswa atau peserta didik
Pemahaman tentang audiens bisa didapat melalui analisis dengan menggunakan data demografi maupun psikografi, antara lain dengan menguji perbedaan-perbedaan karakteristik, sikap dan perilaku audiens. Pemilahan atau pengelompokan diperlukan dalam kaitannya untuk bisa membuat suatu pendekatan atau strategi pendayagunaan internet lebih tepat sasaran, mengingat bahwa sasaran didik tersegmen dalam kelompok sekolah-sekolah yang berbeda. Pemahaman tentang perbedaan-perbedaan motif penggunaan internet berdasarkan aspek demografi dan psikografi tersebut, menjadi penting agar pengembangan program pendidikan dengan mendayagunakan internet bisa lebih menyentuh kondisi ril sasaran.
Sebenarnya sasaran didik terkelompok dalam segmen-segmen tertentu yang mengehendaki adanya perlakuan yang berbeda pula.
Sehinggga dalam menerapkan pendayagunaan internet di sekolah akan lebih baik apabila melakukan segmentasi secara lebih homogen baik ditinjau dari aspek demografi maupun psikografi.
Walaupun sesungguhnya pendekatan segmentasi ini lebih dikenal dalam konsep pemasaran yang menghendaki diketahuinya kelompok-kelompok sasaran dengan jelas melalui pendekatan segmentasi pasar, namun pendekatan ini sesunguhnya juga bisa diterapkan dalam semua bidang kegiatan termasuk dalam bidang pendidikan. Konsep ini mulai berkembang setelah Wenddell Smith (1956) menjelaskan bahwa konsumen pada dasarnya berbeda, sehingga dibutuhkan program-program pemasaran yang berbeda-beda pula untuk menjangkaunya. Pendapat tersebut kemudian diperkuat oleh Frederick Winter (1977) yang menyatakan bahwa konsep av'erage consumer - untuk kepentingan praktis - sudah harus di hapuskan dari kamus manajemen pemasaran (Kasali, 1999:27). Segmentasi adalah hal yang wajib ditempuh dalam suatu proses pemasaran baik komersial maupun sosial, karena dengan demikian kita bisa memberikan pelayanan sebaik-baiknya pada masing-masing segmen dan memberikan kepuasan orang-orang di dalam segmen tersebut. ( Kasali, 1999: 28)
Hal tersebut juga sejalan dengan teori teknologi pembelajaran di mana keberhasilan tujuan pembelajaran sangat ditentukan oleh sejauh mana kita mengenali sasaran didik kita. Bila pendidik menganggap siswa mereka sebagai manusia ( human being), dengan segala hak-hak dan perbedaan-perbedaan motivasinya, maka ia akan menganggap bahwa murid adalah merupakan bagian atau subyek dari suatu proses belajar mengajar (Heinich, 1996 :20).
Segmentasi menjadi sangat penting, karena sebagaimana yang disampaikan oleh Renald Kasali (1999) dalam bukunya "Membidik Pasar Indonesia, Segmentasi Targeting dan Positioning", bahwa lebih dari 60% kegagalan bisnis disebabkan oleh gagalnya pengusaha mendenifikasikan pasar yang dituju, dan lebih dari 60% kegagalan kampanye sosial dan politik disebabkan tidak dipahaminya segmen pasar yang dituju.
Dengan mengacu pada hal-hal tersebut, maka sistem pembelajaran dengan mendayagunakan internet yang akan dikembangkan hendaknya memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan karakteristik dan segmen sasaran didik. Atau dengan kata lain perlu dikembangkan suatu sistem pembelajaran yang paling sesuai dengan segmen-segmen sasaran didik yang dibidik.
Guru atau pendidik
Peranan guru tak kalah menentukannya terhadap keberhasilan pemanfaatan internet di sekolah. Dari berbagai pengalaman menunjukkan bahwa inisiatif pemanfaatan internet di sekolah justru banyak yang datang dari guru-guru yang memiliki kesadaran lebih awal tentang potensi internet guna menunjang proses belajar mengajar.
Keberhasilan pembelajaran berbasis internet ini secara signifikan ditentukan oleh karakteristik guru-guru yang akan dilibatkan dalam pemanfaatan internet. Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut (Hardjito, 2006);
- Guru perlu diberikan pemahaman berbagai keuntungan, termasuk kelebihan dan kelemahan penggunaan internet untuk pembelajaran, sehingga mereka memiliki motivasi dan komitmen yang cukup tinggi.
- Guru, baik nantinya dia akan berperan sebagai pengembang dan pengguna maupun yang diproyeksikan sebagai pengelola sistem pembelajaran berbasis internet, harus dibekali dengan kesadaran, wawasan, pengetahuan dan keterampilan tentang internet.
- Guru yang akan dilibatkan dalam pengembangan dan pemanfaatan internet untuk pembelajaran hendaknya memiliki pengalaman dan kemampuan mengajar yang cukup.
- Jumlah guru yang akan dilibatkan dalam pengembangan dan pemanfaatan internet untuk pembelajaran, hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan dilakukan secara bertahap.
- Guru harus memiliki komitmen dan keseriusan dalam menangani pengembangan dan pemanfaatan internet untuk pembelajaran.
- Tetap menjaga gaya mengajar tiap-tiap guru. karena hal itu akan dicerminkan dalam cara pembelajaran mereka kelak di sistem pembelajaran dengan internet.
Faktor teknologi
Untuk terselengaranya kegiatan pembelajaran dengan dukungan internet, maka setelah ketiga unsur didepan dipenuhi dengan kondisi sebagaimana telah diuraikan, maka faktor teknologi merupakan suatu hal yang juga mutlak harus tersedia dan harus memenuhi standar minimal yang dipersayaratkan, baik yang berkaitan dengan peralatan, infrastruktur, pengoperasian dan perawatannya.
Idealnya dalam pemanfaatan internet untuk pembelajaran di sekolah, harus tersedia sejumlah komputer yang bisa mengakses internet. Akan lebih baik lagi kalau komputer-komputer yang tersambung ke internet tersebut diletakkan di ruang khusus seperti ruang lab komputer ataupun di ruangan-ruangan lain yang dianggap strategis.
Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi guru dan siswa dalam mengakses internet.
Cara yang paling efektif dan efesien untuk menghubungkan sejumlah komputer ke internet adalah dengen membangun jaringan lokal (Local Area Network/LAN). Dengan adanya jaringan maka hanya diperlukan satu sambungan saja ke internet yang bisa dipergunakan secara bersama-sama oleh komputer yang tergabung dalam jaringan tersebut. Satu hal yang paling penting dari jaringan dan koneksi ke internet untuk keperiuan pembelajaran, ialah keandalannya agar bisa dipergunakan setiap saat selama 24 jam dengan tingkat gangguan ataupun kegagalan yang sangat minimal.
Jaringan yang umum dipergunakan ialah model jaringan client/server. Model ini memisahkan secara jelas, komputer mana yang memberikan layanan (server) dan komputer-komputer mana yang mendapat layanan (client). Agar server dan client bisa berkomunikasi diperlukan server program/software dan client program/software.Dari sisi cara menghubungkan server dengan client, ada tiga pilihan tipologi yang bisa digunakan yaitu tipologi bus, tipologi ring dan tipologi star / hub.Untuk mengembangkan, mengoperasikan dan merawat inirastruktur tersebut perlu diperhatikan empat aspek dari faktor teknologi yaitu client (software dan hardware), server (software dan hardware), mode distribusi dan dukungan teknik (McCormack, 1998 ).
B. Media
1. Definisi Media
Media merupakan alat yang harus ada apabila kita ingin memudahkan sesuatu dalam pekerjaan. Media merupakan alat Bantu yang dapat memudahkan pekerjaan. Setiap orang pasti ingin pekerjaan yang dibuatnya dapat diselesaikan dengan baik dan dengan hasil yang memuaskan.
Kata media itu sendiri berasal dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari kata “ medium “ yang berarti “ pengantar atau perantara “, dengan demikian dapat diartikan bahwa media merupakan wahana penyalur informasi belajar atau penyalur pesan.
Kata media berasal dari bahasa Latin Medius yang secara harfiah berarti tengah, perantara, atau pengantar. Tetapi secara lebih khusus, pengertian media dalam proses pembelajaran diartikan sebagai alat-alat grafis, fotografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal. Media juga dapat diartikan sebagai “segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menyalurkan pesan, merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa, sehingga dapat terdorong terlibat dalam proses pembelajaran”. Gagne mengartikan media sebagai “berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar”. Heinich, Molenda, Russel (1996:8) menyatakan bahwa : “A medium (plural media) is a channel of communication, example include film, television, diagram, printed materials, computers, and instructors. (Media adalah saluran komunikasi termasuk film, televisi, diagram, materi tercetak, komputer, dan instruktur).
Arief S. Sadiman ( 1984:6 ) mengatakan bahwa media “ adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar seperti film, buku dan kaset “.
Dari pandangan yang ada di atas dapat dikatakan bahwa media merupakan alat yang memungkinkan peserta didik untuk mengerti dan memahami sesuatu dengan mudah dan dapat untuk mengingatnya dalam waktu yang lama dibangdingkan dengan penyampaian materi pelajaran dengan cara tatap muka dan ceramah tanpa alat bantuan.
Kit Lay Bourne ( 1985 : 82 ) menyatakan bahwa “ penggunaan media tidak harus membawa bungkusan berita-berita semua, siswa cukup dapat mengawasi suatu berita.” Dari pendapat tersebut dapat dihubungkan bahwa penyampaian materi pelajaran dengan cara komunikasi masih dirasakan adanya penyimpangan pemahaman oleh siswa. Masalahnya adalah bahwa siswa terlalu banyak menerima sesuatu ilmu dengan verbalisme. Apalagi dalam proses belajar mengajar yang tidak menggunakan media dimana kondisi siswa tidak siap, akan memperbesar pekuang terjadinya verbalisme.
Media yang difungsikan sebagai sumber belajar bila dilihat dari pengertian harfiahnya juga terdapat manusia didalamnya, benda, ataupun segala sesuatu yang memungkinkan untuk anak didik memperoleh informasi dan pengetahuan yang berguna bagi anak didik dalam pembelajaran, dan bagaimana dengan adanya media berbasis TIK tersebut, khususnya menggunakan presntasi power point dimana anak didik mempunyai keinginan untuk maju, dan juga mempunyai kreatifitas yang tinggi dan memuaskan dalam perkembangan mereka di kehidupan kelak.
Sasaran penggunaan media adalah agar anak didik mampu mencipatakan sesuatu yang baru dan mampu memanfaatkan sesuatu yang telah ada untuk dipergunakan dengan bentuk dan variasi lain yang berguna dalam kehidupannya,. Dengan demikian mereka dengan mudah mengerti dan mamahami materi pelajaran yang disampaikan oleh guru kepada mereka.
Menurut Soeparno ( 1987:8 ) menyebutkan ada beberapa alasan memilih media dalam proses belajar mengajar, yakni :
a. Ada berbagai macam media yang mempunyai kemungkinan dapat kita pakai
di dalam proses belajar mengajar,
b. Ada media yang mempunyai kecocokan untuk menyampaikan informasi
tertentu
c. Ada perbedaan karakteristik setiap media
d. Ada perbedaan pemakai media tersebut
e. Ada perbedaan situasi dan kondisi tempat media dipergunakan.
Bertitik tolak dari pendapat tersebut, jelaslah bahwa memilih media tidak mudah. Media yang akan digunakan harus memperhatikan beberapa ketentuan dengan pertimbangan bahwa penggunaan media harus benar-benar berhasil guna dan berdaya guna untuk meningkatkan dan memperjelas pemahaman siswa
AECT (Assosiation of Education and Communication Technology, 1977), memberikan batasan media sebagai segala bentuk saluran yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi. NEA (National Education Assosiation) memberikan batasan media sebagai bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak, audio visual, serta peralatanya.Dari berbagai batasan di atas dapat dirumuskan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk meyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, dapat membangkitkan semangat, perhatian, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses pembelajaran pada diri siswa.
2.Karakteristik Media Pembelajaran
Ciri-ciri khusus media pembelajaran berbeda menurut tujuan dan pengelompokanya. Ciri-ciri media dapat di lihat menurut kemampuanya membangkitkan rangsangan pada indera penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan pengecapan. Maka ciri-ciri umum media pembelajaran adalah bahwa media itu dapat diraba, dilihat, didengar, dan diamati melalui panca indera. Di samping itu ciri-ciri media juga dapat dilihat menurut harganya, lingkup sasaranya, dan kontrol oleh pemakai.
Tiap-tiap media mempunyai karakteristik yang perlu dipahami oleh pemakainya. Dalam memilih media, orang perlu memperhatikan tiga hal, yaitu :
1. Kejelasan maksud dan tujuan pemelihian tersebut
2. Sifat dan ciri-ciri media yang akan dipilih
3. Adanya sejumlah media yang dapat dibandingkan karena pemilihan media pada dasarnya adalah proses pengambilan keputusan akan adanya alternatif-alternatif pemecahan yang dituntut oleh tujuan
3. Jenis-Jenis Media Pembelajaran
Menurut Heinich, Molenda, Russel (1996:8) jenis media yang lazim dipergunakan dalam pembelajaran antara lain : media nonproyeksi, media proyeksi, media audio, media gerak, media komputer, komputer multimedia, hipermedia, dan media jarak jauh.
Jenis media dalam pembelajaran adalah :
1. Media grafis seperti gambar, foto, grafik, bagan, diagram, kartun, poster, dan komik.
2. Media tiga dimensi yaitu media dalam bentuk model padat, model penampang, model susun, model kerja, dan diorama.
3. Media proyeksi seperti slide, film stips, film, dan OHP
4. Lingkungan sebagai media pembelajaran
4. Kriteria Pemilihan Media Pembelajaran
Media pembelajaran adalah suatu cara, alat, atau proses yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari sumber pesan kepada penerima pesan yang berlangsung dalam proses pendidikan. Ramiszowski mengungkapkan “media” as the carriers on messages, from some transmitting source which may be a human being or inanimate object), to the receiver of the message (which in our case is the learner). Penggunaan media dalam pembeljaran atau disebut juga pembelajaran bermedia dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa.
Media pembelajaran memiliki beberapa nilai praktis diantaranya:
a) Media pembelajaran dapat mengatasi perbedaan pengalaman siswa.
b) Media pembelajaran dapat membangkitkan semangat belajar yang baru dan membangkitkan motivasi serta merangsang kegiatan siswa dalam belajar.
c) Media pembelajaran dapat mempengaruhi abstraksi.
d) Media pembelajaran dapat memperkenalkan, memperbaiki, meningkatkan, dan memperjelas pengertian konsep dan fakta.
e) Media dapat membantu mengatasi keterbatasan indera manusia.
f) Media dapat mengatasi kendala keterbatasan ruang dan waktu.
g) Media dapat menyajikan obyek pelajaran berupa benda atau peristiwa langka dan berbahaya ke dalam kelas.
(Rahadi, 2003 ; 18-19)
Menurut wilkinson, ada beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam memilih media pembelajaran, yakni :
a. Tujuan
Media yang dipilih hendaknya menunjang tujuan pembelajaran yang dirumuskan. Tujuan yang dirumuskan ini adalah kriteria yang paling cocok, sedangkan tujuan pembelajaran yang lain merupakan kelengkapan dari kriteria utama.
b. Ketepatgunaan
Jika materi yang akan dipelajari adalah bagian-bagian yang penting dari benda, maka gambar seperti bagan dan slide dapat digunakan. Apabila yang dipelajarai adalah aspek-aspek yang menyakut gerak, maka media film atau video akan lebih tepat. Wilkinson menyatakan bahwa penggunaan bahan-bahan yang bervariasi menghasilkan dan meningkatkan pencapain akademik
c. Keadaan Siswa
Media akan efektif digunakan apabila tidak tergantung dari beda interindividual antara siswa. Misalnya kalau siswa tergolong tipe auditif/visual maka siswa yang tergolong auditif dapat belajar dengan media visual dari siswa yang tergolong visual dapat juga belajar dengan menggunakan media auditif.
d. Ketersediaan Media
Walaupun suatu media dinilai sangat tepat untuk mencapai tuuan pembelajaran, media tersebut tidak dapat digunakan jika tidak tersedia. Menurut wilkinson, media merupakan alat mengajar dan belajar, peralatan tersebut harus tersedia ketika dibutuhkan untuk memenuhi keperluan siswa dan guru.
e. Biaya
Biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh dan menggunakan media, hendaknya benar-benar seimbang dengan hasil-hasil yang akan dicapai
Menurut Canei, R. Springfield, dan Clark., C. (1998 : 62) dasar pemilihan alat bantu visual adalah memilih alat bantu yang sesuai dengan kematangan, minat dan kemampuan kelompok, memilih alat bantu secara tepat untuk kegiatan pembelajaran, mempertahankan keseimbangan dalam jenis alat bantu yang dipilih, menghindari alat bantu yang berelebihan, serta mempertanyakan apakah alat bantu tersebut diperlukan dan dapat mempercepat pembelajaran atau tidak
Media pembelajaran yang baik harus memenuhi beberapa syarat. Media pembelajaran harus meningkatkan motivasi pembelajar. Penggunaan media mempunyai tujuan memberikan motivasi kepada pembelajar. Selain itu media juga harus merangsang pembelajar mengingat apa yang sudah dipelajari selain memberikan rangsangan belajar baru. Media yang baik juga akan mengaktifkan pembelajar dalam memberikan tanggapan, umpan balik dan juga mendorong siswa/peserta didik untuk melakukan praktek-praktek dengan benar.
Ada beberapa kriteria untuk menilai keefektifan sebuah media. Hubbard mengusulkan sembilan kriteria untuk menilainya (Hubbard, 1983). Kreteria pertamanya adalah biaya. Biaya memang harus dinilai dengan hasil yang akan dicapai dengan penggunaan media itu. Kriteria lainnya adalah ketersedian fasilitas pendukung seperti listrik, kecocokan dengan ukuran kelas, keringkasan, kemampuan untuk dirubah, waktu dan tenaga penyiapan, pengaruh yang ditimbulkan, kerumitan dan yang terakhir adalah kegunaan. Semakin banyak tujuan pembelajaran yang bisa dibantu dengan sebuah media semakin baiklah media itu.
Kriteria di atas lebih diperuntukkan bagi media konvensional. Thorn mengajukan enam kriteria untuk menilai multimedia interaktif (Thorn, 1995: 17). Kriteria penilaian yang pertama adalah kemudahan navigasi. Sebuah program harus dirancang sesederhana mungkin sehingga pembelajar bahasa tidak perlu belajar komputer lebih dahulu. Kriteria yang kedua adalah kandungan kognisi, kriteria yang lainnya adalah pengetahuan dan presentasi informasi. Kedua kriteria ini adalah untuk menilai isi dari program itu sendiri, apakah program telah memenuhi kebutuhan pembelajaran si pembelajar atau belum. Kriteria keempat adalah integrasi media di mana media harus mengintegrasikan aspek dan ketrampilan bahasa yang harus dipelajari. Untuk menarik minat pembelajar program harus mempunyai tampilan yang artistik maka estetika juga merupakan sebuah kriteria. Kriteria penilaian yang terakhir adalah fungsi secara keseluruhan. Program yang dikembangkan harus memberikan pembelajaran yang diinginkan oleh pembelajar. Sehingga pada waktu seorang selesai menjalankan sebuah program dia akan merasa telah belajar sesuatu.
C. Internet Sebagai Media Pembelajaran
Penggunaan Internet sebagai media pembelajaran tidak terlepas dari penggunaan komputer sebagai media komplementer dalam aplikasi program internet. Dimana Kemajuan media komputer memberikan beberapa kelebihan untuk kegiatan produksi audio visual. Pada tahun-tahun belakangan komputer mendapat perhatian besar karena kemampuannya yang dapat digunakan dalam bidang kegiatan pembelajaran. Ditambah dengan teknologi jaringan dan internet, komputer seakan menjadi primadona dalam kegiatan pembelajaran.
Media pembelajaran adalah sebuah alat yang berfungsi untuk menyampaikan pesan pembelajaran. Pembelajaran adalah sebuah proses komunikasi antara pembelajar, pengajar dan bahan ajar. Komunikasi tidak akan berjalan tanpa bantuan sarana penyampai pesan atau media.(Ouda, 2008 ).
Pembelajaran yang dibantu komputer dikenal dengan nama CAI yaitu “Computer Assited Instruction” . Prinsip pembelajaran ini menggunakan komputer sebagai alat bantu menyampaikan pelajaran kepada user secara interaktif. Perubahan metode pembelajaran dan pengajaran telah menyebabkan alat yang digunakan menjadi meluas, misalnya: video, audio, slide dan film. CAI merupakan penggunaan komputer secara langsung kepada siswa untuk menyampaikan isi pelajaran, memberikan latihan dan mengetes kemajuan belajar siswa. ( Nurita P, 2008 )
CAI juga bermacam-macam bentuknya bergantung kecakapan pendesain dan pengembang pembelajarannya, bisa berbentuk permainan (games), mengajarkan konsepkonsep abstrak yang kemudian dikonkritkan dalam bentuk visual dan audio yang di-animasikan.Jadi CAI adalah penggunaan komputer sebagai alat bantu dalam dunia pendidikan dan pengajaran. CAI membantu siswa memahami suatu materi dan dapat mengulang materi tersebut berulang kali sampai ia menguasai materi itu. Dalam penggunaan komputer untuk pembelajaran, menurut Hefzalah yang dikutip oleh Ouda menyarankan empat strategi pembelajaran yang dapat diterapkan, yaitu:
1. Praktek dan Latihan
2. Tutorial
3. Simulasi dan Demontrasi
4. Permainan (Games)
Adapun bentuk-bentuk penggunaan komputer sebagai media pembelajaran menurut Rusman terbagi menjadi 2 yakni; sebagai Multimedia prestasi, dan Multimedia interaktif.
a) Multi Media Presentasi
Multimedia presentasi digunakan untuk menjelaskan materi-materi yang sifatnya teoritis, digunakan dalam pembelajaran klasikal dengan group belajar yang cukup banyak diatas 50 orang. Media ini cukup efektif sebab menggunakan multimedia projector yang memiliki jangkauan pancar cukup besar. Kelebihan media ini adalah menggabungkan semua unsur media seperti teks, video, animasi, image, grafik dan sound menjadi satu kesatuan penyajian, sehingga mengakomodasi sesuai dengan modalitas belajar siswa. Program ini dapat mengakomodasi siswa yang memiliki tipe visual, auditrif maupun kinestetik Berbagai perangkat lunak yang memungkinkan presentasi dikemas dalam bentuk multimedia yang dinamis dan sangat menarik. Perkembangan perangkat lunak tersebut didukung oleh perkembangan sejumlah perangkat keras penunjangnya. Salah satu produk yang paling banyak mernberikan pengaruh dalam penyajian bahan presentasi digital saat ini adalah perkernbangan monitor, chard video, sound chard serta perkernbangan proyektor digital (digital image projector) yang memungkinkan bahan presentasi dapat disajikan secara digital untuk bermacam-macam kepentingan dalam berbagai kondisi dan situasi, serta ukuran ruang dan berbagai karakteristik audience. Tentu saja hal ini menyebabkan perubahan besar pada trend metode presentasi saat ini, dan dapat dimanfaatkan untuk mengajarkan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Pengolahan bahan presentasi dengan menggunakan komputer tidak hanya untuk dipresentasikan dengan menggunakan alat presentasi digital dalam bentuk Multimedia projector (seperti LCD, In-Focus dan sejenisnya), melainkan juga dapat dipresentasikan melalui peralatan proyeksi lainnya, seperti over head projector (OHP) dan film slides projector yang sudah lebih dahulu diproduksi. Sehingga lembaga atau instansi yang belum memiliki perangkat alat presentasi digital akan tetapi telah memiliki kedua alat tersebut, dapat memanfaatkan pengolahan bahan presentasi melalui komputer secara maksimal. Dalam sudut pandang proses pembelajaran, presentasi merupakan salah satu metode pembelajaran. Penggunaannya yang menempati frekuensi paling tinggi dibandingkan dengan metode lainnya. Berbagai alat yang dikembangkan, telah
mernberikan pengaruh yang sangat basar bukan hanya pada pengernbangan kegiatan praktis dalam kegiatan presentasi pembelajaran akan tetapi juga pada terori-teori yang mendasarinya. Perkembangan terakhir pada bidang presentasi dengan alat bantu komputer telah menyebabkan perubahan tuntutan penyelenggaraan pembelajaran. Diantaranya tuntutan terhadap peningkatan kemampuan dan keterampilan para guru dalam mengolah bahan-bahan pembelajaran ke dalam media presentasi yang berbasis komputer.
( Rusman , 2007 : 3-4)
b) Multimedia interaktif
CD interaktif dapat digunakan pada pembelajaran di sekolah dasar sebab cukup efektif meningkatkan hasil belajar siswa terutama komputer. Sifat media ini selain interaktif juga bersifat multi media terdapat unsur-unsur media secara lengkap yang meliputi sound, animasi, video, teks dan grafis. Beberapa model multimedia interaktif berbasis komputer yaitu :
Model Drill
Model drills dalam CBI pada dasarnya merupakan salah satu starategi pembelajaran yang bertujuan memberikan pengalaman belajar yang lebih kongkrit melalui penciptan tiruan-tiruan bentuk pengalaman yang mendekati suasana yang sebenarnya. Biasanya dalam bentuk latihan soal-soal.
Model Tutorial
Program CBI tutorial dalam merupakan program pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran dengan menggunakan perangkat lunak berupa program komputer yang berisi tujuan, materi pelajaran dan evaluasi pembelajaran. Metode Tutorial dalam CBI pola dasarnya mengikuti pengajaran Berprograma tipe Branching dimana informasi/mata pelajaran disajikan dalam unit-unit kecil, lalu disusul dengan pertanyaan dan respon jawaban dari komputer..
Model Simulasi
Model simulasi dalam CBI pada dasarnya merupakan salah satu starategi pembelajaran yang bertujuan memberikan pengalaman belajar yang lebih kongkrit melalui penciptaan simulasi-simulasi dalam bentuk pengalaman yang mendekati suasana yang sebenarnya.
Model Games:
Model permainan ini dikembangkan berdasarkan atas “pembelajaran yang menyenangkan”, dimana peserta didik akan dihadapkan pada beberapa petunjuk dan aturan permainan. Dalam konteks pembelajaran sering disebut dengan Instructional Games (Eleanor.L Criswell, 1989:20)
Penggunaan komputer dalam proses belajar membuat siswa dapat melakukan kontrol terhadap aktivitas belajarnya. Penggunaan komputer dalam lembaga pendidikan jarak jauh memberikan keleluasaan untuk menentukan kecepatan belajar dan memilih urutan kegiatan belajar sesuai dengan kebutuhan.
Kemampuan komputer untuk menayangkan kembali informasi yang diperlukan oleh pemakainya, yang diistilahkan dengan "kesabaran komputer", dapat membantu siswa yang memiliki kecepatan belajar lambat. Dengan kata lain, komputer dapat menciptakan iklim belajar yang efektif bagi siswa yang lambat (slow learner), tetapi juga dapat memacu efektivitas belajar bagi siswa yang lebih cepat (fast learner).Disamping itu, komputer dapat diprogram agar mampu memberikan umpan balik terhadap hasil belajar dan memberikan pengukuhan (reinforcement) terhadap prestasi belajar siswa. Dengan kemampuan komputer untuk merekam hasil belajar pemakainya (record keeping), komputer dapat diprogram untuk memeriksa dan memberikan skor hasil belajar secara otomatis. Komputer juga dapat dirancang agar dapat memberikan preskripsi atau saran bagi mahasiswa untuk melakukan kegiatan belajar tertentu. Kemampuan ini mengakibatkan komputer dapat dijadikan sebagai sarana untuk pembelajaran yang bersifat individual (individual learning).( Heinich 1986: )
Keuntungan pembelajaran menggunakan media komputer antara lain :
1. Pembelajaran berbantuan komputer bila dirancang dengan baik, merupakan media pembelajaran yang efektif, dapat memudahkan dan meningkatkan kualitas pembelajaran
2. Meningkatkan motivasi belajar siswa
3. Mendukung pembelajaran individual sesuai kemampuan siswa
4. Dapat digunakan sebagai penyampai balikan langsung
5. Materi dapat diulang-ulang sesuai keperluan, tanpa menimbulkan rasa jenuh
( Sirojudin 2007 : 3 )
Internet merupakan jaringan global yang menghubungkan beribu bahkan berjuta jaringan komputer (local/wide area network) dan komputer pribadi (stand alone), yang memungkinkan setiap komputer yang terhubung kepadanya bisa melakukan komunikasi satu sama lain (Brace, 1997). Jaringan ini bukan merupakan suatu organisasi atau institusi, karena tak satu pihakpun yang mengatur dan memilikinya.
Heinich dkk. (1986) mengemukakan sejumlah kelebihan dan juga kelemahan yang ada pada medium komputer. Aplikasi komputer sebagai alat bantu proses belajar memberikan beberapa keuntungan. Komputer memungkinkan mahasiswa belajar sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya dalam memahami pengetahuan dan informasi yang ditayangkan.
Penggunaan komputer dalam proses belajar membuat siswa dapat melakukan kontrol terhadap aktivitas belajarnya. Penggunaan komputer dalam lembaga pendidikan jarak jauh memberikan keleluasaan untuk menentukan kecepatan belajar dan memilih urutan kegiatan belajar sesuai dengan kebutuhan.
Kemampuan komputer untuk menayangkan kembali informasi yang diperlukan oleh pemakainya, yang diistilahkan dengan "kesabaran komputer", dapat membantu siswa yang memiliki kecepatan belajar lambat. Dengan kata lain, komputer dapat menciptakan iklim belajar yang efektif bagi siswa yang lambat (slow learner), tetapi juga dapat memacu efektivitas belajar bagi siswa yang lebih cepat (fast learner).Disamping itu, komputer dapat diprogram agar mampu memberikan umpan balik terhadap hasil belajar dan memberikan pengukuhan (reinforcement) terhadap prestasi belajar siswa.
Dengan kemampuan komputer untuk merekam hasil belajar pemakainya (record keeping), komputer dapat diprogram untuk memeriksa dan memberikan skor hasil belajar secara otomatis. Komputer juga dapat dirancang agar dapat memberikan preskripsi atau saran bagi mahasiswa untuk melakukan kegiatan belajar tertentu. Kemampuan ini mengakibatkan komputer dapat dijadikan sebagai sarana untuk pembelajaran yang bersifat individual (individual learning).
Kelebihan komputer yang lain adalah kemampuan dalam mengintegrasikan komponen warna, musik dan animasi grafik (graphic animation). Hal ini menyebabkan komputer mampu menyampaikan informasi dan pengetahu-an dengan tingkat realisme yang tinggi. Hal ini me-nyebabkan program komputer sering dijadikan sebagai sarana untuk melakukan kegiatan belajar yang bersifat simulasi. Lebih jauh, kapasitas memori yang dimiliki oleh komputer memungkinkan penggunanya menayangkan kembali hasil belajar yang telah dicapai sebelumnya. Hasil belajar sebelumnya ini dapat digunakan oleh siswa sebagai dasar pertimbangan untuk melakukan kegiatan belajar selanjutnya.
Keuntungan lain dari penggunaan komputer dalam proses belajar dapat meningkatkan hasil belajar dengan penggunaan waktu dan biaya yang relatif kecil. Contoh yang tepat untuk ini adalah program komputer simulasi untuk melakukan percobaan pada mata kuliah sains dan teknologi. Penggunaan program simulasi dapat mengurangi biaya bahan dan peralatan untuk melakukan percobaan. (Benny A. Pribadi dan Tita Rosita, 2002:11-12)
Lee merumuskan paling sedikit ada delapan alasan pemakaian komputer sebagai media pembelajaran (Lee, 1996) Alasan-alasan itu adalah: pengalaman, motivasi, meningkatkan pembelajaran, materi yang otentik, interaksi yang lebih luas, lebih pribadi, tidak terpaku pada sumber tunggal, dan pemahaman global.
Dengan tersambungnya komputer pada jaringan internet maka pembelajar akan mendapat pengalaman yang lebih luas. Pembelajar tidak hanya menjadi penerima yang pasif melainkan juga menjadi penentu pembelajaran bagi dirinya sendiri. Pembelajaran dengan komputer akan memberikan motivasi yang lebih tinggi karena komputer selalu dikaitkan dengan kesenangan, permainan dan kreativitas. Dengan demikian pembelajaran itu sendiri akan meningkat.
Pembelajaran dengan komputer akan memberi kesempatan pada pembelajar untuk mendapat materi pembelajaran yang otentik dan dapat berinteraksi secara lebih luas. Pembelajaran pun menjadi lebih bersifat pribadi yang akan memenuhi kebutuhan strategi pembelajaran yang berbeda-beda.
Internet merupakan jaringan global yang menghubungkan beribu bahkan berjuta jaringan komputer (local/wide area network) dan komputer pribadi (stand alone), yang memungkinkan setiap komputer yang terhubung kepadanya bisa melakukan komunikasi satu sama lain (Brace, 1997). Jaringan ini bukan merupakan suatu organisasi atau institusi, karena tak satu pihakpun yang mengatur dan memilikinya.
Brace juga menyebutkan Internet sebagai suatu "kesepakatan", karena untuk bisa saling berhubungan dan berkomunikasi setiap komputer harus menggunakan protokol standar yaitu TCP/IP ( Transmission Control Protocol/Internet Protocol) yang disepakati bersama. Dengan kata lain meskipun suatu komputer terhubung ke dalam jaringan Internet, tetapi kalau ia tidak menggunakan standar komunikasi pengiriman dan penerimaan yang telah disepakati tersebut, tetap saja ia tidak bisa melakukan komunikasi.
( Hardjito, 2007 )
Fasilitas aplikasi Internet cukup banyak sehingga mampu memberikan dukungan bagi keperluan militer, kalangan akademisi, kalangan media massa, maupun kalangan bisnis. Fasilitas tersebut seperti Telnet, Gopher, WAIS, e-mail, Mailing List (milis), Newsgroup, File Transfer Protocol (FTP), Internet Relay Chat, World Wide Web (WWW) ( Purbo ; 2007 )
Di antara keseluruhan fasilitas Internet tersebut terdapat lima aplikasi standar Internet yang dapat dipergunakan untuk keperluan pendidikan (Purbo, 1997), yaitu e-mail, Mailing List (milis), Newsgroup, File Transfer Protocol (FTP), dan World Wide Web (WWW). Adapun kegunaan dari masing-masing fasilitas tersebut adalah sebagai berikut:
E-mail oleh para pengguna komputer di Indonesia juga disebut dengan surat elektronik, merupakan fasilitas yang paling sederhana, paling mudah penggunaannya dan dipergunakan secara luas oleh pengguna komputer.
E-mail merupakan fasilitas yang memungkinkan dua orang atau lebih melakukan komunikasi yang bersifat tidak sinkron (asynchronous communication mode) atau tidak bersifat real time. Tetapi justru karakteristik seperti itulah yang menjadikan e-mail menjadi sarana komunikasi paling murah.
MailingList(mills)
Mailing list merupakan perluasan penggunaan e-mail, dengan fasilitas ini pengguna yang telah memiliki alamat e-mail bisa bergabung dalam suatu kelompok diskusi, dan melalui milis ini bisa dilakukan diskusi untuk memecahkan suatu permasalahan secara bersama-sama, dengan saling memberikan saran pemecahan (brain storming). Komunikasi melalui milis ini memiliki sifat yang sama dengan e-mail, yaitu bersifat tidak sinkron (asynchronous communication mode) atau bersifat un-real time.
FileTransferProtocol(FTP)
FTP adalah fasilitas Internet yang memberikan kemudahan kepada pengguna untuk mencari dan mengambil arsip file (down load) di suatu server yang terhubung ke Internet pada alamat tertentu yang menyediakan berbagai arsip (file), yang memang diizinkan untuk diambil oleh pengguna lain yang membutuhkannya. File ini bisa berupa hasil penelitian, artikel-artikel jurnal dan lain-lain.
Di samping itu FTP juga dipergunakan untuk meng-upload file materi situs (homepage) sehingga bisa diakses oleh pengguna dari seluruh pelosok dunia.
Newsgroup
Newsgroup dalam Internet adalah fasilitas untuk melakukan komunikasi antara dua orang atau lebih secara serempak dalam pengertian waktu yang sama (real time), dan dengan demikian berarti komunikasi yang dilakukan adalah komunikasi yang sinkron (synchronous communication mode). Bentuk pertemuan ini lazim disebut sebagai konferensi, dan fasilitas yang digunakan bisa sepenuhnya multimedia (audio-visual) dengan mengggunakan fasilitas video conferencing, ataupun text saja atau text dan audio dengan menggunakan fasilitas chat (IRC).
world wide web (www)
www merupakan kumpulan koleksi besar tentang berbagai macam dokumentasi yang tersimpan dalam berbagai server di seluruh dunia, dan dokumentasi tersebut dikembangkan dalam format hypertext dan hypermedia, dengan menggunakan Hypertext Markup Language (HTML) yang memungkinkan terjadinya koneksi (link) dokumen yang satu dengan yang lain atau bagian dari dokumen yang satu dengan bagian yang lainnya, baik dalam bentuk teks, visual dan lain-lainnya.
www bersifat multimedia karena merupakan kombinasi dari teks, foto, grafika, audio, animasi dan video, dengan demikian maka WWW pada saat ini merupakan puncak pencapaian yang tidak mungkin dicapai oleh media-media yang tergabung di dalamnya secara sendiri-sendiri.( Hardjito 2007)
Untuk bisa memanfaatkan seluruh fasilitas Internet tersebut, seorang pengguna seyogyanya cukup mahir dalam menggunakan program browser seperti Microsoft Internet Explorer (MSIE) dan Netscape, program e-mail seperti Outlook Express yang ter-bundle dengan. MSIE, atau program lain yang terpisah seperti Eudora dan lain-lain. la juga hendaknya memiliki kemampuan dalam menggunakan program pencarian atau dikenal dengan nama search engine yang tentunya akan lebih baik apabila dilengkapi pengetahuan tentang metode Boelan. Di samping itu seorang pengguna juga sebaiknya menguasai program untuk chat dalam rangka melakukan komunikasi realtime dengan orang lain dan FTP yang berguna untuk men-download dan meng-upload sumber-sumber informasi, serta program-progarm pendukung lain untuk keperluan compress-decompress file (seperti WinZip, PKZip, serta beberapa aplikasi berbasis web lainnya).
Bentuk pemanfaatan internet
Menurut Haughey yang dikutip oleh Hardjito mengemukakan ada tiga bentuk sistem pembelajaran melalui Internet yang layak dipertimbangkan sebagai dasar pengembangan sistem pembelajaran dengan mendayagunakan internet yaitu: (1) Web Course, (2) Web Centric Course, dan (3) Web Enhanced Course.
1.Web Course,
Web Course merupakan penggunaan internet untuk keperluan pembelajaran, di mana seluruh bahan belajar, diskusi, konsultasi, penugasan, latihan dan ujian sepenuhnya disampaikan melalui internet. Siswa dan guru sepenuhnya terpisah, namun hubungan atau komunikasi antara peserta didik dengan pengajar bisa dilakukan setiap saat. Komunikasi lebih banyak dilakukan secara ansynchronous daripada secara synchronous. Bentuk web course ini tidak memerlukan adanya kegiatan tatap muka baik untuk keperluan pembelajaran maupun evaluasi dan ujian, karena semua proses belajar mengajar sepenuhnya dilakukan melalui penggunaan fasilitas internet seperti e-mail, chat rooms, bulletin board dan online conference.
Di samping itu sistem ini biasanya juga dilengkapi dengan berbagai sumber belajar (digital), baik yang dikembangkan sendiri maupun dengan menggunakan berbagai sumber belajar dengan jalan membuat hubungan (link) ke berbagai sumber belajar yang sudah tersedia di internet, seperti database statistic berita dan informasi, e-book, perpustakaan elektronik, dan lain-lain.
Bentuk pembelajaran model ini biasanya dipergunakan untuk keperluan pendidikan ajarak jauh (distance education/learning). Aplikasi bentuk ini antara lain virtual campus/university, ataupun lembaga pelatihan yang menyelenggarakan pelatihan-pelatihan yang bisa diikuti secara jarak jauh dan setelah lulus ujian akan diberikan sertifikat.
2.Web Centric Course,
Web Centric Course, merupakan pembelajaran berbasis web di mana sebagian bahan belajar, diskusi, konsultasi, penugasan, dan latihan disampaikan melalui internet, sedangkan ujian dan sebagian konsultasi, diskusi dan latihan dilakukan secara tatap muka. Walaupun dalam proses belajarnya sebagian dilakukan dengan tatap muka yang biasanya berupa tutorial, tetapi prosentase tatap muka tetap lebih kecil dibandingkan dengan prosentase proses belajar melalui internet.
Dengan bentuk ini maka pusat kegiatan belajar bergeser dari kegiatan kelas menjadi kegiatan melalui internet Sama dengan bentuk web course, siswa dan guru sepenuhnya terpisah tetapi pada waktu-waktu yang telah ditetapkan mereka bertatap muka, baik di sekolah ataupun di tempat-tempat yang telah ditentukan.
Penerapan bentuk ini sebagaimana yang dilakukan pada perguruan tinggi-perguruan tinggi yang menyiapkan sistem belajar secara off campus.
3.Web Enhanced Course,
Web Enchanced Course yaitu pemanfaatan internet untuk pendidikan, untuk menunjang peningkatan kualitas kegiatan belajar mengajar di kelas. Bentuk ini juga dikenal dengan nama Web lite course, karena kegiatan pembelajaran utama adalah tatap muka di kelas.( Purbo ; 1996 )
Peranan internet di sini adalah untuk menyediakan sumber-sumber yang sangat kaya dengan memberikan alamat-alamat atau membuat hubungan (link) ke berbagai sumber belajar yang sesuai yang bisa diakses secara online, untuk meningkatkan kuantitas dan memperluas kesempatan berkomunikasi antara pengajar dengan peserta didik secara timbal balik. Dialog atau komunikasi tersebut adalah untuk keperluan berdiskusi, berkonsultasi, maupun untuk bekerja secara kelompok. Komunikasi timbal balik bisa dilakukan antara siswa dengan siswa, siswa dengan teman di luar kelas/sekolah, siswa dengan kelompok, siswa dengan guru maupun guru dengan siswa atau dengan kelompok.
Berbeda dengan kedua bentuk sebelumnya, pada bentuk Web Enhanced Course ini prosentase pembelajaran melalui internet justru lebih sedikit dibandingkan dengan prosentase pembelajaran secara tatap muka, karena penggunaan internet adalah hanya untuk mendukung kegiatan pembelajaran secara tatap muka.
Bentuk ini bisa pula dikatakan sebagai langkah awal bagi institusi pendidikan yang akan menyelenggarakan pembelajaran berbasis internet, sebelum menyelenggarakan pembelajaran dengan internet secara lebih kompleks, seperti Web Centric Course ataupun Web course.Baik pada model ataupun Web course, Web Centric Course ataupun Web Enhanced Course, terdapat beberapa komponen aktivitas seperti informasi, bahan belajar, pembelajaran atau komuniaksi, penilaian yang bervariasi.
Pembelajaran melalui internet di Sekolah Dasar dapat diberikan dalam beberapa format di antaranya adalah (Wulf, 1996 : ):
(1) Electronic mail (delivery of course materials, sending in assignments, getting and giving feedback, using a course listserv., i.e., electronic discussion group,)
(2) Bulletin boards/newsgroups for discussion of special group,
(3) Downloading of course materials or tutorials,
(4) Interactive tutorials on the Web, dan
(5) Real time, interactive conferencing using MOO (Multiuser Object Oriented) systems or Internet Relay Chat.
Electronic mail ( Penggunaan E-Mail)
Dalam format Electronical Mail (E-Mail), internet dijadikan tempat mengumpulkan tugas-tugas yang sebelumnya telah diberikan pada saat proses pembelajaran secara klasikal. Pembelajaran dengan format ini lebih dominan terhadap fungsi E-Mail sebagai kolektor tugas-tugas siswa yang telah diberikan guru.
Bulletin boards/newsgroups for discussion of special group
Format ini menyajikan sebuah forum diskusi khusus yang disajikan secara online melalui internet. sehingga siswa dapat berkonsultasi tentang penyelesaian sebuah tugas tanpa harus bertatap muka secara langsung dengan guru/tutor. Fasilitas newsgroups akan memudahkan mengerjakan tugas-tugas sekolah yang baik yang bersifat online maupun tidak. Karena siswa dapat mencurahkan segala permasalahan seputar tugas yang diberikan guru.
Downloading of course materials or tutorials
Format ini merupakan proses download materi pembelajaran yang disajikan secara online di internet kemudian dikerjakan secara masing-masing. Dapat berupa file artikel, maupun file program seperti ensiklopedia, program tutorial online,dan lain-lain. Format tersebut memudahkan siswa untuk melaksanakan tugas secara mandiri.
Interactive tutorials on the Web
Program/format tutorial ini lebih berorientasi pada kemampuan siswa untuk menyimak serta melaksanakan pembelajaran secara online melalui internet. Materi pembelajaran bagi siswa yang bersifat interaktif di sajikan secara online di internet. pembelajaran dengan format seperti ini memerlukan penggunaan internet secara dominan.
Real time, interactive conferencing using MOO (Multiuser Object Oriented) systems or Internet Relay Chat
Dalam format pembelajaran model ini internet dipergunakan sebagai media teleconference ( tatap muka secara online). Dengan teleconference tersebut, seorang siswa/beberapa siswa dapat melaksanakan proses pembelajaran dengan bertatap muka langsung dengan rekan sesama siswa, serta dengan guru/tutor melalui perantaraan media internet.
D. Prestasi Kognitif
1. Definisi Prestasi Kognitif
Prestasi adalah apa yang telah dapat diciptakan dari hasil pekerjaan yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan bekerja (Indrawan, 1999:216). Di dalam dunia pendidikan,prestasi merupakan hasil kerja yang dicapai siswa setelah sekian lama menempuh dan menerima pelajaran,dengan demikian menurut Muhinnin Syah (2003:141) menyebut sebagai kinerja akademik.
Pada prinsipnya, pengungkapan hasil belajar atau prestasi khususnya dalam dunia pendidikan selalu menitikberatkan pada tiga ranah kejiwaan yaitu psikomotor, kognitif, dan afektif. Untuk psikomotor dan afektif, secara teori akan dapat berjalan setelah fungsi ranah kognitif tercapai. Dengan demikian fungsi ranah kognitif pada akhirnya adalah untuk mengisi pada ranah yang lain yaitu psikomotor dan afektif (Muhibbin Syah, 2003:135)
Istilah kognitif berasal dari cognition, yaitu perolehan, penataan dan penggunaan pengamatan (Muhibbin Syah, 2003:60). Dalam perkembangan selanjutnya menjadi populer sebagai salah satu domain binaan dalam pendidikan. Merupakan wilayah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan keyakinan. Ranah jiwa ini berdomisili di otak dan juga berhubungan dengan konasi dan afeksi (Muhibbin Syah, 2000:60)
Dengan demikian Prestasi kognitif merupakan kinerja akademik yang bertumpu pada ranah cipta yang berpusat di otak atau intelegensi (IQ).
2. Indikator Prestasi kognitif
Menurut Bloom sebagaimana yang dikutip oleh Uzer usman (1993:111) prestasi belajar ranah kognitif memiliki enam tingkatan atau indicator yaitu :
a.Pengetahuan
Pengetahuan didefinisikan sebagai ingatan terhadap materi-materi yang telah dipelajari sebelumnya, mencakup mengingat semua hal, dari fakta-fakta yang sangat khusus sampai pada teori yang sangat kompleks, (M.Ali, 1992: 42) Kata-kata operasional yang biasa dipergunakan dalam aspek pengetahuan adalah: (1). Membandingkan, (2). Menunjukkan; (3) menghubungkan, (Muhibbin Syah, 1997: 151)
b. Pemahaman
Pemahaman didefinisikan sebagai kemampuan menyerap arti dari materi atau bahan yang dipelajari, (U. Usman dan L. Setiawati, 1999: 112). Kata-kata operasional yang dipergunakan dalam aspek pemahaman adalah: (1) Membedakan. (2) memperkirakan, (3) Menjelaskan; (4) Menulis kembali dan sebagainya (U.Usman 1999:38)
c. Aplikasi
Aplikasi adalah sebagai kemampuan siswa dalam menggunakan konsep-konsep abstrak, pada objek-objek khusus dan konkrit (A.Tafsir, 1997:50). Kata-kata yang dapat dipergunakan dalam aspek aplikasi adalah: (1) menghitung; (2) mendemontrasikan, (3) memecahkan masalah, (4) menggunakan (U.Usman, 1999: 38).
d. Analisis
Dimaksudkan sebagai kemampuan untuk menguraikan suatu materi atau bahan kedalam bagian bagiannya, sehingga struktur organisasinya dapat dipahami, (M.Ali, 1992: 43). Kata-kata yang dipergunakan dalam aspek ini adalah: (1) Menguraikan; (2) Mengklarifikasikan; (3) Memilih, (Muhibbin.Syah, 1997:151)
e. Sintesis
Sintesis adalah kemampuan belajar merakit bagian-bagian menjadi satu keutuhan, (A.Tafsir, 1992:51). Kata-kata operasional yang dapat digunakan dalam aspek ini adalah: (1) Menyususn kembali; (2) Menghubungkan; (3) menceritakan dan lain-lain, (U.Usman. 1999: 38).
f. Evaluasi
Dimaksudkan sebagai kemampuan untuk mempertimbangkan nilai suatu materi (pernyataan, novel, laporan dan penelitian) untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Adapun kata kerja yang dapat dipergunakan pada aspek ini adalah: (1) Membandingkan, (2) Menafsirkan, (3) Menghubungkan; (4) Meringkaskan, (U.Usman, 1999:38)
Hasil belajar yang berbentuk evaluasi ditunjukan dengan kemampuan memberikan kaputusan tentang nilai sesuatu berdasarkan judgement yang dimilikinya. Evaluasi dikategorikan sebagai hasil belajar yang paling tinggi yang terkandung dari aspek kognitif, karena dari hasil belajar yang berbentuk evaluasi ini tekanannya pada pertimbangan suatu nilai, mengenai baik buruk, tepat tidaknya dan benar salahnya suatu persoalan berdasarkan pada kriteria tertentu.
2. Alat ukur prestasi kognitif
Proses belajar mengajar merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan (interpendensi) dalam pencapaian pendidikan. Tolok ukur keberhasilan tujuan pendidikan karena adanya evaluasi, yaitu dijadikan sebagai umpan balik dari proses yang telah dilakukan. Pengukuran prestasi kognitif juga merupakan rangkaian dari evaluasi pembelajaran yaitu untuk meninjau sejauh mana kemajuan siswa telah diraih pada ranah kognitif.
Dalam ranah kognitif alat ukur yang sering digunakan adalah berupa tes prestasi atau tes hasil belajar, tes intelegensi, dan tes potensi intelektual. (Sumadi Suryabrata, 2000: 48).
Evaluasi yang dilakukan oleh guru adalah evaluasi hasil belajar yang berfungsi sebagai feedback dalam rangka memperbaiki proses belajar mengajar, tahapan-tahapan yang dapat dilakukan oleh guru adalah:
1. Analisis kurikulum
Sebagai acuan untuk membuat rancangan evaluasi, karena dari sanalah guru memberikan pengajaran dan dari itu pulalah guru mengevaluasinya. Yang mesti diperhatikan dalam analisis kurikulum (GBPP) adalah:
a. Analisis tujuan yang meliputi tujuan intruksional, kurikuler dan pembelajaran umum (TPU).
b. Meneliti pokok bahasan yang disajikan dalam test. Hal ini akan mempengaruhi bentuk tingkatan kesukaran dll.
2. Analisis buku pelajaran
Tujuannya adalah untuk :
a. menetapkan materi yang akan diujikan sebagai sumber pembuatan soal
b. menentukan kedalaman isi materi yang akan diujikan
c. agar pembuatan soal tidak menyimpang dari materi yang telah diajarkan.
3. Merumuskan tujuan test.
Tujuan adanya evaluasi adalah sebagai umpan balik, mengukur kemampuan, penempatan dan untuk siswa yang memerlukan bantuan khusus. Tujuan-tujuan tersebut akan dapat mempengaruhi ada tes yang akan dilakukan.
4. Menentukan atau menyusun kisi-kisi
Tujuan dari dilakukannya kisi-kisi adalah supaya materi tes betul-betul sesuai dengan materi pelajaran atau satuan bahasan, aspek intelektual, bentuk soal serta jumlah proporsi soal. Semua itu telah ditetapkan dahulu dalam kisi-kisi.
5. Penulisan soal
Setelah kisi-kisi terbentuk, selanjutnya adalah penulisan soal sesuai dengan kisi-kisi yang telah dibuat.
a. buatlah soal sesuai dengan kisi-kisi
b. buatlah petunjuk cera pengerjaannya agar dapat dipahami siswa
c. siapkan kunci jawabannya
d. susunlah standar norma penilaian yang akan dipakai
6. Reproduksi Soal
Setelah soal tertulis selanjutnya adalah memperbanyak soal sesuai dengan jumlah peserta yang mengikuti tes tersebut, dalam penggandaan ini harus dijaga kehati-hatiannya, jangan sampai terjadi kebocoran soal.
7. Uji Coba tes
Sebagai langkah terakhir adalah mengadakan uji coba soal tujuannya adalah untuk mengetahui kelemahan-kelemahan dari kontruksi soal yang telah dibuat, namun harus diingat dalam uji coba soal harus dilakukan diluar siswa yang akan dites untuk menjaga kebocoran soal. Dalam test prestasi, ada beberapa bentuk yaitu terdiri dari tes lisan dan tes tulisan yang terdiri dari pilihan ganda, bentuk uraian.
3. Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Kognitif
Prestasi Kognitif siswa, secara umum dapat dipengaruhi oleh tiga factor:
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri siswa meliputi dua aspek:
a. Aspek Fisiologis
Aspek fisiologis adalah kondisi jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya. Hal ini akan mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran (Muhibbin Syah, 2000: 145). Kondisi organ tubuh yang lemah apalagi jika disertai dengan pusing kepala, dapat menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif), sehingga materi yang dipelajari kurang maksimal diterima oleh siswa.
Di antara faktor fisiologis adalah sebagai berikut:
1. Susunan saraf yang tidak berkembang secara sempurna, disebabkan luka atau sakit sehingga membawa ganguan emosional.
2. Pancaindera yang kurang berfungsi dengan baik, sehingga menyulitkan interaksi dengan lingkungan sekitar.
3. Ketidakseimbangan perkembangan dan reproduksi serta berfungsinya kelenjar-kelenjar tubuh sering membawa kelainan prilaku (Abin Syamsudin, 2002:325)
b. Aspek Psikologis
Aspek Psikologis, dapat pula mempengaruhi prestasi kognitif siswa, Muhibbin Syah (2003:146) memberikan penjelasan ada lima factor dalam aspek psikologis yang dapat mempengaruhi prestasi,yaitu:
1) Tingkat kecerdasan atau intelegensia
Tingkat kecerdasan atau intelegensia (IQ) siswa sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar khususnya pada ranah kognitif. Hal ini bermakna semakin tinggi kemampuan intelegen seseorang, maka semakin banyak pula peluang untuk mendapatkan prestasi belajar dengan cepat, begitu pula sebaliknya semakin minim kemampuan siswa dalam intelegensi maka semakin kecil pula tingkat keberhasilan siswa dalam belajar.
2) Sikap Hidup
Sikap adalah gejala internal yang berdimensi aktif, berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang relative tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya. Baik secara positif maupun negative (Muhibbin Syah, 2003:149).
3) Bakat
Bakat secara umum diartikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Ngalim Purwanto mendefinisikan bakat sebagai “kecakapan pembawaan” yaitu mengenai kesanggupan tertentu yang dapat dilakukan seseorang tanpa harus belajar dalam waktu yang lama.
Bakat sering disebut sebagai kemampuan seseorang dalam melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada banyak latihan dan latar belakang pendidikan yang lama, seseorang yang mempunyai bakat tentang mesin tentu ia akan cepat dalam
mempelajari mobil atau motor, tetapi sebaliknya jika tidak memiliki bakat maka ia akan bingung dan akan lama dalam mempelajarinya.
Sehubungan dengan hal ini, bakat sangat mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi belajar dalam bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI) misalnya seseorang siswa terbiasa dengan lingungan yang terdidik dengan agama, secara tidak langsung dia memiliki anggapan bahwa agama itu penting,maka belajar PAI pun akan cepat memahami dengan baik.
4) Minat Siswa
Secara sederhana Minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Sardiman (2000: 193) yang dimaksud dengan interst adalah usaha guru untuk menarik atau membawa perhatian siswa pada materi pelajaran yang baru. Seseorang yang memasuki situasi baru, secara mendadak sering timbul kejutan atau tekanan psikologis karena peristiwa lama yang masih membayanginya.
Oleh sebab itu pada waktu guru hendak manyampaikan pelajaran baru, hendaknya untuk menyatukan pikiran siswa dengan jalan menghilangkan kenangan lama dengan memasukkan kenangan baru sebelum pelajaran dimulai. Dalam melakukan ini guru mengadakan apersepsi yaitu menghubungkan materi yang lama dengan materi yang akan dipelajari. Entering Behavior merupakan salah satu cara untuk menarik minat siswa dalam belajar. Hal ini dapat dilakukan dengan pre test atau test awal (Ahmad Tafsir, 1999: 56).
Dengan demikian selain guru menyampaikan materi, sebaiknya guru memperhatikan dulu kesiapan siswa untuk belajar. Dalam hal ini Boby de Forter (1999:6) mengatakan bahwa dalam setiap intruksional harus dibangun atas prinsip, “bawalah dunia mereka kepada dunia kita, dan antarkan dunia kita kepada dunia mereka.”
Minat juga dapat timbul jika siswa mengetahui manfaat dari bahan yang akan dipelajari. Sebab orang akan termotivasi atau mempunyai minat yang positif jika mengetahui manfaat dari pekerjaan itu. Dalam hal ini Boby de Forter (1992:48) menyebutkan istilah AMBAK singkatan dari Apa Manfaatnya Bagiku. Yaitu motivasi yang didapat dari pemilihan mental antara manfaat dari sebuah keputusan.
5) Motivasi
Motivasi adalah segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk bertindak melakukan sesuatu (Ngalim Purwanto, 1985:64). Menurut Mc.Donald sebagaimana dikutip Sardiman AM (2000:64) Motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan adanya tujuan.
Dengan demikian dari pengertian motivasi tersebut di atas, mengandung tiga elemen penting yaitu:
a. Bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada setiap individu.
b. Motivasi ditandai dengan munculnya rasa afeksi seseorang misalnya tenggapan terhadap sesuatu tujuan.
c. Motivasi akan terangsang dengan adanya tujuan, manfaat dari sesuatu perbuatan.
Betapa pentingnya peranan motivasi, maka setiap guru harus dapat membangkitkan motivasi siswa untuk belajar. Sebab dengan motivasi tinggi, maka akan didapatkan hasil yang baik.
2) Faktor Eksternal Siswa
Yaitu faktor yang berasal dari luar siswa. Dalam hal ini lingkungan sekitar akan mempengaruhi prestasi kognitif siswa. Muhibbin Syah (2003: 153) membagi lingkungan ini menjadi dua bagian yaitu:
1. Lingkungan social, seperti guru, staf administrasi, dan teman sekelas, ini semua dapat mempengaruhi semangat belajar yang akhirnya mempengaruhi prestasi belajar.
2. Lingkungan non sosial seperti gedung sekolah yang sudah rusak, peralatan belajar yang kurang, rumah yang jauh, sulit kendaraan ini akan mempengaruhi prestasi dan semangat belajar, yang akhirnya menentukan rendahnya prestasi siswa, hal ini sangat perlu diperhatikan dalam membuat rumus dan rancana pengajaran.
3). Faktor pendekatan Belajar
Kebiasaan belajar siswa yang salah, ini juga akan mempengaruhi prestasi belajar. Siswa yang terbiasa menggunakan cara system kebut semalam tentunya akan berbeda hasilnya dengan siswa yang menghapal materi dengan bertahap secara kontinyu.
E. Pendidikan Agama Islam Sebagai Mata Pelajaran di SMA
Pendidikan agama Islam adalah bagian integral dari pendidikan nasional. Pendidikan agama merupakan satu segi dari pendidikan anak. Segi yang lainnya adalah pendidikan umum. Pada saat ini pendidikan agama sudah merupakan salah satu bidang studi wajib yang diajarkan di sekolah-sekolah formal. Mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi.
1. Definisi Pendidikan Agama Islam
Dalam kenyataan sehari-hari orang sering mencampuradukkan antara definisi Pengajaran dan Pendidikan agama. Sebenarnya keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Walaupun terdapat hubungan yang sangat erat. Menurut Zuhairini (1983 : 27) pendidikan agama berarti usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu peserta didik agar mereka hidup sesuai dengan ajaran agama islam. Sedangkan pengajaran agama berarti pemberian pengetahuan agama kepada peserta didik agar mereka memiliki pengetahuan agama islam.
Pendidikan agama Islam Menurut rumusan yang tercantum dalam GBPP mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam tahun 2002, adalah usaha sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama islam, disertai dengan tuntutan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.
Menurut Zakiyah Darajat (1987:87) pendidikan agama islam adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran islam secara menyeluruh. Lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan islam sebagai pandangan hidup.
Tayar Yusuf (1986:35) mengartikan pendidikan agama Islam sebagai usaha sadar generasi tua untuk mengalihkan pengalaman, pengetahuan, kecakapan dan keterampilan kepada generasi muda agar kelak menjadi manusia yang bertakwa kepada Allah swt.
Azizy (2002) mengemukakan bahwa esensi pendidikan yaitu terjadinya proses transfer nilai, pengetahuan, dan keterampilan dari generasi tua kepada generasi muda agar generasi muda mampu hidup. Oleh karena itu ketika kita menyebut pendidikan Islam, maka akan mencakup dua hal, (a) mendidik siswa untuk berprilaku sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak Islam; (b) mendidik siswa-siswi untuk mempelajari materi ajaran islam- subjek berupa pengetahuan tentang ajaran Islam.
Sementara itu, Ahmad Tafsir (1990:8) menjelaskan istilah yang tepat berkenaan dengan pendidikan agama dan pengajaran agama bahwa keduanya dapat digunakan. Sekalipun demikian menurutnya, sebaliknya istilah pendidikan agama sering digunakan. Sebab dengan menggunakan istilah pendidikan agama diharapkan guru agama selalu merasa diingatkan bahwa tugasnya tidak hanya mengajarkan ilmu agama Islam, tetap juga melakukan usaha-usaha lainnya yang dapat membantu tercapainya tujuan pendidikan Agama Islam.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pendidikan agama lebih luas cakupannya dari pengajaran agama. Dalam pendidikan agama, guru tidak hanya mentransferkan pengetahuan semata, akan tetapi dituntut untuk membentuk pribadi muslim yang taat, berilmu pengetahuan, dan beramal shalih.
Mata pelajaran agama Islam secara keseluruhan mencakup Al-Quran dan al-hadis, keimanan, akhlak, fiqh/ibadah, dan sejarah, sekaligus menggambarkan bahwa ruang lingkup pendidikan islam meliputi perwujudan keserasian, keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri sesame manusia, makhluk lainnya maupun lingkungannya.
Jadi pendidikan agama Islam merupakan usaha sadar yang dilakukan pendidik dalam rangka mempersiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami, dan mengamalkan ajaran islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau pelatihan yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2. Dasar-dasar pelaksanaan Pendidikan Agama Islam
Pelaksanaan pendidikan agama islam di sekolah memiliki dasar yang kuat. Dasar tersebut menurut Zuhairini dkk. (1983:21) dapat ditinjau dari berbagai segi,yaitu:
a. Dasar yuridis/hukum
Dasar pelaksanaan pendidikan agama berasal dari perundang-undangan yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam melaksanakan pendidikan agama di sekolah secara formal. Dasar yuridis formal tersebut terdiri dari tiga macam, yaitu:
a.1. Dasar ideal, yaitu dasar falsafah Negara Pancasila, sila pertama: Ketuhanan
yang maha Esa.
a.2. Dasar Struktural/konstitusional, yaitu UUD 1945 dalam bab XI pasal 29 ayat
1 dan 2, yang berbunyi: 1) Negara berdasarkan atas ketuhanan yang maha esa;
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama
masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.
a.3. Dasar operasional, yaitu terdapat dalam Tap MPR No.IV/MPR/1973 yang
kemudian dikokohkan dalam Tap MPR No.IV/MPR 1978 jo. Ketetapan MPR
Np. II/MPR/1983, diperkuat oleh Tap MPR No. II/MPR/1988 dan Tap.MPR
No. II/MPR 1993 tentang Garis - garis Besar Haluan Negara yang pada
pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama secara langsung
dimaksudkan dalam kurikulum sekolah-sekolah formal, mulai dari sekolah
dasar hingga perguruan tinggi.
b. Segi Religius
Yang dimaksud dengan dasar religius adalah dsar yang bersumber dari ajaran Islam. Menurut ajaran Islam Pendidikan Agama adalah perintah tuhan dan merupakan perwujudan ibadah kepada-Nya. Dalam al-quran terdapat banyak ayat yang menunjukkan perintah tersebut,antara lain sebagaimana dikutip Dian Andayani (2004:133);
1. Qs.An-Nahl (16):125
… ﺃﺪﻉ ﺍﻠﻰ ﺍﻠﺴﺑﻴﻞ ﺮﺒﻚ ﺑﺎﻠﺤﻜﻤﺔ ﻮﺍﻠﻤﻮﻋﻇﺔ ﺍﻠﺤﺴﻨﺔ
“Serulah Manusia kepada jalan tuhan-Mu, dengan Hikmah dan pengajaran yang baik…”
2. Qs.Ali-Imran (3):104
ﻮﻠﺘﻜﻢ ﻤﻨﻜﻢ ﺍﻤﺔ ﻴﺪﻋﻮﻦ ﺍﻠﻰ ﺍﻠﺨﻴﺮ ﻮ ﻴﺄ ﻤﺮﻮﻦ ﺒﺎﻠﻤﻌﺮﻮﻒ ﻮ ﻴﻨﻬﻮﻦ ﻋﻦ ﺍﻠﻤﻨﻜﺮ...
“Dan Hendaklah diantara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebijakan, memerintahkan kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari perbuatan munkar…”
3. Al-Hadis
ﺒﻠﻐﻪ ﻤﻨﻰ ﻮ ﻠﻮ ﺍﻴﺔ
“Sampaikanlah ajaran kepada orang lain walaupun hanya sedikit”.
c. Aspek Psikologis
Psikologis yaitu dasar yang berhubungan dengan aspek kejiwaan kehidupan bermasyarakat. Hal ini didasarkan bahwa dalam hidupnya, manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dihadapkan pada hal-hal yang membuat hatinya tidak tenang dan tenteram sehingga memerlukan adanya pegangan hidup. Sebagaimana dikemukakan oleh Zuhairini dkk (1983:25) bahwa : Semua manusia di dunia ini selalu membutuhkan adanya pegangan hidup yang disebut agama. Mereka merasakan bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya Zat yang Maha Kuasa, tempat mereka berlindung dan tempat mereka memohon pertolongan-Nya. Hal semacam ini terjadi pada masyarakat yang masih primitive maupun masyarakat modern. Mereka merasa tenang dan tentram hatinya kalau mereka dapat mendekat dan mengabdi kepada Zat Yang Maha Kuasa.
Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa untuk membuat hati tenang dan tenteram ialah dengan jalan mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini sesuai firman Allah SWT dalam surat Ar-Ra’du ayat 28, yaitu
ﺍﻻ ﺒﺬ ﻜﺮ ﷲ ﺗﻤﺌﻦ ﺍﻠﻗﻠﻮﺐ
“…Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”.
3. Fungsi Pendidikan Agama Islam
Kurikulum pendidikan agama islam untuk sekolah/madrasah berfungsi sebagai berikut.
1. Pengembangan
Yang dimaksud disini ialah meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya dan pertama-tama kewajiban menanamkan keimanan dan ketakwaan dilakukan oleh setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuhkembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketakwaan tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.
2. Penanaman nilai
Penanaman nilai PAI sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
3. Penyesuaian Mental
Yang dimaksud dengan penyesuaian mental yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik lingungan fisik maupun lingkungan social dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam.
4. Perbaikan
Maksudnya ialah untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan, dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengalaman ajaran dalam kehidupan sehari-hari.
5. Pencegahan
Yaitu untuk menangkal hal-hal yang bersifat negative dari lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembangannya menuju manusia Indonesia seutuhnya.
6. Pengajaran
Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan ghaib), system dan fungsionalnya.
7. Penyaluran
Yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat khsusu di bidang agama Islam agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi orang lain.
4.Tujuan Pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama Islam di sekolah/madrasah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi (kurikulum PAI, 2002: ).
Tujuan umum pendidikan agama adalah membimbing anak agar menjadi muslim sejati, beriman teguh, beramal saleh dan berakhlak mulia serta berguna bagi masyarakat, agama, dan Negara (Zuhairini, 1999: 45).
Tujuan pendidikan agama tersebut merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh setiap orang yang melaksanakan pendidikan agama. Karena dalam mendidik agama yang perlu ditanamkan terlebih dahulu adalah keimanan yang teguh maka akan menghasilkan ketaatan menjalankan kewajiban agama. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Adz-Dzariat (51):ayat 56 yang berbunyi:
ﻮﻤﺎ ﺨﻠﻗﺖ ﺍﻠﺠﻦ ﻮ ﺍﻻ ﻨﺲ ﺍﻻ ﻠﻴﻌﺒﺪﻮﻦ
“Tidaklah aku ciptakan Jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepadaKu”
Disamping beribadah kepada Allah SWT maka setiap muslim di dunia ini harus memiliki cita-cita untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah (2) ayat 201:
ﻮﻤﻨﻬﻢ ﻤﻦ ﻴﻗﻮﻞ ﺮﺒﻨﺂ ﺍ ﺘﻨﺎ ﻔﻰ ﺍﻠﺪ ﻨﻴﺎ ﺤﺴﻨﺔ ﻮ ﻔﻰ ﺍﻻﺨﺮﺓ ﺤﺴﻨﺔ ﻮﻘﻨﺎ ﻋﺬﺍﺐ ﺍﻠﻨﺎ ﺮ
“Diantara mereka ada yang berkata, Wahai Tuhanku berikanlah kepada kami kebaikan hidup di dunia dan kebaikan di akhirat, dan hindarkanlah kami dari siksa neraka”
Pendidikan agama Islam bertujuan meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (GBPP PAI, 1994:1).
Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Menengah Atas (SMA) bertujuan memberi kemampuan dasar kepada siswa tentang agama Islam untuk mengembangkan kehidupan beragama sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Serta berakhlak mulia, ia sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga Negara dan anggota umat manusia serta mengikuti pendidikan menengah. Adapun pokok dan tujuan pendidikan Agama Islam mencakup tiga aspek, yaitu aspek keimanan, ilmu dan amal yang pada dasarnya berisi:
- Menumbuh suburkan dan mengembangkan serta membentuk sikap positif dan disiplin serta cinta terhadap agama dalam berbagai kehidupan anak yang nantinya diharapkan menjadi manusia yang bertakwa kepada Allah SWT. Taat kepada perintah Allah dan rasul-Nya.
- Kataatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya merupakan motivasi insting kepada pengembangan ilmu pengetahuan yang harus dimiliki anak. Berkat pemahaman tentang pentingnya agama dan ilmu pengetahuan (agama dan umum), maka anak menyadari keharusan menjadi seorang hamba Allah yang beriman, dan berilmu pengetahuan. Karenanya, ia tidak pernah mengenal henti untuk mengajar ilmu pengetahuan dan teknologi baru dalam rangka mencari keridhaan Allah SWT. Dengan ilmu dan iman itu semakin hari semakin menjadi lebih bertakwa kepada Allah SWT sesuai tuntutan Islam.
- Menumbuhkan dan membina keterampilan agama dalam semua hidup dan kehidupan serta dapat emmahami dan menghayati ajaran agama Islam secara integral dan komprehensif. Sehingga dapat digunakan sebagai pedoman hidup, baik dalam hubungan dirinya dengan Allah SWT malalui ibadah shalat misalnya, maupun hubungannya sesama manusia yang tercermin dalam akhlak perbuatan serta dalam hubungan dirinya dengan alam sekitar melalui cara pemeliharaan dan pengolahan alam serta pemanfaatan hasil usahanya (Zakiyah Darajat, 1992:90).
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa tujuan pendidikan Agama Islam pada dasarnya menanamkan nilai-nilai keimanan yang kuat dan lekat, penguasaan ilmu pengetahuan yang tinggi serta keterampilan untuk melakukan amal saleh dalam kehidupan sehari hari.
F. Hubungan Penggunaan internet sebagai Media Pembelajaran dengan Prestasi Koginitif siswa pada bidang studi Pendidikan Agama Islam
ﻜﺂﻔﺔﻮﻻﺘﺘﺒﻌﻮﺍ ﺨﻄﻮﺍﺖﺍﻠﺸﻴﻄﻦﺍﻨﻪ ﻠﻜﻢﻋﺪﻮﻤﺒﻴﻦ ﺍﻠﺴﻠﻢ ﻔﻰ ﺍﺪﺨﻠﻮﺍ ﻤﻨﻮﺍ ﺃ ﻴﻦ ﻠﺬ ﺍ ﻴﻬﺎ ﺃ ﻴﺎ
“ Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kedalam agama Islam secara menyeluruh, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian” ( QS. Al-Baqarah (2) : 208 )
Dari ayat diatas ditegaskan bahwa setiap orang muslim yang beriman diwajibkan untuk memperdalam aqidah, pemahaman, serta pengetahuannya tentang islam secara integral dan komprehensif. Karena hal tersebut merupakan suatu jalan terbaik menuju keimanan yang sempurna, tanpa mempelajari islam secara mendalam mustahil iman akan bersemayam dalam diri pribadi setiap insan. Tiada alternatif lain yang dapat berorientasi kepada tujuan tersebut, kecuali dengan mempelajari Pendidikan Agama Islam secara efektif. Untuk itu diperlukan kesiapan yang optimal dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam tersebut, agar upaya penanaman nilai serta tujuan yang terkandung dalam ayat tersebut teraplikasi secara maksimal.
Media pembelajaran adalah sebuah alat yang berfungsi untuk menyampaikan pesan pembelajaran. Dimana pembelajaran merupakan sebuah proses komunikasi antara pembelajar, pengajar dan bahan ajar. Komunikasi tidak akan berjalan tanpa bantuan sarana penyampai pesan atau media. Peranan media sangat penting agar proses pembelajaran pendidikan agama Islam tersebut efektif dan efisien.
Internet sebagai media yang efektif sebagai penyampai pesan sangatlah tepat jika dijadikan sebagai media pembelajaran pendidikan agama Islam. Mengingat pendidikan agama Islam menuntut pengkondisian yang maksimal sesuai konstelasi zaman. Internet merupakan media yang up-to date dan berkembang setiap zaman sangat mendukung optimalisasi pembelajaran agama secara integral, mengingat kemampuannya dalam menyajikan berbagai materi serta berbagai format metode pembelajaran dapat diunggulkan sebagai media komplementer dalam proses pembelajaran.
Langganan:
Postingan (Atom)